Bersulang! Seni Kreasi Alkohol Lokal

Nusantara bukan cuma kaya soal makanannya. Minuman – termasuk yang difermentasi – juga merupakan bagian dari kearifan tradisi lokal kita.

Kaum Koktil, kreasi cocktail dari restoran Kaum Jakarta yang menggunakan alkohol lokal.

Kaum Koktil, kreasi cocktail dari restoran Kaum Jakarta yang menggunakan alkohol lokal.

“Bersamaan dengan itu, guci dan kendi yang tak terhitung jumlahnya berdiri terpencar-pencar penuh berisi minuman keras beraneka ragam. Bagi penggemarnya tersedia nira nyiur, lahang dan tuak siwalan, arak aren, kilang tebu, dan brem beras. Semuanya diedarkan dan disajikan sebebasnya seperti air mengalir. . . . . Dalam pesta itu memang meluap jamuan yang dihidangankan Sang Prabu (Hayam Wuruk) sehingga makanan dan minuman tak henti—hentinya menghampiri tamu.” – Desawarnana: Saduran Kakawin Negarakertagama Untuk Bacaan Remaja. Komunitas Bambu, 2017. Hal 75 – 76

Begitulah bunyi salah satu bab kitab Negarakertagama tulisan Mpu Prapanca yang legendaris. Kitab yang berisi kisah detail tentang kejayaan kerajaan Majapahit di bawah Hayam Wuruk sebagai raja juga turut menceritakan rangkaian pesta tahunan yang terjadi sekitar abad ke-14 Masehi. Dari dulu, minuman fermentasi dari aneka buah dan tumbuhan yang tumbuh subur di Nusantara ini kerap menjadi obyek kreativitas para peracik minuman. Namun keunikannya belum sempat kembali diangkat lagi ke permukaan, hingga saat ini.

Ketertarikan terhadap produk kearifan lokal rupanya tidak berhenti sampai makanan dan kopi saja. “Minat konsumen semakin tinggi dengan perkembangan trend di mana semua orang makin melirik produk lokal Indonesia. Spirit dan liquor lokal menjadi salah satu yang sedang naik daun karena harga yang lebih terjangkau serta memiliki nilai sentimentil memori bagi sebagian orang Indonesia.” Ujar Jessica Eveline, general manager dari Potato Head Family cluster Jakarta, di mana salah satu restoran mereka, Kaum Jakarta, juga paling gencar untuk kenalin racikan alcohol lokal. Adalah Pius Hadimore Ebang, bar manager Kaum Jakarta yang punya tanggung jawab buat kreasi-kreasi minuman baru dengan menggunakan alkohol lokal. “Generasi milenial  mulai melirik alkohol lokal dan mulai mencintai alkohol lokal karena rasa, kemasan dan disajikan dengan gaya yang update dan kekinian,” ujar Pius.

Keseriusan Pius serta Kaum Jakarta untuk mengangkat lagi pamor alcohol lokal pun salah satunya di wujudkan dengan hadirnya kreasi seri bernama Kaum Koktil di menu minuman mereka. Dengan fondasi kreativitas serta respek terhadap salah satu produk tradisi ini, lahirnya menu minuman seperti Babengka Cocktail yang dibuat dari cap tikus, vanilla dan santan. Lalu ada pula Bli Kintamani yang mengandung arak Bali, bourbon, kopi Kintamani, jeruk serta sirup rempah. Ada pula yang cukup nyeleneh seperti Biduan Parung dengan anggur putih Cap Orang Tua, kencur serta jeruk. “Alkohol lokal saya sajikan dalam bentuk cocktail dengan cara yang kekinian tapi tidak meninggalkan identitas dari alkohol lokal tersebut. Alkohol lokal sangat berkaitan juga dengan kebiasaan dan kebudayaan daerah penghasilnya, makanya di Kaum, kami menyajikannya dengan menggunakan konsep dari budaya setempat.”

Selain minuman fermentasi yang dekat dengan kultul tradisional Indonesia seperti tuak dan arak, rupanya anak-anak muda juga kreatif dalam mencari tahu sejauh mana bahan baku Indonesia dapat disulap menjadi ragam minuman. Salah satu yang sedang naik daun adalah fruit wine.

