Mengenang Bondan Winarno, Bapak Wisata Kuliner Indonesia

Apabila masih bersama dengan kita, Bondan Winarno hari ini resmi berusia 71 tahun. Mari kita simak lebih dalam sosok almarhum yang mengenalkan Indonesia kepada makanan-makanan lezat.

Bondan Winarno di dapur RM Selamat, Sumatera Barat. | Foto koleksi pribadi almarhum.

Bondan Winarno di dapur RM Selamat, Sumatera Barat. | Foto koleksi pribadi almarhum.

Tidak ada yang seperti Bondan Winarno. Ia adalah jurnalis yang mahir. Pengusaha yang cerdas. Tentunya gourmand sejati. Tidak ada yang tidak Ia ketahui. Dari keju di kota kecil Eropa, hingga sate yang hanya ada di pelosok desa. Bondan Winarno adalah kamus berjalan tempat makan enak Indonesia. Beruntung kita, beliau tidak menyimpan pewahyuan tentang destinasi makanan untuk dirinya sendiri. Ia bagikan kepada kita semua tempat makan dengan santapan yang menggugah.

Masyarakat umum mengenal sosok Bondan Winarno mayoritas melalui acara “Wisata Kuliner” yang ditayangkan di stasiun televisi swasta Trans TV di tahun 2005. Wisata Kuliner yang dipandu oleh Pak Bondan (panggilan akrab Bondan Winarno) tak hanya menjadi angin segar dalam acara televisi di Indonesia, namun juga menjadi pelopor konsep acara wisata kuliner di Indonesia. Implikasi acara ini terlihat nyata, bagi pelaku kuliner hingga penikmat makanan. Untuk mereka yang punya rumah makan, dikunjungi Bondan Winarno jauh lebih berharga dari promosi semahal apapun. Kehadirannya berakibat pada lautan manusia yang kemudian membanjiri tempat makan tersebut, termasuk tempat makan yang sebelumnya tak pernah ramai.

Harry Nazarudin, rekan penulis almarhum Pak Bondan untuk seri buku Jalansutra menyampaikan kepada Feastin’ bahwa Ia tidak akan bisa lupa bagaimana para pemilik rumah makan sering kali tidak mau dibayar ketika Pak Bondan hadir, karena mereka merasakan langsung dampak ke bisnis mereka. “Ada satu momen yang saya selalu ingat. Seperti biasa, Pak Bondan ngotot membayar ketika kami mengulas sebuah warung sate di Jogja. Sementara, pemiliknya tidak mau dibayar. Memang, warung kecil ini jadi ramai setelah tayang di acara Wisata Kuliner. Sesudah beberapa lama ‘maju-mundur’ berdebat, pemilik warung bilang begini: ‘Sudahlah Pak, saya kan sudah banyak menerima berkat dari Pak Bondan, mosok nggak boleh kalau saya kembalikan dalam bentuk sepiring sate saja Pak?’ katanya.” Terang sosok yang dipanggil dengan Harnaz ini.

Berbeda dengan acara makan-makan di Indonesia sekarang yang mayoritas menomorsatukan pamor dan wajah tapi rendah pengetahuan makanan, tidak dengan sosok Pak Bondan. Keahliannya dalam menganalisa cita rasa tumbuh dari latar belakang almarhum yang merupakan jurnalis dengan kemampuan investigasi. Dalam esai yang pernah Ia tulis ketika sang ibu tiada berjudul Gang Pinggir, Pak Bondan menjabarkan kedekatannya dengan makanan di Semarang sedari kecil. Dari burung dara goreng hingga kodok yang ditaburi bawang putih Ia ceritakan dengan penuh emosi. Saat menjadi pemimpin redaksi Suara Pembaruan, Ia mencetuskan dibuatnya sebuah kolom leisure bernama Jalansutra di 2001. Kolom inilah awal dari segalanya. Jalansutra yang berisi cerita jalan-jalan dan makan-makan masuk ke era digital di bawah Kompas Cyber Media dan berhasil menggaet ribuan pengikut dari Indonesia hingga luar negeri.

