The Year 2020 on Food

Dari restoran terdampak pandemi, meningkatnya masakan rumah, hingga kolaborasi unik antar pelaku kuliner memenuhi 2020.

2020.jpg

Ketika berada di akhir tahun 2019, hampir semua masyarakat menyambut dengan penuh antusiasme tahun 2020. Angka yang baik identik dengan harapan yang baik juga. Industri kuliner Indonesia sendiri pada akhir 2019 sedang meningkat-ningkatnya. Pertumbuhan restoran baru sampai bisnis makanan delivery seakan berada di jalur cepat dan siap memeriahkan dekade baru dengan segala maca konsep yang dipunyai. Impian para pelaku bisnis kuliner pun ikut memuncak dan mereka bergerak dengan penuh kepercayaan diri serta ambisi, sampai akhirnya semua orang harus dibangunkan dari mimpi mereka. Masa awal 2020 di bulan Januari Jakarta kedatangan beberapa venue baru yang asyik. Kota masih ramai dan penuh dengan gegap gempita seperti biasanya. Begitu pula industri kuliner di Pulau Dewata Bali yang seakan tak pernah sepi. Hingga ketika memasukin akhir kuartal pertama 2020, dunia seakan berhenti bergerak.

Virus Covid-19 yang berawal dari kota Wuhan di Cina rupanya lebih buruk dari yang dibayangkan oleh siapa pun. Awalnya hanya kota Wuhan dan sekitarnya yang jadi pokok perbincangan di televisi; kemudian kita lihat nama-nama wilayah yang familiar; lalu ketika negara-negara seperti Inggris, Italia, Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat mengumumkan bahwa virus sudah masuk ke wilayah mereka, kepanikan terjadi. Tidak perlu menunggu waktu lama hingga di minggu kedua bulan Maret untuk Badan Kesehatan Dunia PBB melayangkan bendera merah bahwa Covid-19 statusnya sudah menjadi pandemic global. Saat presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa di Indonesia sudah ada yang terjangkit Covid-19, Jakarta berubah dari kota ria menjadi kota mati. Ekonomi terdampak dengan keras, hingga akhirnya yang paling terlihat adalah bisnis hospitality termasuk restoran.

Penutupan restoran dan pivoting

Yang semakin menyesakkan dari kehadiran virus Covid-19 di awal tahun adalah dampaknya ke pembukaan restoran baru. Awal hingga pertengahan tahun, umumnya adalah waktu di mana banyak restoran baru untuk buka. Biasanya pada masa inilah penikmat makanan dimanjakan dengan konsep-konsep segar di berbagai tempat di Jakarta. Tapi tidak dengan tahun ini. “Restoran kami pada awalnya ditargetkan untuk buka di pertengahan tahun 2020. Dari gambar kerja sampai initial meeting pembangunan sebetulnya juga sudah mantap,” terang Hans Christian, chef-owner dari Restaurant August yang akan membuka restoran impiannya di wilayah SCBD. “Namun akhirnya kami harus berhenti karena kalau terus dilanjutkan maka kerugian akan jauh lebih besar dari yang sudah ada,” lanjutnya.

August masih lebih beruntung karena restoran masih dalam tahap pengerjaan. Bagi banyak restoran yang sudah berdiri, mereka telah sampai di titik akhir perjuangan. Menurut Emil Arifin, Wakil Ketua Umum PHRI kepada CNBC, hingga September 2020 sudah ada 1033 restoran dari 9054 restoran yang disurvei terpaksa tutup permanen. Yang paling terdampak adalah mereka yang berada di dalam pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, hingga yang berdiri sendiri tanpa ada revenue dari lini bisnis yang lain. Warung Kita, outlet masakan rumahan Indonesia yang menargetkan pekerja kantoran di pusat perbelanjaan kelas atas contohnya harus berhenti beroperasi.

Private dining jadi core utama Restaurant August selama pandemi. Verde Two Apartment | Foto: Instagram Restaurant August

Private dining jadi core utama Restaurant August selama pandemi. Verde Two Apartment | Foto: Instagram Restaurant August

Bali juga merasakan hal yang sama. Provinsi yang bisa dibilang bergantung 99% pendapatannya dari industri pariwisata seakan bertemu dengan mimpi terburuk mereka. Di wilayah Badung Bali yang di dalamnya terdapat area populer seperti Kuta, Legian, Seminyak, terdapat lebih dari 500 restoran dan hotel yang terkena imbas menurut Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung Bali.

