Driando Ahnan: Doktor Muda Promotor Tempe
Driando Ahnan-Winarno adalah doktor muda yang besar di keluarga ilmuan pangan. Bersama kakek dan ibunya, Driando memprakarsai Tempe Movement yang menyuarakan potensi tempe di Indonesia dan luar Indonesia.
Tempe pada dasarnya merupakan produk Nusantara yang tidak bisa lepas dari keseharian masyarakat Indonesia, terutama mereka di Tanah Jawa. Sebagai warisan makanan negeri ini, tak hanya sejarah tentang tempe saja yang penting. Selama beberapa tahun terakhir, dunia mulai mengakui keberadaan tempe sebagai salah satu super food, terutama untuk mereka yang menganut pola makan vegan dan vegetarian sebagai pengganti daging.
Kepopuleran tempe di Indonesia dan negara luar tidak lepas dari andil Tempe Movement, sebuah gerakan yang diprakarsai oleh keluarga ilmuan pangan. Dimulai dari sosok Prof. Winarno, lalu turun ke anaknya Wida Winarno, dan sekarang juga digerakkan oleh generasi ketiga, Amadeus Driando Ahnan. Driando - atau secara formal sudah layak dipanggil Dr. Driando - baru saja meluncurkan karya ilmiah yang dapat menjadi acuan terlengkap mengenai tempe.
Feastin' berbincang dengan Driando tentang pentingnya sosok sang kakek dalam perkembangan karirnya, ketertarikannya dengan tempe, sampai dunia musik yang Ia geluti.
Feastin’ (F) Bagaimana Anda mulai memiliki ketertarikan dengan makanan, terutama tempe?
Driando Ahnan (DA) Kalau di keluarga awalnya di kakek. Karena kakek saya mungkin salah satu orang pertama di Indonesia yang bergelar ilmu pangan. Tapi sebetulnya diskusi soal makanan udah mandarah daging di keluarga kami.
(F’) Boleh diceritakan latar belakang kakek dan ibu Anda sebagai akademisi dan ilmuan?
(DA) Latar belakang kakek itu awalnya adalah dokter hewan. Tapi karena ada trauma melihat darah saat muda, setelah itu kakek fokus untuk mengambil ilmu pangan (food science) di Massachusetts America Serikat dan akhirnya mengambil gelar doktoral di ilmu pangan. Begitu juga dengan ibu. Ibu punya gelar di ilmu pangan seperti kakek dan juga saya.
(F’) Kapan Anda memutuskan untuk juga fokus sebagai ilmuan? Dan apa yang mendorongnya?
(DA) Saya sebetulnya punya ketertarikan tinggi dalam bidang seni seperti music, seni, dan desain. Tapi saya juga sengan dengan kuliner karena banyaknya ilmu yang ada di balik dunia makanan itu sendiri. Dari proses masak sampai memilih bahan makanan jadi, saya tertarik sekali dengan seluruh proses tersebut. Tapi cerita uniknya sebetulnya jaman saya SMA. Saat itu ada guru biologi saya yang memaksa saya untuk belajar. Tapi justru karena dipaksa itu pemikiran saya tentang dunia biologi serta sains terbuka. Setelah itu saya akhirnya mengambil S1 bioteknologi di Universitas Atma Jaya, di mana di dalamnya ada materi food biotechnology. Nah, ini yang menarik sekali, karena pengaplikasiannya relate sekali dengan kehidupan sehari-hari, lebih menarik dari pada belajar soal DNA, haha.
(F) Bagaimana awalnya berdiri Indonesia Tempe Movement? Mengapa menggunakan kata ‘Movement’ seakan ini adalah sebuah gerakan?
(DA) Awalnya kakek, ibu dan saya. Kakek lagi ngajar di Atma Jawa, ibu lagi ambil S2 di Atma Jaya, dan saya juga lagi di Atma Jaya. Nah, waktu itu pembicaraan kami seru sekali soal makanan, berbarengan saat saya sedang senang bodybuilding saat itu. Saya mencari lah bahan baku lokal dengan penggunaan buat bodybuilding, karena mahal ya protein lain. Nah, setelah itu obrolan kami bertiga lebih dalam tentang tempe – juga kebetulan kakek lagi membahas tentang tempe serta ibu lagi belajar fermentasi – kami memutuskan untuk serius mengerjakan ini.
(F’) Tempe sekarang sudah umum ada di pasar global, namun adakah hal yang belum dilakukan oleh Indonesia sebagai negeri asal untuk memaksimalkan potensi sosial-ekonomi dan budaya produk ini?
(DA) Dari perspective produk industri pangan, tempe di negara luar itu tidak fresh. Indonesia sangat tergolong fresh. Karena berbagai regulasi internasional, tempe jadi diindustrialisasi dan akhirnya mengurangi gizi karena proses pastreusasi tersebut. Jadinya ada compromising.
(F’) Anda mendapatkan gelar PhD di usia muda, apa yang menjadi motivasi utama?
(DA) Jujur dari kecil saya sudah penasaran bagaimana rasanya menempuh pendidikan tertinggi. Di luar itu, saya benar-benar ingin memberikan kontribusi lebih kepada masyarakat lewat ilmu yang saya punya.
(F’) Boleh diceritakan lebih jauh tentang Better Nature?
(DA) Ketika lagi kuliah di Amerika Serikat, saya berusaha mati-matian untuk kerja dan cari uang sendiri. Makanya saya berusaha dengan kuat untuk bisa ikut lomba dan kompetisi agar bisa menang dan punya dana lebih untuk membantu biaya saat kuliah. Nah, singkat cerita ketika ada lomba di Cambridge University di Inggris, kami ternyata menang juara satu. Uang tersebut saya buatlah untuk membangun bisnis dengan dengan teman bernama Better Nature, sebuah brand makanan dengan benang merah tempe, digabung dengan gaya hidup plant-based yang sedang naik daun. Pendekatannya memang lebih lifestyle.
(F’) Anda bersama beberapa ilmuan menerbitkan jurnal komprehensif tentang tempe, apakah sebetulnya di Indonesia masih kurang karya ilmiah mengenai tempe? Karena hal ini juga terjadi pada pangan lain yang memang kurang sumber ilmiahnya. Boleh dijelaskan?
(DA) Sebetulnya bukan kurangnya. Tapi tercecernya informasi. Mendirikan Tempe Movement harus berdasarkan literatur dan karya ilmiah, namun sebagai ilmuan saja saya kesulitan untuk eksplor datanya karena tercecer di mana-mana. Di situlah saya mulai mengumpulkan data-data tersebut dalam arsip yang saya labelkan sebagai Tempe Bible yang saya sudah kumpulin dari tahun 2014. Saya bisa bilang sejauh ini, tulisan yang kami bikin merupakan salah satu rujukan ilmiah terlengkap mengenai tempe.
(F’) Antara music, maraton dan tempe – bagaimana ketiganya bisa berpadu dalam simfoni kehidupan seorang Amadeus Driando?
(DA) Saya memiliki dua prinsip dalam hidup. Satu, bahwa kalau punya talenta harus diasah terus sampai berguna untuk orang lain. Mau dari musik sampai olahraga – sampai science – makanya saya olah terus. Dan satu lagi prinsip yang kakek saya tanamkan sedari kecil adalah tidak ada sesuatu yang hadir tanpa alasan. Minat yang sepertinya terlihat sepele atau sampingan malah bisa menciptakan sesuatu yang besar. Lagi pula saya senang musik karena seni itu memang tidak ada matinya ya. Bisa ikut terhanyut dalam alunan karya seseorang adalah perasaan yang tidak bisa digantikan.