Cafe Sebagai Ruang Komunitas
Dari masa ke masa, cafe punya peran signifikan dalam pembentukan kultur dan persebaran ide masyarakat modern.
Bekerja dengan laptop di sebuah café di Sabtu pagi adalah salah satu kegiatan yang amat saya gemari. Terkadang banyak hal yang muncul di tengah ketenangan. Susah payah mikir di hari biasa, rupanya ide yang ditunggu-tunggu memilih untuk muncul di Sabtu pagi yang santai. Saat sampai di café di bilangan jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan, selusin sepeda diparkir di depan pintu. Di dalam, ruang utama kafe didominasi oleh pesepeda. Bau asin keringat berpadu dengan wangi kopi, namun di sisi lain, gelak tawa canda mereka mencerahkan ruangan. Warna-warni baju spandex juga tak kalah heboh. Saya jadi teringat, di suatu waktu, kejadian yang sama juga saya alami, namun waktu itu komunitas pengguna motor Vespa yang mayoritas berkaus hitam dan helm modis lah yang kumpul, dan di hari yang lain saya bertemu dengan komunitas pelukis yang melukis bersama ditemani secangkir kopi dan teh.
Hubungan antara tempat makan dan sebuah komunitas sebetulnya sudah terjadi sejak lama. Karena pada dasarnya, tempat makan adalah tempat berkumpulnya manusia. Dan di mana ada perkumpulan manusia, di situ lah tanda adanya kebutuhan atau minat yang sama yang menjadi landasan berdirinya sebuah komunitas. Di masa sekarang – terutama setelah era Kebangkitan Industri Kreatif – hampir tiap individu seakan mencari apakah mereka bagian dari sebuah komunitas. Hubungan antara sebuah komunitas dan tempat makan dapat ditarik mundur pada Era Kuno hingga Abad Pertengahan antar kalangan peziarah ke kota-kota suci. Dalam buku Dining Out: A Global History of Restaurants (Reaktion Books,2019) dijelaskan bahwa pada jalur-jalur menuju kota suci, terdapat bangunan berukuran sedang hingga besar yang difungsikan sebagai tempat beristirahat para komunitas peziarah. Di bangunan yang dikenal sebagai caravanserai itulah makanan disuguhkan, minuman diteguk, perbincangan antar manusia dari berbagai wilayah terjadi. Juga pada masa Jalur Sutera, konsep caravanserai juga popular, terutama dikalangan komunitas pedagang dan utusan politik.
Ketika masuk ke masa modern setelah Revolusi Industri Pertama di 1790 hingga 1870, café mulai dikenal sebagai tempat kumpul berbagai kalangan di Eropa, yang awalnya dipantik oleh budaya kedai kopi di Turki yang dikenal sebagai Ottoman coffeehouse. Café-café kecil mulai tersebar di berbagai kota besar di Eropa. Di Paris, jalanan mulai dipenuhi tempat-tempat yang menyajikan minuman kopi, dari gang kecil hingga boulevard-boulevard utama. Di Vienna, Austria, konsep coffee house juga marak. Inilah masa dimana terjadi perpindahan orang dalam skala besar untuk menikmati makan dan minuman di luar rumah mereka. Pada masa keemasan budaya cafe Vienna di abad ke-19 dan awal abad ke-20, cafe-cafe tersebut menjadi tempat berkumpulnya beragam komunitas untuk saling bertukar informasi, dan yang salah satu paling mencolok adalah komunitas pencinta literatur yang mengadakan kegiatan baca bersama di sore hari. Atmosfer kasual dari sebuah cafe, dan bagaimana cafe memberi kesempatan untuk menyerap kegiatan jalanan kota, rupanya jadi inspirasi penting banyak sastrawan dan penulis pada masanya.
Karl Kraus, Alfred Polgar, hingga Peter Altenberg hanyalah tiga dari nama-nama penyair dan penulis Austria yang menjadikan cafe sebagai rumah inspirasi. Popularitas inspirasi sastra yang muncul dari cafe pun berkembang ke seluruh Eropa, sehingga dikenal istilah “coffee house literature” atau “literatur cafe” bagi karya-karya sastra yang proses penulisannya ditulis di sebuah cafe. Seiring waktu, bukan hanya sastrawan, tapi juga pelukis, musisi, dan aktivis menjadikan cafe sebagai ruang pertemuan. Vincent Van Gogh adalah salah satu maestro yang banyak mengabadikan nuansa cafe dalam lukisannya. Salah satu yang ikonis adalah lukisan Café Terrace at Night tahun 1888. Van Gogh memunculkan nuansa romantisme cafe dalam lukisan tersebut. Popularitas cafe dan kalangan seniman dan intelektual pun memantik kolumnis sosial Maury Henry Biddle Paul, melahirkan istilah “café society” dalam kolomnya untuk majalah New York American di 1915.
Dikutip dari buku Secret Germany: Stefan George and His Circle (Cornell University Press, 2002) menurut jurnalis Stefan Zweig dari Austria, cafe mempunyai kekuatan sebagai hub sosial dan demokrasi. Di dalam cafe, orang dari berbagai kalangan bisa berada dalam satu atap, entah itu tua, muda, pria, wanita, kelas pekerja, politisi, seniman, pebisnis, aristokrat. Cafe juga menjadi safe haven di mana orang dari berbagai kultur berbeda bisa duduk bersama, berbagi ide dan pendapat, informasi dan ideologi, ditemani secangkir kopi.
