Cerita Cipete: Evolusi Sebuah Distrik Kuliner

Dari pusat kuliner Perancis ke distrik kopi, inilah transformasi area Cipete.

Anak-anak muda bersepeda meramaikan jalan sepanjang kurang lebih satu kilometer itu. Mereka dengan asyik menghabiskan detik dan menit melewati segala macam tempat makan yang ada di sana. Dari rumah makan Minang sampai warung mie modern, cafe trendi hingga restoran steak. Ya, inilah Jalan Cipete Raya, area yang menyambung jalan Fatmawati Raya dengan Pangeran Antasari.

Selama dua puluh tahun terakhir, Cipete mengalami transformasi yang bikin mantap posisinya sebagai destinasi makan dan minum. Namun sebelum dikenal kayak sekarang, wilayah Cipete punya perjalanan yang cukup panjang untuk sebuah distrik nan mungil.

French Quarter

Wilayah Cipete semakin ramai menjadi tempat tinggal ketika memasuki tahun 1970-an. Sebagai bagian dari pemekaran wilayah pemukiman di Jakarta Selatan yang dekat dengan Kebayoran Baru, di Cipete mulai bermunculan wilayah perumahan seperti salah satunya kompleks Bank BDN (sekarang menjadi kompleks Bank Mandiri) yang sangat luas. Setelah tahun 1962 sekolah Yapenka berdiri, hadir pula sekolah-sekolah lain seperti Pangudi Luhur di Haji Nawi tahun 1970, AL Ikhlas tahun 1976, dan juga sekolah Perancis pertama di Indonesia yaitu Lycée Français Louis-Charles Damais School Jakarta atau Lycée Français de Jakarta di Cipete Dalam.

Nah, hadirnya sekolah Perancis ini menggiring komunitas Perancis ke wilayah Cipete, yang pada akhirnya memberi pengaruh pada lanskap makan dan minum di wilayah Cipete dengan mulai bermunculannya kafe dan restoran Perancis. Sebelum Cipete, Jakarta juga pernah memiliki French Quarter, namun hal itu terjadi lebih dari 100 tahun yang lalu di wilayah Jalan Juanda-Harmoni-Veteran. Walau pun dalam skala yang lebih kecil, kehadiran restoran dan kafe Perancis di Cipete cukup signifikan dan baru banyak hadir di periode awal 2000.

Ketika seorang kritikus restoran dan sastrawan Laksmi Pamuntjak menyusun buku The Jakarta Good Food Guide sebagai buku panduan restoran independent pada akhir 1990-an dan diterbitkan perdana edisi tahun 2001, Ia berhasil menghimpun banyak nama-nama yang pernah meramaikan wilayah Cipete dengan renyahnya lapisan tart quiche yang berserpih keemasan, dan juga aroma mentega dan bawang putih yang muncul bersama dengan escargot panggang. Berada agak di bagian atas Cipete Raya, tepatnya di Cipete Utara, chef J.Dupaine yang dulunya mendirikan A La Bastille di Jalan Pangeran Antasari mendirikan La Fontaine. Di La Fontaine, tamu bisa menyantap menu seperti kelinci ala Normandy dan juga daging domba yang keduanya adalah repertoire klasik dari cuisine Françoise. La Fontaine rupanya tidak menjadi satu-satunya tempat makan Perancis di wilayah Cipete, dalam beberapa tahun setelahnya hadir juga nama-nama seperti Java Bleu yang merupakan restoran Perancis kreasi chef Antoine Audran eks Hotel Borobudur. Ia tidak menempatan Java Bleu di wilayah yang premium seperti di pinggir jalan Cipete Raya, namun di ruko sederhana di dalam kompleks D’Best Fatmawati. Walau berada di lokasi yang terkesan sembarang, makanan di Java Bleu tidak sembarangan. Sebut saja coq au vin, sejenis hidangan semur yang menggunakan anggur merah; atau ikan dover sole, yang dimasak sebagaimana bisa kalian temukan di sebuah bistro di Paris, dengan mentega dan minyak hingga lembut.

Enggak perlu tunggu waktu lama, masakan dari Negeri Napoleon itu makin menjamur. Boka Buka yang lebih modern, Coquelicot di Puri Mutiara, hingga Epilogue yang berada di dalam rumah Joglo dengan taman kreasi chef Sandra Djohan di jantung Cipete Raya. Tapi untuk yang senang dengan aneka kue Perancis, tentu Praline yang juga memiliki cabang di wilayah Kemang tidak ketinggalan. Walau mayoritas pengunjung restoran-restoran tersebut merupakan imbas dari berdirinya sekolah Perancis di Cipete, tidak menghentikan warga Jakarta lainnya untuk turut menikmati hidangan Eropa di sini.