Dengan kondisi yang semakin parah dan tak menentu, tentu para pengusaha restoran dipaksa untuk bergerak cepat dan beradaptasi agar tidak semakin terpuruk. Hasilnya, banyak dari mereka yang melakukan pivoting usaha entah itu bentuk bisnisnya hingga area baru yang dijamah. Memiliki tim seperti Budi Cahyadi, maîtres d muda yang punya latar belakang hospitality selama lebih dari 10 tahun di Mandarin Oriental London dan Jakarta dan pastry chef Ardika Dwitama yang pernah bekerja bersama Will Goldfarb di Room4Dessert Ubud, Restaurant August akhirnya secara cepat mengubah bentuk bisnisnya menjadi private dining untuk sementara. “Private dining yang awalnya kita lakukan sambil mengerjakan projek pembangunan restoran justry menjadi core dari operasi kita sekarang. Selain itu banyak faktor lainnya seperti hubungan baik yang dijalin oleh tamu-tamu reguler kita, kita sebagai tim selalu sadar bahwa we are not only in the food business, but also human connection business,” terang chef Hans Christian.

Bila Jakarta masih bisa bernapas walau terengah-engah, Pulau Bali sudah hampir mati. Namun sepanjang sejarah manusia, selalu ada hikmah di balik sebuah krisis. Chef Maxie Millian merasakan langsung hal itu. Sosok yang sebelum pandemi adalah the driving force di balik dua restoran Indonesia modern Sang Saka dan Merah Putih ini sekarang bersama dengan sang istri berkreasi di warung makan mereka, Riung Rasa, di wilayah Uluwatu. “Sampai di bulan Februari semua masih berjalan normal walau pun kita sudah mendengar soal kasus-kasus yang terjadi di negara lain. Revenue sudah sedikit menurun dikarenakan turis-turis dari Asia sudah berkurang pesat. Awal Maret kasus pertama Covid-19 diumumkan telah ditemukan di Indonesia dan setelah itu dalam waktu dua minggu semua berubah. Hingga akhirnya wisatawan mulai pulang ke negara masing-masing dikarenakan policy lockdown,”terangnya kepada tim Feastin’. Tapi justru pandemi ini membuka banyak peluang baru bagi pengusaha makanan yang berani untuk berpikir cepat. Konsep Riung Rasa yang terbilang outdoor dapat dibilang mengakomodir anjuran makan di luar ruang selama pandemi, sehingga tidak perlu menunggu waktu lama untuk warung makan yang menyajikan makanan rumahan seperti siomay Bandung hingga mie ayam itu jadi tempat favorit baru. “Kami bersyukur bahwa justru di tengah masalah seperti ini, kami masih dapat bisa merasakan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar tetap berkreasi. Saya rasa kondisi pandemi ini adalah pelajaran dari Yang di Atas supaya kita tidak arogan dan menganggap paling bisa. Masih ada kuasa yang lebih besar dari kita semua,” dengan tegas chef Maxie Millian berucap.

Selain chef Christian dengan Restaurant August serta chef Maxie Millian dengan Riung Rasa, tidak terhitung banyaknya restoran yang punya core sebagai dine-in place harus mengembangkan sayap mereka ke bentuk bisnis yang lain seperti delivery dan juga memanfaatkan inovasi baru yang berkembang dalam dunia kuliner digital, yaitu cloud kitchen.

Maxie Millian dan sang istri di Riung Rasa. | Foto: Instagram Maxie Millian

Maxie Millian dan sang istri di Riung Rasa. | Foto: Instagram Maxie Millian

Bangkitnya industri makanan rumahan yang didorong teknologi

“Banyak pengusaha kuliner, terutama restoran tradisional melihat cloud kitchen sebagai solusi yang membantu mereka mengarahkan dan beradaptasi ke online delivery. Dengan pandemi ini, restoran yang mengandalkan dine-in terpaksa tutup dan akibatnya, mereka harus mencari solusi alternatif yang fokus terhadap delivery.” Hal ini disampaikan oleh Andreas Surjaputra, perwakilan dari cloud kitchen Everplate Kitchens di Jakarta. Sebetulnya melakukan perpindahan bentuk usaha dari outlet restoran ke cloud kitchen merupakan solusi yang logis, mengingat di masa sekarang pengusaha didorong untuk lebih cerdas berhitung di tengah kondisi konsumsi masyarakat yang belum kembali normal.

“Segment layanan pesan-antar memang sudah berkembang, dan pandemi ini meningkatkan minat para pengusaha kuliner untuk bergabung dengan bisnis cloud kitchen karena mereka mencari langkah untuk fokus terhadap pasar delivery, apalagi dengan biaya awal dan biaya operasional yang lebih rendah, dan juga jangka waktu mulai penjualan yang cepat.” Menurut Andreas sendiri, sebetulnya ada tiga segmentasi pasar yang bisa diuntungkan dengan adanya cloud kitchen ini, ”Untuk perusahaan besar, kami bisa jadi cara cepat untuk memperluaskan jangkauan pemasaran dengan biaya minimal karena mereka telah membuktikan konsep dan model bisnis yang tepat. Untuk UMKM, terutama untuk mereka yang buka di mall dan sudah merasakan dampak PSBB berkali-kali dan ingin mencoba beralih ke bisnis model khusus untuk delivery-only. Yang terakhir adalah pengusaha kuliner pemula yang muncul di saat pandemi.”