Indonesia cukup beruntung karena mendapat persinggungan dua budaya coffeehouse yang cukup kental. Yang pertama adalah budaya kedai kopi yang popular di berbagai kota dengan konsentrasi Melayu, Tionghoa dan Arab-nya, seperti di Sumatera. Lalu juga budaya cafe yang muncul pada abad ke-19 di kota-kota besar seperti Jakarta (Batavia), Bandung, Surabaya. Walau baru pada tahun 1990-an cafe dilirik sebagai tempat temu komunitas sosial dan intelektual ketika mulai banyak bermunculan franchise cafe di pusat perbelanjaan modern, orang Indonesia sudah paham bahwa kedai kopi adalah tempat berbagi cerita. Dari warung kopi pinggir jalan yang dipenuhi pekerja kerah biru hingga café modern di shopping mall, kedai kopi selalu jadi tempat bertemunya ide, pemikiran, dan cerita.
Pada tahun 1990-an akhir, nama seperti DOME dari Australia, Tator, Coffee Bean & Tea Leaf merupakan nama café-café utama tempat berkumpulnya kalangan menengah atas serta pegawai perusahaan-perusahaan multinasional. Namun budaya nongkrong di café mulai menurun dan hanya didominasi kelas pekerja dan mayoritas kalangan wanita saja. Barulah ketika demam Third Wave Coffee marak, generasi baru menghidupkan kembali budaya café society di Indonesia. Mereka yang lebih muda, dengan ragam latar belakang berbeda mengambil alih. Demografi pelanggan tidak hanya dikuasai oleh pekerja, Mulai dari pencinta seni, eksekutif muda, mereka yang kerja di start-up internasional, penulis novel, chef, desainer grafis, sutradara,arsitek, semua melihat kedai kopi atau kafe sebagai tempat sempurna berbagi ide dan cerita: Hal yang sama yang terjadi lebih dari 100 tahun lalu saat budaya cafe didambakan di Eropa terulang kembali.
Di era modern ini, ruang komunitas terasa semakin diperlukan. Hal ini didorong oleh pertumbuhan ragam minat yang semakin tinggi, serta paparan terhadap ragam informasi yang semakin cepat karena digitaliasi. Ruang komunitas memberikan rasa aman bahwa individu dapat menjadi diri mereka apa adanya, serta membangun ikatan emosional bukan hanya terhadap orang lain, tapi juga terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. Ray Oldernburg, Professor sosiologi dari University of West Florida mengemukakan dalam bukunya The Great Good Place (Marlowe & Company,1999) bahwa agar memiliki keberadaan yang sehat dan normal, masyarakat harus hidup dalam sebuah keseimbangan dari tiga elemen utama dalam kehidupan sosial: Kegiatan bekerja, kehidupan di rumah, serta di ruang sosial. Professor Oldernburg menjelaskan, bahwa kehidupan di rumah adalah kehidupan pribadi dan sifatnya personal, kehidupan bekerja adalah kehidupan yang terstruktur dan formal, sementara kehidupan sosial berada dalam koridor yang lebih relaks. Tempat sosial inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “third place” setelah rumah dan tempat kerja.
Dalam jurnal berjudul Spaces of Consumption, Connection & Community: Exploring the Role of the Coffee Shops in Urban Lives yang diterbitkan Centre for Business in Society di London, cafe rupanya bukan hanya jadi tempat berkumpulnya sebuah komunitas yang sudah ada, namun juga dapat merangsang kemunculan komunitas-komunitas baru dari individu-individu sepemikiran yang menghabiskan waktu di sana. Jurnal tersebut menyatakan, bahwa posisi cafe atau coffee shops dalam ruang-ruang lanskap urban adalah salah satu elemen utama yang memberi jiwa pada kehidupan kota, sehingga sebuah kota tak hanya bergerak statis namun juga dinamis. Hal ini dapat terjadi karena ekosistem dalam sebuah cafe memfasilitasi konektivitas antar manusia secara fisik, mendorong kolaborasi, dan memberikan ruang berpikir bebas dalam mengemukakan pendapat.
Baru-baru ini di Bali, Braud Café mengeluarkan community card sebagai bagian dari inisiatif kafe tersebut. Sementara di Jakarta, Suasanakopi yang berada di kawasan Gandaria Jakarta Selatan sering menjadi hub bagi kegiatan komunitas entah itu pencinta musik – dengan mengadakan DJ dan live musik – atau bahkan pencinta kain-kain nusantara. Pada tahun 2021, cafe itu berkolaborasi dengan komunitas Remaja Nusantara di mana generasi berusia 18 hingga akhir 20-an hadir menggunakan wastra Indonesia mulai dari batik, tenun, hingga songket, yang dipadukan dengan outfit modern. Kedua contoh di atas membuktikan teori-teori bahwa memang sejatinya masyarakat kita sudah melihat fungsi dan nilai dari sebuah cafe di luar sebagai tempat minum kopi semata.
Kembali lagi ke pagi hari saya di sebuah café di Cipete, hari berganti jadi makin siang. Para pesepeda sudah pergi. Namun ruang duduk tak perlu waktu lama untuk terisi kembali, kali ini oleh ekspatriat Barat yang tinggal di sekitar area itu. Banyolan soal politik berganti jadi suara multibahasa, sungguh café adalah ruang komunitas yang nyata.