Cipete pun perlahan bertransformasi. Selain banyaknya restoran Perancis, Cipete juga menjadi tempat lahirnya salah satu restoran ikonik di Jakarta yang mempopulerkan steak ke kalangan kelas menengah, yaitu Abuba. Berawal dari tempat duduk plastik sederhana dengan bermeja kayu putih di pinggir jalan, Abuba menjadi daya tarik tersendiri di masa mayoritas restoran yang menyajikan steak bertaplak putih, berada di hotel berbintang lima dan mewajibkan tamunya berpakaian formal. Rupanya formula Abuba berhasil. Hampir tiap akhir minggu malam, ujung jalan Cipete Raya itu akan penuh dengan orang yang menaik turunkan penumpang, duduk berdekatan, demi sepiring daging steak dengan harga terjangkau. Wilayah perumahan rupanya juga menjadi factor utama konsep restoran yang hadir di Cipete. Seperti ketika Dapur Sunda yang merupakan salah satu restoran Sunda berkapasitas besar hadir di sana, padahal banyaknya restoran kuring Sunda yang lain justru mengincar wilayah yang lebih formal seperti di SCBD dengan Sari Kuring dan Lembur Kuring di kompleks Gelora Bung Karno. Lalu ada pula Sate Tomang  dengan aneka sate dan hidangan lautnya, hingga aneka jajanan yang kerap bisa kalian temukan di sekitar sekolah.

Menjadi Distrik Kopi

Ketika pada bulan Maret 2011 sebuah kedai kopi kecil bernama Jakarta Coffee House dibuka berjarak sekitar 150 meter dari restoran Abuba, Borie, pemilik dari Jakarta Coffee House yang dulu sempat bekerja di Anomali Coffee mungkin tidak pernah menyangka bahwa kedai kopinya menjadi katalis transformasi Jalan Cipete Raya dari salah satu pusat makanan yang vibrant di Jakarta Selatan menjadi destinasi distrik kopi. Pada hingga tahun 2011, di Cipete Raya masih belum terdapat café yang berfokus pada kopi, terang Borie kepada Lionmag tahun 2019 lalu.

Namun sebetulnya kalau lihat dari perkembangan wilayah Cipete sendiri, dengan banyaknya sekolah di sekitarnya, dengan banyaknya pula kantor-kantor agensi kreatif di wilayah itu, maka demografis anak muda yang beraktivitas di sana sehari-hari tentu tidak sedikit. Ketika gelombang third wave coffee menghantam Jakarta di dekade 2010 dan menjadi demam bagi anak muda, maka dengan mudahnya juga aneka kedai kopi lain secara organic tumbuh di jalan ini. Andaru Prastetyo – yang lebih akrab dikenal sebagai Tyo – membuka Toodz House di sisi Cipete Raya yang mengarah ke Fatmawati pada tahun 2010. Ketika masuk tahun 2019, sudah tidak terhitung banyaknya kedai kopi yang ada di wilayah ini. “Di seluruh wilayah Cipete sendiri ada lebih dari 50 coffee shop sekarang,” ujar Omar Karim, salah satu pemilik Dua Coffee yang berdiri akhir 2016. Di Jalan Cipete Raya sendiri ada lebih dari sepuluh coffee shop, mulai dari yang franchise seperti Maxx Coffee, dengan pendekatan kontemporer seperti Crematology, ikon dari es kopi susu yaitu Tuku miliki Tyo yang didirikan di seberang Toodz House pada tahun 2015, SRSLY Coffee, dan lain sebagainya.

Wilayah yang tidak besar, saling berdekatan satu toko dengan yang lain, jalan penghubung yang kecil namun nyaman, membuat Cipete Raya seperti sebuah komunitas tersendiri yang saling terhubung satu dengan lainnya. “Sejak dulu, yang saya suka dari Cipete adalah satu orang kenal dengan yang lain. Seperti sebuah kota kecil yang semuanya kenal. Saya pun menjadi langganan toko-toko lain di sini,”terang Sandra Djohan, chef dan pemilik restoran Epilogue yang kemudian mengubahnya menjadi Salapan Noodle bersama dengan selebritas Sarah Sechan. Bukan hanya Sandra, Rinaldi Nurpratama sebagai salah satu pemilik Dua Coffee juga mengamini hal yang sama. “Cipete itu punya vibe kekeluargaan dan bertetangga yang sangat baik. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya usaha sejenis tapi tidak saling kanibal antar sesama. Bagi saya itu yang membedakan Cipete dari distrik lain di Jakarta Selatan.”

Hampir satu dekade dilewati semenjak coffee shop pertama berdiri di Cipete Raya. Sisa-sisa restoran dan café Perancis yang pernah jaya juga tidak berbekas. Tapi bila kalian menyusuri jalan kecil yang ramai ini, Cipete hari ini bak surga makanan yang bisa memuaskan ragam cita rasa. Dari restoran Minangkabau, mie kocok khas Bandung, roti nogat yang penuh nostalgia, burger dan barbecue brisket ala Amerika, semangkuk ayam Nanban yang menggelitik lidah, sebuah croissant yang keemasan penuh mentega, sepiring nasi timbel khas Sunda dengan sambal dadak, segelas es kopi susu dingin yang menyegarkan hari – semua ada. “Segala macam ada di sini, jadi buat gue Cipete enggak pernah mati dari dulu,” ungkap Rinaldi.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Demam Burger Jakarta

Next
Next

Bersulang! Seni Kreasi Alkohol Lokal