Coconut & Sambal: Bukti Buku Masih Punya Kuasa.
Dari The New York Times hingga Nigella Lawson, Bagaimana Lara Lee mempopulerkan masakan Indonesia ke skala yang belum pernah dilakukan sebelumnya melalui buku yang Ia tulis, Coconut & Sambal
Belum pernah terjadi sebelumnya ketika beberapa bulan berturut-turut sebuah buku masakan Indonesia tampil di berbagai kolom berita dunia. Coconut & Sambal, yang ditulis oleh Lara Lee – chef dan penulis berdarah Indonesia – dan diterbitkan oleh Bloomsbury, berhasil membuka mata penikmat makanan di dunia akan keberadaan serta keunikan masakan Indonesia. Dari The Guardian, The New York Times, Times of London, Eater, hingga media kuliner paling berpengaruh di dunia Bon Appetit, tak ada satupun yang tidak mengulas buku Coconut & Sambal. Kalau itu belum cukup, buku ini pun masuk ke dalam kategori salah satu buku kuliner terbaik di 2020 oleh The New York Times, The Guardian, Saveur, Eater, hingga National Geographic. Seakan belum cukup juga apresiasi yang didapat oleh Lara Lee dari media mainstream, beberapa sosok influential di dunia kuliner dan non-kuliner pun menunjukkan apresiasi mereka akan masakan Indonesia di dalam buku Coconut & Sambal melalui akun Instagram masing-masing, seperti aktris Drew Barrymore, penulis dan host acara populer Netflix Samin Nosrat, hingga “ratu dapur televisi” Nigella Lawson.
Kesimpulannya: Lara Lee telah memberikan spotlight masakan Indonesia ke kancah populer global dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sosok yang tumbuh dan besar di Australia dengan paduan kultur Indonesia dari sang ayah ini rupanya punya kenangan manis akan Indonesia melalui makanan-makanan yang dibuat oleh sang nenek asal Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sang nenek yang tinggal bersama ayah dan ibu Lara sering memasak makanan Indonesia, sehingga cita rasa Nusantara membentuk fondasi lidah sang Lara Lee kecil. Keputusan menulis buku adalah ide yang baru muncul ketika Lara dewasa sebagai cara untuk mengapresiasi warisan kultur yang Ia miliki.
Buku Coconut & Sambal adalah bukti nyata bahwa buku cetak masih punya pengaruh terbesar dalam memperkenalkan sebuah masakan ke skala internasional, tidak melulu harus digital atau melalui demo masak. Pola ini pernah terjadi sebelumnya ketika Julia Chila menulis buku Mastering the Art of French Cooking dan membuat masakan Perancis meledak dalam lanskap populer di tahun 1960-an; saat Madhur Jaffrey menerbitkan buku An Invitation to Indian Cookery dan mempopulerkan masakan India di tahun 1970-an; hingga mungkin yang terbaru ketika Yotam Ottolenghi datang dengan bukunya Jerusalem dan membuka mata dunia makanan akan kekayaan masakan Yerusalem di awal dekade 2010. Coconut & Sambal yang ditulis oleh Lara Lee sekarang telah masuk ke gelombang yang sama, meneruskan obor yang sebelumnya telah dimulai oleh Sri Owen dengan berbagai buku masakan Indonesia yang Ia tulis sejak tahun 1970-an di Inggris.
Feastin’ mendapat kesempatan untuk berbicang dengan Lara yang berada di Inggris tentang bagaimana awalnya Ia mulai menulis buku hingga aktivitasnya sekarang ini.
Feastin’ (F’): Lara Lee, boleh diceritakan bagaimana awalnya Anda memiliki ide untuk membuat buku Coconut & Sambal?
Lara Lee (LL): Saya tumbuh di Sydney Australia dan dibesarkan oleh ayah saya seorang Tionghoa-Indonesia dan ibu saya orang Australia. Nenek saya yang adalah orang Nusa Tenggara Timur ikut tinggal dengan kami dan masak banyak sekali makanan Indonesia saat say akecil. Jadi saya tumbuh dengan menikmati makanan Indonesia. Sampai saya dewasa, saya tetap mencintai kenangan yang dibawa oleh cita rasa tersebut. Dan saat pindah ke London 10 tahun lalu, saya baru menyadari bahwa masakan Indonesia tidak mendapatkan pengakuan global yang padahal saya tahu betul kalau masakan Indonesia layak mendapatkannya.
Rasanya waktunya sudah tepat buat saya untuk eksplor masakan Indonesia melalui tulisan dan mencoba untuk buat buku masakan, dengan harapan memberikan suara kepada cita rasa masa kecil saya dan menjadi cara saya untuk mengenal lagi lebih dalam warisan darah Indonesia saya. Saya memulainya dengan memasak resep-resep milik nenek saya; keliling Indonesia untuk belajar lagi resep-resep dari keluarga lokal dan resep rumahan di Indonesia.
(F’) Bagaimana proses untuk meyakinkan penerbit supaya menerbitkan buku Coconut & Sambal? Karena sebelumnya buku masakan Indonesia masih asing di kancah global.
(LL) Sebetulnya dunia sudah siap untuk belajar tentang masakan Indonesia. Dalam konteks cerita, kisah hidup saya sebetulnya cerita yang orang banyak rasakan juga: Yaitu sebagai generasi kedua imigran yang tinggal jauh dari Tanah Airnya, di mana orang seperti kami melihat makanan sebagai cara untuk rekoneksi kembali dengan budaya dan identitas kami. Cerita inilah yang ditangkap oleh banyak penerbit, di mana saya menyusun secara komprehensif proposal berjumlah 38 halam lengkap dengan konsep yang jelas, resep contoh yang bisa dicoba, serta foto-foto dan grafis yang baik.