Ketika Pulau Bali mulai melihat potensi anggur lokal sebagai minuman yang bisa bersanding dengan wine lainnya, muncullah brand seperti salah satunya Sababay Winery. Yang dilakukan Sababay memberikan sebuah statement yang valid: Buah hasil tanah Indonesia sangat bisa menghasilkan minuman berkelas. Pada skala yang lebih kecil, di sebuah desa bernama Desa Sibetan di Karangasem, Bali, dapat juga dijumpai para peracik wine yang dibuat dari buah salak dan sudah berdiri sejak pertengahan tahun 1990-an. Pada akhir tahun 2018 dan awal tahun 2020, istilah fruit wine mulai lebih ramai dibicarakan oleh para penikmat makanan dan minuman dari generasi millennial atau Gen-Z di Jakarta dan beberapa kota dengan generasi muda yang aktif. Fruit wine – sebagaimana – dibuat dari buah-buahan lokal yang difermentasi menjadi minuman beralkohol. Salah satu yang mengkhususkan diri terhadap pembuatan fruit wine adalah Khas Fruit Wine.

Usaha yang berdiri tahun 2018 ini dalam tahap awalnya kerap bereksperimen menggunakan buah-buahan lokal dan impor seperti anggur, nanas, jambu merah, pisang, belimbing, buah naga, alpukat, apel, pir, kurma, nangka, plum, delima dan lain sebagainya. Hingga pada akhirnya mereka meluncurkan edisi pertama dengan bahan lokal yaitu wine pisang. Walaupun potensi minuman yang dapat dihasilkan dari buah-buahan Indonesia dapat dibilang tidak terbatas, tidak dipungkiri ada beberapa stigma yang masih menempel di masyarakat sehingga akhirnya membatasi pengembangan usaha produk kearifan lokal yang satu ini. “Menurut saya, masyarakat umum Indonesia belum semuanya menyadari bahwa minuman alkohol merupakan bagian dari kearifan lokal. Padahal teknik fermentasi sudah dikenal dan dilakukan oleh nenek moyang kita sejak jaman kerajaan, jauh sebelum Indonesia,” ujar Deddy, pemilik dari Khas Fruit Wine. Namun hal ini tidak serta merta membatasi kreativitasnya. Hingga sekarang, Khas sendiri sudah meluncurkan lebih dari lima minuman yang semuanya menggunakan buah-buahan lokal seperti Banana Wine (dengan pisang ambon), Mango Wine (dengan manga harumanis), Snakefruit Wine (dengan salak pondoh), Coffee Wine (dengan kopi Toraja) dan lainnya.

Selain Khas Fruit Wine, ada juga Caktille Brewery yang ingin menunjukkan potensi bahan baku lokal dalam bentuk minuman fermentasi. Bagi Rahmat, pemilik dari Caktille Brewery, justru peningkatan terhadap permintaan akan alcohol lokal juga didorong oleh informasi yang dapat dengan mudah didapatkan di internet serta media sosial. Informasi yang dimaksud oleh Rahmat dapat disimpulkan informasi tentang gerakan craft spirit yang sedang manjamur di dunia. Craft spirit sendiri secara tidak langsung merupakan estafet dari gerakan craft brewery yang sudah mulai bermunculan sejak tahun 90-an. Belum lagi didorong oleh tingginya pajak impor alcohol sehingga pemain lokal mulai mencari alternative ke alkohol lokal.

“Saya rasa, walaupun masih banyak terbentur dengan masalah perizinan dan lainnya, alcohol buatan Indonesia punya potensi yang amat sangat besat. Belum lagi dari segi sumber daya hingga cerita tentang budaya lokal yang bisa menambah story dari produk minuman itu,” terang Jessica. Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, sejarawan makanan Fadli Rahman dan penulis buku Jejak Rasa Nusantara juga mengatakan bahwa cerita tentang pembuatan minuman fermentasi atau alcohol dapat ditemukan sedari abad ke-VIII Masehi, terutama di prasasti-prasasti di pulau Jawa. Karena mengangkat kreasi minuman fermentasi lokal sebagai bagian dari warisan budaya Nusantara merupakan hal yang baik dan layak didukung, terlebih bila keinginan ini muncul dari inisiatif sendiri, dilakukan dengan bertanggung jawab, serta punya nilai jual yang unik sehingga bisa meningkatkan ekonomi sekitar.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Cerita Cipete: Evolusi Sebuah Distrik Kuliner

Next
Next

Third Wave Street Food