Hello Suburban! Era Baru Tujuan Tempat Makan
Banyak generasi muda yang sudah lelah dengan kehidupan tengah kota. Pinggiran kota jadi tujuan, sehingga memantik pertumbuhan kuliner area itu. Selamat datang era sub-urban.
Wilayah pinggiran kota di dunia – atau yang dikenal dengan istilah sub-urban – semakin hari semakin padat dikarenakan harga tanah di pusta kota yang melambung tinggi. Jakarta salah satunya. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara dengan harga tanah termahal. Sehingga membuat Jakarta menjadi salah satu kota dengan harga tanah tertinggi di Asia Pasifik. Hal ini tentu saja berdampak kepada harga sewa tempat tinggal, terlebih harga jual rumah.
Ironisnya, harga tanah yang semakin mahal ini hadir di kala kota Jakarta dibombardir dengan pertumbuhan generasi muda secara drastis. Fakta ini pun menjadi isu tersendiri bagi kaum urban. Sehingga wilayah pinggiran kota akhirnya menjadi solusi tempat tinggal generasi baru. Beruntungnya kita, kedatangan manusia berbondong-bondong ke dalam sebuah wilayah membawa juga kebutuhan untuk makan. Kebutuhan akan makanan yang bermacam-macam inilah yang pada akhirnya mulai terlihat di wilayah sub-urban Jakarta. Destinasi tempat makan tidak lagi dimonopoli oleh kawasan bisnis atau entertainment, namun juga di lingkungan perumahan.
Menurut artikel yang ditulis oleh The Guardian, secara global, generasi milenial dan juga Gen-z tidak lagi melihat tinggal di tengah kota sebagai sesuatu yang realistis, walaupun diiming-imingi image gaya hidup perkotaan yang glamor. Mereka lebih memilih menjauhi pusat kota untuk keseharian yang lebih tenang dan tentunya lebih murah. Selama beberapa tahun terakhir, wilayah sub-urban Jakarta pun mengalami peningkatan perpindahan manusia, khususnya generasi muda. “Wilayah sub-urban itu lebih murah, lebih jauh bisa bergerak, dan lebih sehat.” Terang Mawarid Rolansyah, pemilik studio kreatif 7per8 dan bersama sang istri mendirikan Lunch for My Husband, sebuah usaha delivery sandwich yang populer. Menurut Rolansyah, Ia dan sang istri merasa kota seperti Jakarta tidak lagi sehat untuk membangun sebuah keluarga. “Secara ekonomi dan secara mentalitas, dan dalam jangka panjang akan begitu-begitu saja,” ujarnya. Namun selain alasan personal, Rolansyah merasa wilayah sub-urban juga punya kuliner yang menarik untuk ditelusuri. “Area sub-urban itu banyak yang menarik makanannya. Seperti wilayah BSD dan Bintaro, masakan Tionghoa, restoran Italia sederhana seperti Sale, sebuah toko deli kecil Bernama Mercato, ada di sini.”
Menurut jurnalis boga Trifitria Nuragustina atau yang lebih akrab dipanggil Tria, anak-anak muda yang pindah ke wilayah pinggiran kota punya andil besar dalam membentuk lanskap kulinernya. “Penduduk baru ini muda dan dinamis, menyerap dengan baik suguhan ruang-ruang lifestyle ini. Tentu, industri mengikuti, termasuk restoran dan kafe.” Pertumbuhan wilayah pinggiran kota seperti Bintaro contohnya, yang berbatasan langsung dengan wilayah Tangerang Selatan. Honu, sebuah merek makanan yang menjual poke-bowl ala Hawai di wilayah Kemang memutuskan untuk membuka outlet mereka di Bintaro. “Saya dan rekan bisnis melihat bahwa wilayah pinggiran kota seperti Bintaro punya pasar tersendiri, terlebih di sana ada sembilan sektor perumahan. Teman-teman kami juga banyak yang tinggal di wilayah itu. Terlebih di masa seperti pandemi dan orang sudah terbiasa work from home, tidak lagi 9-5 di tengah kota.” Terang Sashia Rosari, salah satu pemilik dari Honu. Bintaro memang menjadi salah satu idaman selama tiga tahun terakhir oleh millennial yang mempunyai dana untuk membeli rumah. Menurut Tria, developer juga cerdas mengambil kesempatan ini. “Developer yang gesit menyambut gelombang keluarga muda. Seawal delapan pagi, kafe-kafe sudah ‘hidup’ menjadi tongkrongan pesepeda dan ‘mamah muda’ yang menunggu anaknya bersekolah. Sementara anak-anak dari wilayah Jakarta Selatan berdatangan untuk hangout pagi dan sore, menyenangi suasana perumahan yang tak sesak, bersandingan dengan kafe-kafe kecil.”
