Opini: Mengapa Sudah Waktunya Jakarta Punya Kritikus Restoran

Di tengah konsep restoran dan makanan yang makin beragam serta serbuan informasi yang membingungkan, sudah waktunya Jakarta kembali punya kritikus restoran sebagai wasit dan pemandu bagi F&B Jakarta.

Pekerjaan kritikus restoran tak berhenti hanya di makan saja. Menganalisa yang terjadi di industri juga jadi elemen krusial. | Foto oleh Unsplash.

Pekerjaan kritikus restoran tak berhenti hanya di makan saja. Menganalisa yang terjadi di industri juga jadi elemen krusial. | Foto oleh Unsplash.

Jakarta pernah memiliki beberapa kritikus restoran yang dihormati. Ketika Laksmi Pamuntjak menulis kolom restoran untuk media The Jakarta Post di dekade 1990-an, Ia adalah kritikus restoran yang ditakuti. Laksmi – dengan pseudonim Epicurus – tidak segan untuk menghantam restoran yang Ia rasa tidak tampil sebagaimana yang mereka janjikan. Tentu Laksmi Pamuntjak punya landasan kuat. Kekuatan yang dimilikinya ada pada kemampuan sebagai jurnalis andal serta pengetahuan yang dalam terhadap restoran kelas atas dunia. Laksmi tahu nama chef baru yang menjadi kepala di restoran berbintang Michelin di Eropa, hingga jenis anggur yang cocok diminum bersama bebek panggang.

Pengaruh Laksmi Pamuntjak sebagai kritikus terlihat nyata. Tahun 1990-an adalah masa keemasan restoran high-end Ibukota, dan kolomnya di The Jakarta Post menjadi penjaga standar tinggi. Hal ini juga terjadi ketika sosok Bondan Winarno menulis untuk kolom Jalansutra dan melakukan pendekatan untuk tempat makan yang lebih kasual. Sosoknya membuka mata masyarakat tentang tempat makan sederhana yang mungkin selama ini hanya sebatas dilewati saja dan tak dianggap serius. Namun sosok Bondan Winarno telah meninggalkan kita semua, dan Laksmi Pamuntjak tak lagi menulis restoran. Kekosongan ini tampak nyata.

Selama dekade 2011 hingga sekarang, Jakarta tidak mempunyai figur pemandu dan penjaga standar restoran. Industri restoran memang tetap tumbuh tanpa adanya kritikus, namun mereka tumbuh secara sporadis. Tidak ada sosok wasit yang berkata bahwa ini kelewat batas, atau ini tak seharusnya dilakukan. Lebih mengkhawatirkannya, restoran jadi lebih punya kuasa untuk mengatur media tentang apa yang harus dikatakan dan tidak dikatakan. Apalagi dengan hadirnya influencer di media sosial, restoran jadi lebih bisa mengatur informasi apa yang mereka ingin sampaikan ke dunia luar, tak lagi melalui media mainstream tapi juga melalui pribadi-pribadi yang punya pengaruh di komunitasnya. Apa implikasinya?

Ada pro dan kontra dari hal ini. Restoran jadi jauh lebih bebas berkonsep sesuai yang mereka inginkan. Namun kebebasan yang berlebihan selalu mendatangkan masalah. Restoran banyak yang tidak lagi fokus kepada pengalaman makan real, tapi lebih kepada pengalaman artificial yang mereka anggap dibutuhkan konsumen. Dekor yang berlebihan dibanding makanan adalah salah satu bukti yang nyata terjadi di restoran lifestyle Jakarta selama beberapa tahun terakhir. Sementara konsumen juga tidak memiliki sosok yang bisa mengingatkan mereka bahwa hal ini tidaklah tepat. Kritikus restoran juga punya fungsi lain yang sangat penting: Yaitu sebagai penemu talenta-talenta baru di dunia restoran.

Ketika sebuah tempat makan tidak memiliki sumber daya untuk melakukan kegiatan publisitas layaknya restoran dengan dukungan dana besar, di era sekarang mereka akan setara dengan dianggap tidak ada. Ada istilah, if you are not on social media, you are not existing at all. Sungguh hal yang mengkhawatirkan bukan? Di sinilah fungsi kritikus restoran era baru. Mereka punya tugas untuk mencari sosok seniman makanan hingga tempat makan yang tidak berada di bawah lampu sorot – atau di era sekarang – tidak berada dalam lingkaran popularitas dunia maya.

Di kota Jakarta yang sangat heterogen, kritikus punya peran untuk merayakan keberagaman itu. Kekosongan kritikus dapat dilihat dari industri restoran yang didorong oleh tren. Agar orang bisa tahu makanan yang baik, mereka juga perlu tahu makanan yang tidak baik.