Saya ingin buku yang bisa bercerita, bukan hanya soal resep tapi juga kisah-kisah dari masakan yang saya pelajari selama riset buku ini. Saya ingin buku ini bisa membagi resep-resep dari wilayah kuliner populer seperti Bali dan Jakarta, dan juga wilayah yang jaang didatangi turis seperti Kupang di Nusa Tenggara Timur.
(F’) Bagaimana perjalanan riset Lara? Boleh diceritakan secara singkat kelezatan-kelezatan selama proses riset keliling Indonesia?
(LL) Oke, jadi riset saya dimulai dari dua buku resep punya nenek saya yang ditulis tangan. Karena di Indonesia banyak resep keluarga yang diturunkan hanya lewat cerita, bukan dokumentasi seperti ini. Saya juga beruntung bisa kenal dengan beberapa sosok dalam proses riset saya, termasuk dengan penulis legendaris ibu Sri Owen yang saya anggap sebagai mentor saya.
Berkat Ibu Sri dan pak William Wongso, saya diperkenalkan kepada banyak sekali juru masak rumahan di seantero Indonesia di mana saya mulai melakukan riset keliling negeri. Selama enam bulan saya keliling Jawa, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan juga Bali. Saya banyak juga menghabiskan waktu dengan keluarga besar saya di Indonesia. Akhirnya terkumpul lah lebih dari 300 resep.
(F’) Visual buku Coconut & Sambal betul-betul modern dan muda, apakah memang itu idenya?
(LL) Visual dari buku saya sangat terinspirasi dari warna-warna yang saya temui di Indonesia, terutama warna kamar nenek saya di Kupang yang berwarna hijau limay, dapur berwarna biru, warna botol-botol dan piring kondimen di rumah makan Indonesia dan lain sebagainya. Lagi pula warna cerah tersebut juga mewakili saya sebagai sosok yang bright, bubbly and loud.
(F’) Dari Nigella Lawson hingga The New York Times, buku Lara mendapat perhatian yang belum pernah sebelumnya didapat oleh buku resep masakan Indonesia. Bagaimana tanggapan Lara?
(LL) Jujur saya sangat terharu dan bangga, tidak bisa diutarakan dengan kata-kata. Saya sangat bahagia karena seluruh kecintaan saya terhadap Indonesia saya tumpahkan dan curahkan ke dalam buku ini, mulai dari cerita keluarga hingga sosok-sosok yang membantu saya menyusunnya. Tidak ada yang bisa menggantikan perasaan ini, terutama ketika keluarga saya mengatakan bahwa bila nenek saya masih hidup, beliau akan sangat bangga dengan pencapaian ini.
(F’) Bagaimana respon pembaca di seluruh dunia tentang buku ini, terlebih soal masakan Indonesia?
(LL) Berkat media sosial, saya dapat banyak info dari pembaca kalau mereka lagi masak resep dibuku itu, dan mereka suka sekali dengan cerita-ceritanya. Banyak juga diaspora Indonesia yang tinggal di seluruh dunia mengirim pesan betapa bangganya mereka dengan karya ini. Tapi hal yang paling saya senang adalah saat melihat resep di buku saya jadi andalan untuk di rumah pembaca, setidaknya seminggu sekali.
(F’) Coconut & Sambal juga menjadi bukti bahwa buku resep masih jadi media yang paling powerful untuk memperkenalkan budaya makanan sebuah negara, benarkah itu menurut Lara?
(LL) Tentu saja! Walaupun sekarang resep bisa dikenalkan lewat podcast, televisi, media sosial, saya rasa selama pandemi ini membuktikan bahwa orang masih merasa nyaman dengan membeli buku masakan. Buku masakan seperti pelarian untuk melakukan “traveling” via makanan di dapur sendiri. Sejak lama buku masakan tetap jadi media paling pertama – namun masih paling kuat – dalam memperkenalkan masakan sebuah negara.
(F’) Bagaimana pendekatan Lara soal resep? Apakah betul-betul tradisional atau memastikan bahwa resep juga bisa diaplikasikan secara global?
(LL) Ada persepsi bahwa masakan Indonesia itu sangat sulit dan susah dibuatnya. Memang dalam kasus tertentu betul. Seperti di Inggris terasi sangat susah didapat, apalagi kencur, kecombrang, daun salam, hingga daun kunyit. Untuk alasan ini beberapa resep yang sulit bahannya tersebut saya tweak sedikit atas dasar adaptasi bahan baku. Jadi siapapun yang membeli buku ini tidak kesulitan membuatnya di manapun mereka berada tanpa menghilangkan esensi dan karakter dari masakan Indonesia. Namun bila bahan baku sebuah resep mudah ditemukan, maka saya tulis secara komplit dan orisinil. Prinsip adaptasi ini penting dipahami oleh mereka yang menulis buku masakan untuk audiens global.
(F’) What is next for Lara Lee?
Sekarang saya juga menulis resep untuk banyak media internasional seperti Bon Appetit dan juga Food and Wine. Hal ini saya rasa sangat baik karena berarti saya bisa terus membagikan warisan resep-resep dari dua sisi keluarga saya yaitu Indonesia dan Australia. Saya juga sedang menyusun buku berikutnya tentang resep-resep Indonesia, nantikan ya!
Untuk mengetahui aktivitas Lara Lee bisa mengikuti akun media sosialnya di Twitter dan Instagram dengan nama @laraleefood.