Demam Burger Jakarta

Lima tahun lalu cari burger di Jakarta masih terbilang sulit, sekarang, Jakarta justru dimanjakan oleh banyaknya pilihan.

Byurger adalah salah satu restoran yang ikut memulai lagi demam burger Jakarta | Byurger

Byurger adalah salah satu restoran yang ikut memulai lagi demam burger Jakarta | Byurger

Siapa yang tidak suka burger? Makanan dari Amerika Serikat yang sudah familiar dengan hampir seluruh lapisan masyarakat sejak kecil (terima kasih kepada Ronald McDonald). Duduk di sisi kolam renang, ditemani tumpukan kentang goreng keemasan, segelas soda atau es teh lemon, siapa yang tak kenal dengan adegan ini di masa kecilnya?

Tidak ada yang bakal sangka bahwa Jakarta sekarang dimanjakan oleh segala macam pilihan restoran burger. Tidak main-main, mulai dari yang menargetkan anak muda sampai eksekutif pun ada. Dari membuminya Pasar Cipete sampai avant garde-nya SCBD, tidak luput dari hadirnya makanan yang jadi ikon Amerika. Sebetulnya, burger memang tidak sulit untuk disukai. Permainan tekstur yang berbeda, kontras suhu antara selada dan tomat dingin dan daging yang hangat, melimpahnya saus, roti yang agak manis dan berongga. Belum lagi asosiasinya dengan keceriaan dan perayaan. 

Awal Mula Burger di Jakarta

Di Jakarta sendiri, burger pertama kali bisa dinikmati di restoran bernama Java Room, sebuah coffee shop yang terletak di lantai dasar Hotel Indonesia yang berdiri dari 1962. Java Room adalah restoran yang sempurna pada masanya untuk memanjakan lidah anak-anak. Di sana, aneka sandwich, milkshake, sampai double burger jadi menu andalan. Ketika hotel-hotel berbintang mulai muncul di Jakarta pada tahun 1970-an, burger pun juga masuk dalam repertoire menu mereka. Namun, barulah pada tahun 1977, burger menjadi lebih merakyat dan mulai hilang asosiasinya dengan masyarakat kelas atas. Yaitu ketika sebuah restoran yang mengusung konsep fast food pertama di Indonesia buka di wilayah yang juga padat demografis kawula muda, Melawai, yaitu American Hamburger. American Hamburger adalah yang pertama mengenalkan Jakarta dengan experience makan burger dengan santai, sepulang sekolah, akhir minggu, dibarengi ngobrol dengan teman, dengan harga yang tidak mencekik, serta konsepnya yang sangat friendly. Setelahnya, dengan lahirnya fast food lain terutama McDonald’s di tahun 1991, tidak heran kalau burger jadi peringkat paling atas dalam makanan “rekreasi” warga Ibukota.

Lompat ke dekade 2010, era ini penuh dengan generasi millennial yang lidahnya mulai terlatih untuk segala macam rasa. Paparan dengan restoran burger di luar negeri sampai acara kuliner televisi yang memperlihatkan burger aneka isi, kuning telur yang meleleh, patty yang tebal, pugasan bacon yang menumpuk, sentuhan rasa Meksiko atau Korea, semua berpadu jadi ekspektasi baru untuk menyantap segenggam burger. Tapi bertentangan dengan fakta tersebut, pada awal-awal era ini burger masih didominasi oleh fast food seperti Fat Burger, Carl’s Jr, Burger King. Untuk masyarakat yang tinggal di wilayah pinggiran kota, burger juga hadir dalam bentuk kios-kios di sekitar mini market atau dekat kampus dan sekolah. Merek-merek yang masuk ke pangsa pasar ini seperti Klenger Burger dan Blenger Burger.

Namun semuanya mulai berubah saat tahun 2014, di Jalan Senopati Raya yang ramai restoran dan club, berdiri Three Buns Burger & Cocktail yang diracik oleh chef Adam Penney dan didukung oleh grup Potato Head Family (dulu namanya PTT Family). Three Buns berhasil membawa yang kami sebut sebagai craft burger, di mana burger bukan lagi sebatas hanya padanan roti, daging dan selada, namun sebagai produk seni makanan yang tidak terbatas kemungkinannya. Roti wholewheat dengan isian jalapeno relish dan dashi mayonnaise; jamur portobello dengan miso garlic butter dan truflle aioli; daging domba dengan keju feta, acar terung dan aioli jinten – setidaknya itulah sebagian dari banyaknya ragam burger yang ditawarkan Three Buns. Sebuah pengalaman baru menikmati burger yang sebelumnya dikenal satu dimensi rasa saja. Dua tahun setelahnya, yaitu tahun 2016, Afit dan Lucy Wiryono yang juga pemilik dari Holycow Steak by Chef Afit juga ikut ke dalam bisnis burger dengan meluncurkan Flipburger, konsep restoran fast food burger asal Indonesia pertama di abad 21 setelah sebelumnya dimulai oleh American Hamburger.

