Kerinduan akan Simfoni Kaki Lima
Ini bukan soal bunyi-bunyian, namun soal menunggu kebahagiaan yang pasti datang tiap harinya.
Saya masih ingat betul saat kecil suasana sore dan pagi hari di rumah kakek dan nenek. Pagi hari, biasanya suara piring porselen dipukul dengan sendok terdengar tepat antar apukul 08:00 hingga 08:30. Suara yang dihasilkan nyaring tapi agak tebal, ini pasti Akim sang penjual siomay. Di sore hari, suara yang hampir sama juga kedengaran. Tapi Ia memukulnya lebih sering dan nyaring, itu pasti Bagong dan gerobak baksonya.
Suara-suara ini bukan sekedar suara tukang makanan semata. Suara-suara itu adalah simbol dari antisipasi kita akan sesuatu yang lezat. Suara penjual makanan kaki lima yang dahulu sering sekali menghampiri dengan bunyi-bunyi uniknya menjadi salah satu hal yang paling ditunggu dalam sebuah hari. Suara itu – walau masih terdengar dari jauh – sudah bisa memantik semangat dan memunculkan senyum tipis di ujung bibir. Tak peduli seberapa berat beban di hati hari itu, suara penjaja kaki lima seakan hadir sebagai janji akan sebuah oase sesaat untuk menenangkan hati lewat makanan.
Bunyi-bunyi yang dikeluarkan oleh tukang karedok, penjual bakso, bahkan es krim milik perusahaan multinasional, erat kaitannya dengan sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan dan memiliki unsur nostalgia. Sejak kecil, manusia selalu berusaha untuk membaca keadaan di sekelilingnya. Kita ingin memastikan hal-hal seperti apa saja yang punya dampak baik dan tidak baik bagi kita semua. Untungnya ketika kecil, salah satu hal baik itu berupa bunyi penjaja kaki lima. Sebetulnya kalau saya lihat jenis makanannya, mungkin banyak yang sekarang ini lebih lezat dan lebih profesional dibuat di banyak tempat. Namun tidak ada yang bisa menggantikan ritual berlari ke halaman depan, memanggil nama abang penjual, kemudian kembali lagi ke dapur untuk mengambil piring. Belum lagi bila anggota keluarga yang lain mau juga. Yang ada tak hanya sendiri, namun segerombolan manusia yang lapar dan menunggu dengan penuh antisipasi mengerubuti entah itu gerobak bakso, pempek, karedok, atau mie ayam.
Lalu, seiring menunggu giliran, sambil mata memperhatikan botol saus yang dituang di atas mie atau jumlah cakwe yang diselipkan di sekitar bubur, pembicaraan singkat tanpa basa basi terjadi. “Tumben bapak tidak beli?” atau, “Tadi ramai yang beli di komplek sebelah,” atau juga, “Sekarang lagi musim maling ya. Hati-hati.” Dari pembicaraan singkat itu hubungan antar manusia terjadi. Sang penjual makanan lama kelamaan tahu porsi makanan kesukaan sang ibu, atau bagaimana versi kalau ayah yang pesan.
Ritual yang terjadi antara kita pembeli makanan di rumah dengan penjual makanan kaki lima sudah sangat jarang terjadi. Mungkin di beberapa wilayah kota atau wilayah perumahan tertentu penduduk masih bisa mendapati hadirnya penjaja makanan kaki lima yang menyerukan suara-suara khas. Namun di kota besar, kemudahan yang diberikan oleh teknologi semakin menghilangkan salah satu adegan yang paling ditunggu-tunggu dalam sebuah hari. Kegiatan mengikuti suara “Teee Padang!” di halaman rumah digantikan dengan pertanyaan “Atas nama bapak Indra betul?” di depan pagar. Sensasi menunggu datangnya tukang es campur favorit sudah hampir tidak dikenali lagi oleh generasi baru. Padahal hal-hal kecil seperti suara kaki lima bisa membekas hingga kita dewasa. Ketika mantan presiden Amerika Serikat Barack Husein Obama bercerita tentang Indonesia, Ia tidak mengenang masa sekolahnya atau bahkan di mana liburan favoritnya di negeri yang pernah ia tinggali saat kecil. Yang Ia kenang – dan selalu ia sampaikan dalam tiap kesempatan bila berdiskusi dengan orang Indonesia – adalah suara tukang bakso dan tukang sate yang tinggal erat dalam kenangannya. Karena buat saya, bukan soal suara tukang makanan yang teramat penting, namun cuplikan-cuplikan kehidupan yang dibangun olehnya.