Pada tahun 2003, tulisan di kolom Jalansutra dibukukan. Buku ini menjadi pelopor antologi culinary travel di Indonesia. “Bondan Winarno sangat mengerti makanan dan apa yang dimakan, bahkan juga mengerti cara memasaknya. Tidak cuma itu, ketika beliau menceritakan makanan, baik lisan maupun tulisan, gaya penuturannya sangat mudah dimengerti dan membuat kita bisa membayangkan makanan itu.” Ujar Lidia Tanod yang juga bagian dari komunitas Jalansutra kepada Feastin. Ade Putri Paramadita, seorang penulis kuliner yang telah mengenal lama sosok Pak Bondan juga mengamini yang disampaikan oleh Lidia Tanod. Baginya beliau adalah sosok yang punya kontribusi untuk bikin masyarakat lebih mencintai masakan lokal. “Kepiawaian Pak Bondan dalam bertutur mengenai apa pun, dalam hal ini kuliner, membuat banyak orang jadi lebih mengapresiasi makanan Indonesia. Utamanya ketika media yang waktu itu sangat populer, televisi, membuat acara Wisata Kuliner, semakin banyak orang yang tadinya hanya gemar makan, menjadi paham makan.” Terang Ade Putri kepada Feastin’.

Sebagai jurnalis yang andal, riset tidak pernah Pak Bondan lewatkan. | Foto koleksi keluarga Bondan Winarno.

Sebagai jurnalis yang andal, riset tidak pernah Pak Bondan lewatkan. | Foto koleksi keluarga Bondan Winarno.

Jalansutra serta Wisata Kuliner mengubah rutinitas masyarakat Indonesia. Akhir minggu tak lagi hanya diisi dengan kegiatan pergi ke pusat perbelanjaan, namun jalan-jalan untuk mencari tempat makan yang lezat. Masyarakat jadi lebih terbuka matanya akan potensi kuliner daerah yang ada di sekelilingnya. Hal ini tidak bakal terjadi kalau tidak karena kedisiplinan dan integritas yang diperlihatkan Pak Bondan ketika memilih tempat makan untuk dikunjungi. “Dalam setiap kesempatan, bukan saja soal kuliner tapi secara pribadi, disiplin dan integritas selalu dijunjung tinggi oleh Pak Bondan. Beliau tak segan marah atau mengkritik, kalau urusannya disiplin dan integritas.” Terang Harnaz. Pak Bondan tidak sembarang memilih tempat makan. Dalam kamusnya tidak ada istilah endorsement sebagaimana “pengulas makanan” sekarang yang dicekoki oleh makanan berbayar. Hal ini tentu berdasar pada prinsipnya sebagai seorang jurnalis.

Di luar pamornya sebagai simbol makanan lezat, almarhum tetaplah seorang pria yang punya tiga fungsi tugas utama: Sebagai seorang ayah, kakek, dan suami yang mencintai keluarganya. “Hal yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika ayah dan saya jalan-jalan berdua saja ke Eropa sebelum saya masuk universitas. Ayah dan saya punya banyak kesamaan yaitu senang makan, senang ke museum, dan senang belanja. Yup, ayah saya memang doyan belanja. He had the best taste, not only in food.” Kenang Gwendoline (Gwen) Winarno, anak dari almarhum dan sang istri Yvonne kepada Feastin’.

Rupanya tidak hanya suka makan dan paham makanan saja, Pak Bondan sangat bisa memasak. “Saya tumbuh dengan memori ayah saya yang memasak, apalagi kalau kami mengundang kerabat dan jadi tuan rumah. Makanan buatan beliau yang tidak bisa saya lupakan adalah sop buntut. Ada kebahagiaan tersendiri bagi ayah memasak untuk orang lain, membagikannya, bahkan memberikan tips cara membuat sop buntut yang baik.”

“Sampai sekarang, setiap saya membuat sop buntut, saya ‘berbicara’ dengan ayah. Saya jelaskan tiap proses yang saya lalui kepadanya, seakan Ia ada di sebelah saya.” Terang Gwen.

Setiap foto yang kami tampilkan telah mendapat izin penggunaan dari keluarga.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Opini: Mengapa Sudah Waktunya Jakarta Punya Kritikus Restoran

Next
Next

Kolaborasi Penuh Makna di Tanah Jawa