“Orang di Jakarta pada dasarnya sangat menyukai daging dan juga tertarik dengan kultur Amerika Serikat terlebih pop culture.” Ujar chef Respati Tamio yang pada tahun 2019 menggemparkan kuliner urban Jakarta dengan membuka burger parlour di lokasi yang tidak akan pernah terpikirkan oleh siapapun, yaitu Byurger di bagian ujung Pasar Cipete yang sepi dan temaram. Burger tidak punya batasan. Tua, muda, bisa menikmatinya. Bahkan tidak jarang banyak pula restoran burger yang menawarkan pilihan lebih ramah bagi vegetarian. Salah satunya Le Burger, restoran yang juga dimiliki oleh chef Cedric Vongrichten, anak dari Jean Georges Vongrichten yang berbintang tiga Michelin. Di Le Burger, menu vegetarian adalah burger yang terbuat dari chickpeas, jagung dan juga tomat. Hadirnya Le Burger tahun 2018 di hotel Alila SCBD yang kontemporer sah menjadikan burger sebagai salah satu dari sedikitnya jenis makanan Barat di Jakarta yang bisa dinikmati ragam kelas sosial dengan rentang yang cukup besar.

Burger and Delivery

Setelah makin besarnya industry makanan delivery, burger rupanya jadi salah satu makanan yang popular. Hal ini dikarenakan tidak seperti jenis makanan lain yang mudah dingin atau layu, burger cenderung utuh dan tidak mengalami perubahan yang signifikan dari segi tekstur dan rasa setelah melalui perjalan cukup panjang. Contohnya Burger Bros. Burger Bros yang awalnya hanya memiliki satu outlet di Blok M Plaza pun berkembang hingga memiliki 27 outlet bersama dengan Dapur Bersama GoFood di Jabodetabek. Walaupun tidak berfokus pada konsep restoran, Burger Bros tetap menawarkan konsep craft burger dengan kreasi fusion mereka. “Menu fusion yang kami kembangkan bertujuan untuk menghadirkan pengalaman baru dan unik bagi pelanggan,” ujar Lisbeth salah satu co-founder dari Burger Bros.

“Setelah belasan atau bahkan dua dekade masyarakat Jakarta hanya mengenal burger dari fast food, hadirnya brand burger baru di Jakarta yang mengusung kreasi rasa dan branding yang menarik punya kontribusi besar dalam peningkatan ketertarikan akan burger di Jakarta.” Terang Ade Putri Paramadita, culinary storyteller dan penulis makanan. Menurut Ade Putri, lidah warga Jakarta yang juga semakin terpapar aneka rasa juga jadi alasan mengapa craft burger ini digemari sekarang.

Diakui oleh Respati Tamio juga, peningkatan pemesanan burger dari delivery semakin besar ketika terjadi pandemic Covid-19. “Sebelumnya kami sama rata, 50% banding 50% antara delivery dengan dine-in. Namun sekarang sudah menjadi 70% delivery.” Kegilaan Jakarta terhadap burger makin terbukti saat September kemarin brand burger asal Bali, Bo$$man, menghebohkan dunia maya dengan pesanan yang membludak di hari pertamanya buka di Jakarta. Bo$$man yang sudah menjadi restoran destinasi di Bali sepertinya membuat langkah tepat dengan masuk ke pangsa pasar Jakarta yang terbukti terus meningkat dalam hal konsumsi makanan baru. Sebagaimana kutipan dari model Gigi Hadid, “Eat clean to stay fit, eat burger to stay sane,” mungkin saja menikmati burger bisa jadi salah satu cara tetap waras di kegilaan Jakarta.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Feastin’s Guide to Eating & Drinking in Ashta 8

Next
Next

Cerita Cipete: Evolusi Sebuah Distrik Kuliner