Genre Masakan Indonesia yang Terlupakan

Tahun 1985 menjadi saksi lahirnya sebuah genre baru dalam khazanah kuliner Indonesia, yaitu nouvelle Indonesian cuisine yang diprakarsai oleh chef Detlef Skrobanek. Namun masa kejayaannya sangat cepat dan sudah terlupakan oleh generasi baru, layaknya sebuah prasasti yang hilang ditelan masa.

Chef Detlef Skrobanek membukukan gaya masakan ini dan diterbitkan tahun 1988 oleh Times Edition.| Foto oleh Times Edition.

Chef Detlef Skrobanek membukukan gaya masakan ini dan diterbitkan tahun 1988 oleh Times Edition.| Foto oleh Times Edition.

“Waktu itu bapak Mochtar Kusumaatmadja sebagai menteri luar negeri yang punya inisiatif untuk mendorong diperkenalkannya gaya masakan ini.” Terang William Wongso, seorang culinary connoisseur dan ikon kuliner di Indonesia kepada Feastin’ melalui telepon. Cikal bakal dari konsep masakan Indonesia yang diolah dengan sentuhan Eropa ini lahir dari ide seorang Detlef Skrobanek, yang pada tahun 1985 merupakan executive chef dari Jakarta Hilton International (sekarang Hotel Sultan Jakarta). Ia mempunyai sebuah pemikiran bahwa masakan Indonesia yang disajikan kala itu di hotel kelas atas masih berupa rijstaffel dan dalam porsi besar, sehingga kurang cocok untuk acara-acara formal yang segalanya lebih tertata.

Ketika pengusaha dan mantan menteri M.Hasan menjadi presiden dari organisasi Chaine des Rotisseurs, organisasinya mengadakan acara makan malam spesial yang dikreasikan oleh chef Detlef di hotel Jakarta Hilton International. Makanan yang dibuat oleh chef Detlef merupakan gaya baru, yaitu bahan baku Indonesia yang dimasak dengan cara Eropa, dengan penyajian yang lebih tertata, serta cita rasa yang lebih ringan. Rupanya hal ini sampai ke telinga seorang Mochtar Kusumaatmadja. Beliau kemudian yang aktif menjadi promotor gaya masakan baru ini ke berbagai acara-acara diplomasi yang di mana dirinya menjadi tuan rumah.

Artikel The New York Times tahun 1985 yang menerbitkan mengenai acara memasak nouvelle Indonesian cuisine. | Koleksi The New York Times Archive.

Artikel The New York Times tahun 1985 yang menerbitkan mengenai acara memasak nouvelle Indonesian cuisine. | Koleksi The New York Times Archive.

“Ketika itu memang masa keemasan gourmet society di Jakarta. Bahan baku dengan mudah bisa didapat di mana-mana. Hotel bintang lima dan chef juga royal, tidak hitung-hitungan. Kolaborasi juga berjalan terus.” Jelas William yang pada tahun 1986 menjadi presiden Chaine des Rotisseurs selama satu dekade. Promosi juga tidak hanya dilakukan oleh menteri Mochtar di Indonesia saja. Pemerintah melakukan kolaborasi dengan restoran Indonesia di kota New York dan membawa masakan ini dalam acara promosi budaya pada tahun 1985 di hotel Vista New York. Menurut artikel yang diterbitkan oleh The New York Times pada bulan November 1985 dengan judul Lighter Indonesian Fare for Westerners, chef Detlef menerangkan bahwa prosesnya melahirkan gaya masakan baru ini membutuhkan proses yang cukup panjang. Ia bekerja dengan chef Eddy Rusman, salah satu chef Indonesia di dapur Jakarta Hilton, mengumpulkan saran dari lebih dari 170 staf dapur hotel, mencoba ratusan resep, hingga akhirnya hadir dengan 90 menu. Perpaduan gaya masakan Indonesia dan Barat itupun melahirkan beberapa menu yang jadi andalan chef Detlef. Seperti dada bebek Perancis yang disajikan dengan salad kecambah dan saus kacang pedas; lobster mousse yang disajikan dengan berbalut roti jala ala Sumatera; hingga dessert berupa beberapa lapis mousse pisang dengan saus gula merah dan praline dari asam jawa.

Chef Detlef Skrobanek pun menerbitkan buku berjudul The New Art of Indonesian Cooking, yang merupakan resep-resep gaya masakan baru Indonesia yang diharapkan bisa populer ke khayalak umum dan menjadi gebrakan baru sebagaimana misi awalnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Konsep nouvelle Indonesian cuisine yang sebelumnya ia ciptakan justru meredup dan perlahan hilang layaknya uap di udara. Apalagi memasuki tahun 1990-an, hotel bintang lima bukan lagi jadi destinasi tempat makan, melainkan pusat perbelanjaan modern serta wilayah pemukiman dengan pendekatan lifestyle-nya. Nama-nama seperti Café Victoria dan KOI Mahakam lebih populer di generasi baru Jakarta. “Bukunya juga kurang populer, akhirnya ya jadi tidak populer di kalangan umum.” Jelas William kembali.

Barulah ketika sosok Chris Salans di dekade awal 2000 muncul dengan restoran Mozaic di Ubud, konsep perpaduan masakan Indonesia dan Barat muncul kembali, namun kali ini dengan gaya yang lebih kontemporer. “Menurut saya, masa seperti tahun 1980-an di lanskap gourmet tidak akan bisa terulang lagi. Biarlah ini menjadi bagian dari sejarah, It’s okay.” Tutup William.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Kerinduan akan Simfoni Kaki Lima

Next
Next

Future Eaters: Memahami Gen-Z dan Makanan