Kecap Manis di Kota Kembang

Kota sejuta jajanan ini punya cerita menarik tentang kecap manis. Penulis Lugas Pribady menyajikan kisah sedap untuk kita santap.

Kecap manis Cap Sapi merupakan salah satu merek kecap manis lokal dari Bandung yang masih bertahan hingga sekarang. | Foto oleh Lugas Pribady

Saat itu waktu menunjukan pukul delapan malam. Perut kosong, terakhir diisi jam satu siang, dan saya memutuskan untuk menyantap kupat tahu di sekitar pasar Ciroyom. Setelah menerjang angin dari jalanan Tubagus Ismail hingga semeliwir bau pasar, hadirlah sepiring kupat tahu dihadapan mata. Seraya mengucapkan doa makan, tak lupa tangan ini menuangkan kecap yang botolnya dibalut kertas nasi agar tidak lengket ke tangan. 

Suap demi suap telah terlaksana hingga tak terasa suapan terakhir pun tiba. Pikiran tak tenang pun datang karena rasa penasaran kecap apa yang terbungkus kertas nasi itu. Ternyata kecap cap Tiga Telor Ayam yang tersembunyi di balik kertas. Sedikit bertanya mengapa menggunakan kecap tersebut kepada penjual kupat tahu, langsung disamber jawaban, “Karena cocok saja a, terus enak”. Singkat, padat, dengan senyuman lebar di atas kumis tebalnya.

Kecap mungkin sudah mengakar dari masakan yang selalu kita jumpai di mana pun, tetapi jika melihat dari sejarahnya bagaimana kecap bisa menetap di Indonesia, ini masih menjadi teka teki. Yang terpenting adalah kecap manis merupakan sebuah warisan dari proses perkembangan peradaban yang begitu istimewa untuk Indonesia.

Mula dari abad ke-11 masehi, periode ini disinyalir menjadi periode di mana kecap lahir di Indonesia. Posisi Indonesia sebagai bagian Jalur Sutera yang begitu mahsyur di dunia, tak begitu pasti bagaimana adaptasi kecap menjadi pelengkap makanan yang begitu khas bagi masyarakat Indonesia. Sebelumnya kecap manis itu tidak ada. Hanya ada kecap asin, dan saat itu masyarakat Indonesia sangatlah asing dengan rasa yang terkandung dari kecap asin itu. Terkhusus untuk masyarakat daerah Tanah Jawa yang mencampur kecap asin itu dengan gula aren untuk melahirkan rasa yang lebih manis dan warna yang lebih pekat juga konsentrasi kekentalan yang berbeda.  

Herman Kurnia, pemilik pabrik kecap Cap Sapi. | Foto oleh Lugas Pribady

Sejak saat itu perkembangan kecap manis menjadi bagian dari setiap kota, memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Seperti yang disebutkan dalam buku penulis kuliner Bondan Winarno yang berjudul Kecap Manis: Indonesian’s National Condiment, bahwa jalur perdagangan lah yang membuat para pedagang yang Cina bermukim di suatu daerah dan lambat laun budaya yang mereka bawa diadaptasi oleh masyarakat lokal, salah satunya budaya makanan dan kecap itu sendiri termasuk di dalamnya. Kecap bagi masyarakat Indonesia bukanlah sesuatu yang jauh dari keseharian makanan, hampir dalam tiap masakan pasti terdapat kecap sebagai pelengkap. Mari kita menembus Bandung dengan menulusuri bagaimana kecap menjadi hal yang penting dalam setiap makanan.

Bandung sebagai salah satu destinasi kulinner di Indonesia yang wajib untuk disambangi, beberapa makanan yang otentik dan menimbulkan rindu jika jauh dengannya. Kecap pun sudah menjadi identitas bagi Kota Kembang ini. Banyak sekali kecap-kecap lokal Bandung yang menghiasi makanan-makanan yang hadir di kota Bandung. Ada kecap Cap Noni, Cap Sapi, Capi Anggur, Cap Tiga Telor Ayam, Cap Udang, Cap Raos, Cap Borobudur dan lainnya.

Data yang belum pasti pula siapa kecap yang pertama kali hadir di Bandung , namun kesampingkan hal itu terlebih dahulu, lebih baik lihat dari keberagamannya saja. Mulai dari makanan yang dibakar pasti kecap yang dipakai berbeda dengan kecap yang dipakai di makanan berkuah atau berbumbu, kecap untuk bubur dan bakmie pun berbeda.

Seperti takdir Tuhan bahwa segala mahluk untuk saling berpasangan, kecap pun sama halnya mempunyai sajian pasangannya masing-masing. Bandung sedang dalam cuaca yang cukup mendung ditambah lalu-lalang kendaraan meramaikan Jalan ABC. Di sana terlihat gerobak bakso tahu yang begitu menggugah, tanpa pikir panjang saya memutuskan membelinya dan melihat kecap yang menjadi pendampingnya. Ya, tepat seperti yang diduga, kecap yang dipakai adalah kecap Tulen Cap Anggur. 