“Untuk sebuah distrik bisa maju, perlu dibangun suasana komunitas yang kuat.” Terang Julius Kensan, editor-in-chief dari Manual, sebuah media lifestyle yang berbasis di Jakarta kepada Feastin’ via email. Satu nada dengan Tria, Julius juga mengatakan bahwa entrepreneur dengan cerdik melihat kehadiran generasi muda dalam suatu wilayah baru ini sebagai potensi. “Seperti Taka House dan The Lapan di Bintaro, serta event kreatif lainnya, membuat orang bisa datang dan saling berbagi minat yang sama sehingga terjalin nuansa komunitas di situ.” Jelasnya.
Sebetulnya fenomena wilayah sub-urban yang diramaikan oleh generasi muda dengan komunitas yang kuat, hingga akhirnya membuat lanskap kulinernya menarik juga terjadi di banyak tempat di belahan bumi lainnya. Contohnya antara Manhattan dan Brooklyn di kota New York. Dua puluh hingga tiga puluh tahun lalu, penduduk yang masih muda dan tidak mampu untuk membayar harga rental Manhattan yang sangat tinggi pindah berbondong-bondong ke wilayah Brooklyn yang jauh lebih terjangkau. Kemudian pada dekade 2000, mulai muncul berbagai macam produk artisan makanan dan minuman asal kota Brooklyn, mulai dari Bedford Cheese Shop (2003) sampai MAST Brothers Chocolate (2007). Mencapai dekade 2010, Brooklyn pun akhirnya masuk sebagai salah satu area paling seksi di kota New York untuk penggemar makanan. Saat buku panduan Michelin menerbitkan edisi perdana tahun 2006, beberapa restoran di Brooklyn mendapatkan bintang Michelin. Di dekade 2010, sudah lebih dari dua restoran mendapatkan dua bintang Michelin. Hal ini tidak akan terjadi bila bertahun-tahun sebelumnya tidak ada perpindaan penduduk muda ke wilayah Brooklyn.
Di luar area sub-urban populer seperti Bumi Serpong Damai (BSD) dan Bintaro, wilayah Jakarta bagian timur, hingga yang berbatasan dengan wilayah Depok juga mulai diwarnai oleh tempat-tempat makan yang menarik. Ada Orvia Gelato yang berada di wilayah Kalimalang; bakery Bake Bros di Cinere yang menjual viennoisserie berkualitas; hingga yang baru-baru ini mengejutkan adalah restoran omakase populer 71st Omakase yang sebelumnya berlokasi di area gourmet Cikajang, sekarang pindah ke sebuah rumah di gang kecil di jalan yang menjadi penghubung area Cirendeu (Tangerang Selatan) dan Cinere (Depok). Konsep restoran high-end yang berada di wilayah sub-urban atau yang jauh dari pusat kota sebetulnya bukan hal baru di banyak negara dunia. Restoran yang mendapatkan predikat beberapa kali sebagai restoran terbaik di Australia – Attica – tidak berlokasi di jantung bisnis Melbourne atau di wilayah mahal. Attica justru berada di area pinggir kota yang jauh dari kesan glamor, berada di area pertokoan sederhana. Ada pula Blue Hill at Stone Barns milik chef Dan Barber. Lokasinya puluhan kilometer di luar wilayah Manhattan New York dan berupa perkebunan yang lapang. “Salah satu alasan kenapa kami berani pindah dari tengah kota ke pinggiran kota - bahkan ke dalam jalan gang – terinspirasi oleh restoran di Spanyol El Celler De Can Rocca. Setelah kami coba makan di sana, kami melihat bahwa lokasi bukan penentu utama sebuah restoran untuk berhasil. Lokasinya bahkan di pedesaan, jauh dari kota.” Terang Fariz Priady, pemilik 71st Omakase. Namun yang justru menarik adalah demografis yang datang ke restoran ini. Walau lokasinya bukan area glamor, justru menarik banyak orang ke sini. “Tamu kita bahkan hampir seluruhnya datang jauh dari Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Barat, bahkan hingga luar kota. Dari area Cirendeu sendiri belum ada. Bahkan pengunjung jauh lebih banyak dari saat kami berada di Cikajang.” Ujar Fariz. Tentu ini hanya bisa terjadi bila masyarakat sudah mulai paham betul value dari sebuah tempat makan, hal yang tidak mungkin bisa dilakukan restoran di Jakarta bahkan 10 tahun yang lalu, di mana tempat makan kelas atas hanya dapat berhasil bila berada di kawasan bisnis kota.
Inilah hal menarik dari wilayah sub-urban. Masih banyak potensi tersembunyi yang belum tergali dan akan semakin terlihat ke depannya seiring penduduk muda bergeser ke wilayah pinggir kota. “Dengan semakin banyaknya millennial membangun keluarga, kehidupan pinggir kota jadi lebih appealing. Memang kehidupan berpusat di tengah kota, namun rupanya pusat kota tidak lah selalu nyaman.” Jelas Julius.