Hingga sebelum pandemi, kita melihat bermunculan penjual makanan online rumahan yang memanfaatkan platform digital seperti Instagram hingga Tokopedia. Bagi Andreas Surjaputra, mereka yang mempunyai visi untuk memperluaskan pemasaran akan melihat cloud kitchen sebagai solusi karena resikonya jauh lebih rendah dibandingkan membuka toko fisik di situasi yang tidak dapat diandalkan seperti sekarang. Di luar apakah bisnis makanan online tersebut bergabung di cloud kitchen atau hanya mengandalkan pre-order saja, ada satu fakta yang tidak bisa terbantahkan: Yaitu bertumbuhnya bisnis makanan rumahan dengan ragam konsep menarik.

Gerry Zulchairy – atau yang dipanggil oleh teman-temannya sebagai Gero – juga tidak menyangka kalau justru di pandemi ini usaha sederhananya untuk membuat nasi goreng buatan Ibu malah populer. “Awalnya saya mulai usaha bernama Nasgero ini karena terdesak  saja sih, karena di rumah tidak bisa ngapa-ngapain. Terus berhubung mulai banyak orang yang jual makanan, saya coba saja sama ibu saya. Kita coba mengolah nasi goreng yang biasa kami makan di rumah dan saya kirim ke teman-teman. Rupanya responnya baik sekali, jadi deh saya seriusin,” jelas Gerry kepada Feastin’. Nasi goreng buatan Nasgero ini unik, menggunakan beras basmati alih-alih beras lokal. Menariknya, justru makanan-makanan rumahan unik atau pun yang betul-betul spesifik yang banyak bermunculan. Bukan lagi ayam geprek atau bakmi yang terbilang general. Makanan yang tadinya mungkin hanya merupakan resep keluarga atau dibuat karena kesukaan pribadi, mendapat kesempatan untuk digemari juga oleh orang banyak. Nasgero buatan Gerry Zulchairy hanyalah satu dari cukup banyaknya brand masakan rumahan atau camilan unik yang mendapat spotlight justru di saat pandemi. Ada FatCat yang membuat snack manis dari susu, Lunch for My Husband dengan core sandwich yang bermain dengan inspirasi dari ragam rasa negara, Mie Celor 6D yang menggunakan resep keluarga dari Palembang, dan lain sebagainya. “Makin ke sini menurut saya karena banyaknya keterbatasan untuk berekspresi dan beraktivitas, orang-orang semakin terdesak dan malah jadi semakin kreatif,” ujar Gerry. Dengan semakin mudahnya intervensi teknologi di dunia makan dan minum, bisnis makanan rumahan seperti Nasgero ini jadi makin mudah untuk ditemukan.

Nasgero menyajikan makanan rumahan yang justru lebih digandrungi saat pandemi. | Foto: Instagram Nasgero

Nasgero menyajikan makanan rumahan yang justru lebih digandrungi saat pandemi. | Foto: Instagram Nasgero

Pembuatan konten di kala pandemi

Yang juga menarik untuk disimak adalah bagaimana pandemic berpengaruh untuk orang-orang yang bergerak di bidang industri kreatif dan pembuatan konten, terutama para food instagrammer, key opinion leader (KOL) makanan, serta food-content creator lainnya. Prawnche Ngaditowo, seorang food KOL yang aktif di Instagram dengan akun @foodventurer_ turut mengemukakan kondisi ini kepada Feastin’. “It’s pretty much a mess after mess, and we haven’t recovered yet so far. Sejak pandemic melanda, tentu banyak proyek dan pekerjaan yang dibatalkan karena harus di rumah saja.” Dengan restoran sebagai core content dari banyak content creator, tentu penutupan restoran menjadi masalah besar. Hal ini menyebabkan pembuatan konten menjadi tersendat, publikasi berkurang drastis, berdampak ke menurunnya angka audience, sehingga di ujungnya juga berdampak ke pendapatan mereka.

Namun menurut Prawnche, pivoting oleh pelaku brand makanan dengan cepat sangat membantu. “Banyak F&B business yang cepat beradaptasi dengan kondisi ini sehingga tetap ada saja pekerjaan untuk saya dan pelaku profesi-profesi seperti saya ini,” ungkapnya. Ia juga mengamini bahwa pandemi memunculkan ragam kuliner rumahan baru yang beragam untuk dicoba sebagaimana yang dibuat Nasgero. Konten memasak yang tadinya dipikir kurang populer dan hanya dekat dengan ibu-ibu rumah tangga rupanya menemukan penikmat dari kalangan muda. Memasak di rumah, pesta di rumah, dalam sekejap jadi keren lagi.

“Kami sangat berharap akhir 2020 ini adalah puncak dari pandemi. We don’t need another year like this.” Tutup Prawnche.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Let’s Celebrate New Year’s Eve (At Home)

Next
Next

Ria Pizza Jakarta: Dari Gaya Fast Food Sampai ala New York