Menurut Dosen Antropologi Universitas Padjajaran Seto Nurseto, ada lebih kurang sekitar sepuluh merek kecap yang terdapat di kota Bandung ini, belum lagi kecap-kecap yang sudah tidak produksi karena dimakan oleh kerasnya persaingan. 

Geliat kecap di kota Bandung memantik rasa penasaran yang melandasi untuk mencari dan mengoleksi setiap kecap yang ada, selain sebagai dosen, Seto melakukan pencarian kecap seperti mencari bagian puzzle yang belum di dapatnya. Bukan hanya Seto tetapi Lutfi - atau kerap dipanggil Upie - juga merangkak dari kebiasaan sewaktu kecil selalu disajikan masakan yang dilengkapi dengan kecap.

Mulanya coba-coba membandingkan rasa dari setiap kecap yang ada di Bandung hingga teman-temannya selalu memberikan oleh-oleh kecap khas kampung halamannya masing-masing. Hal ini yang menjadikan Upie menjadi seorang kolektor kecap. Hingga blusukan ke pasar untuk mencari kecap-kecap yang jarang ditemui. Mungkin sedikit agak aneh dengan orang yang gemar mengkoleksi kecap. Tapi ya itu adanya. Menarik untuk dicoba.

Jajanan kota Bandung hampir selalu menggunakan kecap manis sebagai pendamping. | Foto oleh Lugas Pribady

Pagi itu di saat rasa penasaran mulai bergejolak karena cerita seputar kecap, saya berkesempatan untuk menyambangi salah satu pabrik kecap tertua, kecap Cap Sapi. Menghimpun cerita sebelumnya dari Kang Seto dan juga Kang Upie, saya mencoba menggali bagaimana kecap itu bisa meningkatkan rasa dari suatu masakan, bukan hanya itu saya juga mencoba mencari tau seluk-beluk kecap Cap Sapi dari mulai sejarahnya hingga eksistensinya di tengah gempuran “kecap kapitalis”. Sebuah istilah yang menarik terlontar dari mulut Kang Upie.

Pabrik kecap turun temurun ini memegang teguh rasa yang telah melegendaris. Herman Kurnia, lelaki kelahiran Bandung tahun 1948 silam ini meneruskan tonggak perusahaan ini dari sang ayah yang sedari dulu sudah memproduksi kecap sekitar tahun 1960-an. Saat itu Cap Sapi masih diproduksi di daerah Ciateul yang di mana sekeliling daerahnya dipenuhi dengan persawahan, tak aneh jika penamaan kecap ini adalah kecap Cap Sapi karena dahulu banyak petani yang menggembala sapinya di sawah. Tektek-bengek usaha kecap telah beliau teguk pahit manisnya hingga saat ini. Sejak kecil sampai meneruskan usaha sang ayah, dirinya tak pernah sekali pun mencoba belajar tentang cara pembuatan kecap. 

Seperti diberikan anugerah dari Sang Maha Kuasa, Pak Herman meneruskan apa yang sudah ia lihat dari dulu dan mengembangkan usaha kecapnya hingga melesat seperti sekarang. Sekitar tahun 1979, ia mulai menjalani kiprah mandirinya dengan memegang paten dalam prinsip, cita rasa yang tak pernah berubah, bahan baku dengan kualitas nomer wahid, alat penunjang yang baik, serta tak pernah menggunakan bahan pengawet. Pabrik milik Pak Herman ini memproduksi bukan hanya kecap Cap Sapi saja, tetapi ada juga kecap Cap Aroma dan kecap asin Cap Soyu. Beliau mengatakan tak ayalnya kecap buatan Pak Herman ini walaupun tak segencar kecap lainnya, pelanggan setianya datang dari berbagai tempat Bandung dan kota sekelilingnya, termasuk Jakarta.

Hal ini mampu mendulang keuntungan yang cukup untuk bisa terus eksis di belantika industri kecap. Kerap menemukan pesaing kotor dengan beribu alasan dan meniru resep darinya, Tak membuatnya pusing. Yang ada beliau tetap menjalankan roda usahanya dengan giat. Ia yakin keaslian rasa tak akan pernah membingungkan pelanggan setianya.

Terpaan zaman yang begitu besar dalam industri kecap memompa beliau untuk terus berkreativitas dalam melestarikan resep keluarganya. Menjadi generasi kedua bukan hal yang mudah untuknya, di samping makin maraknya kecap skala nasional yang bisa dipastikan lebih masif dalam hal distribusi dan produksi.

Sembari mengobrol dengan beliau, saya hilang fokus ketika mencium aroma gula yang dimasak begitu menggoda hidung, seakan ingin mencoleknya dengan singkong rebus. Tapi sudahlah, itu semua hanya bisa terjadi dalam pikiran saya. Tak terasa waktu sudah hampir menunjukan tengah hari, setelah menyudahi obrolan tersebut segera saya meluncur mencari makanan yang menggunakan kecap. Jodoh memang tidak lari ke mana, tak jauh dari pabrik Pak Herman, ada batagor yang enak untuk meredam keinginan akan santapan berlapis si hitam manis.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Cafe Sebagai Ruang Komunitas

Next
Next

Museum Kuliner Indonesia Pertama di Metaverse