Jakarta sedang berada dalam masa prima agar bisa dianggap sebagai kota destinasi makan-makan enak di Asia Tenggara. Chef berdarah Indonesia yang selama ini berkreasi di luar negeri mulai kembali ke negeri ini. Seperti Freddie Salim yang selama 12 tahun bekerja di banyak restoran terbaik di Sydney, atau Kesia Putri yang pernah menjadi head pastry chef selama empat tahun di restoran Bennelong, mereka sudah kembali ke Indonesia. Freddie sekarang menjadi head chef dari restoran Asia eklektik Mr Fox, sementara Kesia sering ikut dalam grup culinary collective Jammin’ Chow. Kami yakin mereka hanyalah dua dari akan banyaknya talenta kuliner Indonesia yang akan pulang, terlebih bila mereka yakin Jakarta sudah siap untuk menerima gaya memasak yang mereka bawa.

Mereka perlu sosok yang bisa mengerti gaya memasak yang mereka bawa. Mereka perlu orang yang bisa memahami hidangan dengan sudut pandang dinamis. Mereka perlu kritikus restoran. Sangat disayangkan bila mereka sudah kembali ke Indonesia, namun tidak ada satu pun orang yang dapat memahami kreasi masakan mereka. Kritikus harus beberapa langkah lebih maju dari sekedar food enthusiast atau foodie. Inilah tantangan utamanya. Kritikus restoran mesti paham sejarah makanan, cerita di balik hidangan, melihat masa depan makanan, serta informasi tentang kuliner secara global sebagai pembanding.

Di luar itu semua, kritikus restoran adalah pencerita kota tempatnya berada. Kota Los Angeles yang sekarang banyak dianggap sebagai kota kuliner terbaik di Amerika Serikat oleh chef dan penikmat makanan, berhutang budi kepada Jonathan Gold, mendiang kritikus restoran untuk The Los Angeles Times. Menurut mantan food editor dari The Los Angeles Times, Peter Meehan, Jonathan Gold mengajak pembaca untuk lebih mengenal kota melalui ulasan tempat makan. “Ia adalah sang pencerita kota.” Ujar Laura Gibbert, sutradara yang membuat film dokumenter City of Gold tahun 2015 tentang kehidupan Jonathan Gold kepada The Los Angeles Times.

Begitu juga kota New York. The Big Apple berhutang budi kepada brigade kritikus restoran The New York Times sebagai pembentuk lanskap restoran kota. Ketika Craig Claibone menjadi kritikus di tahun 1960-an, lanskap restoran kota New York seperti dalam keadaan mati suri, mati segan hidup tak mau. Namun sudut pandang yang Ia bawa berhasil secara perlahan membangkitkan atensi warga Amerika tentang restoran. Kemudian tongkat estafet dilanjutkan oleh Raymond Sokolov, John Hess, Mimi Sheraton, Bryan Miller, dan akhirnya kepada Ruth Reichl di dekade 1990 hingga sekarang dipegang oleh Pete Wells. Tongkat estafet yang tak pernah putus ini berhasil membentuk pagar yang membuat lanskap restoran kota New York salah satu yang terbaik di dunia. Para kritikus berhasil menjaga standar tinggi dan menjadi wasit untuk restoran-restoran di The Big Apple.

Namun kritikus restoran bukanlah pekerjaan yang mudah. Mereka harus siap dimusuhi walau pada dasarnya mereka ingin restoran menjadi lebih baik. Mereka harus siap tak menjalin pertemanan dekat dengan pemilik restoran dan chef agar menjaga kekudusan integritas dan independensi. Mereka harus punya uang banyak untuk makan untuk membiayai kunjungannya. Dan yang terpenting, kritikus restoran harus peduli akan industri restoran, orang-orang di baliknya. Mereka  bukan musuh dari restoran. Posisi kritikus makin krusial terutama di masa siapapun bisa menjadi opinion leader soal makanan.

Mungkin bila di Jakarta kembali hadir satu atau dua (atau mungkin tiga) kritikus restoran yang independen dan punya kredibilitas kuat, siapa tahu Jakarta bisa memantapkan posisinya sebagai destinasi makan-makan dalam waktu dekat. Karena sebanyak apapun social media reviewer, mereka tidak bisa melakukan fungsi yang dimiliki oleh kritikus restoran.

Artikel ini adalah bentuk opini editorial.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Future Eaters: Memahami Gen-Z dan Makanan

Next
Next

Mengenang Bondan Winarno, Bapak Wisata Kuliner Indonesia