Jakarta: A Decade of Eating
Dari pop-up dining sampai food delivery. Inilah culinary retrospective tentang makan-makan di Jakarta selama satu dekade.
Kamu yang usianya remaja, kuliah, atau sudah kerja di 2011 hingga 2012 pasti ingat kalau hampir semua anak muda masa itu maunya jadi seorang chef. Negara-negara seperti Amerika Serikat hingga Australia menjadi tujuan menimba ilmu masakan. Fenomena ini terjadi begitu cepatnya, terima kasih kepada bombardir dari reality show tukang masak amatir, MasterChef, yang secara bersamaan muncul dalam dua versi di tv cable pada tahun 2010, yaitu MasterChef USA dan MasterChef Australia. Disusul saat Indonesia juga meluncurkan MasterChef Indonesia pada 2011. Sebagian ikut dalam gelombang minat baru ini dengan impian bekerja di restoran ternama atau pun membuka restoran ke depannya, sementara sebagian juga punya impian lain: Yaitu menunjukan kemampuan masaknya di televisi, dengan kata lain, mau jadi celebrity chef.
Kegairahan yang kompak dan serentak untuk mendalami dunia masak memasak ini seragam di Indonesia serta berdampak besar terhadap pertumbuhan industri makanan di kota-kota modern di Tanah Air. Dapat dibilang, Jakarta menjadi jantungnya.
Lifestyle dining
Tahun 2011 hingga 2013 merupakan puncaknya konsep lifestyle dining. Sebetulnya apa sih arti dan makna dari lifestyle dining? Secara sederhana, lifestyle dining itu adalah fungsi sebuah restoran sebagai tempat untuk makan dan juga tempat untuk bersosialisasi, mengembangkan network, dan beriorientasi komunitas. Tidak semua restoran bisa nawarin fungsi lifestyle terhadap para tamu. Biasanya ada komponen-komponen pendukung yang tak terpisahkan, seperti lokasi yang strategis di keramaian kota, pelayanan yang kasual tapi tetap sigap, makanan modern, adanya minuman alkohol, hingga interior dan musik yang trendi mengikuti tren society saat itu.
Sebelumnya, di Jakarta sendiri beberapa embrio dari konsep restoran tipe ini sudah hadir di tahun 1990-an hingga awal 2000-an, seperti restoran KOI di Mahakam dan Paprika di Menteng. Dengan meningkatnya kelas menengah, pada 2008, Ismaya Group yang lebih dikenal dengan nightlife venue mereka, menghadirkan untuk kelompok masyarakat baru ini restoran Social House di area Harvey Nichols, Grand Indonesia. Bukan cuma Social House saja, Union Brasserie yang muncul tahun 2011 oleh duet Adhika Maxi dan Karen Carlotta seakan memantapkan kehadiran lifestyle dining buat generasi yang baru. Dalam sekejap, obrolan soal restoran-restoran yang asyik untuk bersosialisasi dapat kalian dengar diucapkan oleh penikmat makanan di hampir tiap sudut Jakarta.
Menurut Winfred Hutabarat dan Jennifer Karjadi selaku pendiri Union Group, meningkatnya minat orang untuk sosialisasi sambil makan juga didorong oleh perubahan gaya hidup masyarakat modern saat itu, termasuk bagaimana mereka mengatur keuangan dan pengeluaran. Anak muda tidak lagi tertarik membeli sesuatu dengan bentuk fisik seperti mobil, namun lebih kepada kegiatan yang memberikan experience lebih, seperti traveling hingga menemukan tempat makan baru.
Selain Union Brasserie di Senayan, hadir pula Potato Head di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) yang secara tidak resmi meletakkan “batu pertama” untuk penobatan kawasan SCBD sebagai salah satu destinasi lifestyle dining di Jakarta. Restoran-restoran yang lahir setelah tahun 2010 pada dasarnya diuntungkan juga dengan munculnya media sosial seperti Twitter dan Facebook yang diganderungi generasi urban kala itu yang pada akhirnya memberikan akses promosi dan informasi tanpa batas langsung ke tangan konsumen.
Bertumbuhnya industri restoran berkonsep lifestyle dining pada akhirnya jadi momentum munculnya wilayah-wilayah destinasi kuliner baru seperti kawasan Epicentrum dengan Otel Lobby dan Bluegrass, kawasan Pantai Indah Kapuk, serta mengubah wajah Jalan Senopati menjadi rumah bagi restoran-restoran modern casual hingga bistro. Ketertarikan masyarakat Jakarta terhadap kuliner modern juga semakin ekstrem. Hal ini membuat kerja keras yang selama ini dicoba dilakukan oleh seorang Andrian Ishak berbuah manis.
Dari molecular gastronomy hingga pop-up dining
Sekitar tahun 2008 hingga 2010 awal, sebuah ruko di Jalan Fatmawati Raya menjadi tempat di mana para penikmat restoran mencoba sebuah konsep gaya makan yang selama ini hanya bisa dilihat di televisi saja dan dilakukan oleh chef Barat yang mendobrak batas, seperti Heston Blumenthal. Andrian Ishak menjadi orang pertama yang menawarkan konsep molecular gastronomy untuk lanskap dining Ibukota. Kepopulerannya membawa Namaaz Dining, restoran milik Andrian, ke panggung utama chef Jakarta masa itu.
Andrian beserta Namaaz-nya bak Merlin dan Camelot, tempat di mana sihir nyata. Bila Merlin menampilkan sihir dengan jampian serta ramuan, Andrian "menyihir" para tamu dengan masakan. Konsep molecular gastronomy ini seakan membuka mata konsumen di Jakarta bahwa tidak ada batasan untuk berkreasi dengan makanan. Dalam hal ini, ilmu kuliner dikawinkan dengan ilmu kimia dan fisika, melahirkan sebuah genre yang seakan tak nyata. Namaaz dan Andrian juga hadir di momen yang tepat, yaitu masa di mana para chef muda Indonesia mulai dilirik potensinya.
Kamu mungkin masih ingat, pada periode 2013 hingga 2015, di Jakarta bermunculan undangan-undangan untuk mengikuti pop-up dinner yang diadakan oleh nama-nama dan wajah-wajah baru dalam dunia perdapuran Ibukota. Mereka adalah lulusan-lulusan sekolah masak terkemuka dunia, seperti Culinary Institute of America hingga Le Cordon Bleu. Ada yang datang dari Chicago, New York, Perancis hingga Australia. Para chef muda ini dengan penuh semangat unjuk gigi, dengan bekerja sama dengan restoran lain atau pun di rumah-rumah dan apartment. Mereka jarang sekali sendirian, biasanya melakukan ini dengan cara duet atau berkelompok, seperti chef Fernando Sindu dan Ivan Wibowo dengan G48-nya; Arimbi Nimpuno, Yuda Bustara serta Putri Miranti dengan Tree Food Concept; serta Arnold Poernomo, Talita Setyadi dan Angela Stasia dengan Real Food Concept (RFC).
Konsep pop-up dan private dining ini terbilang sukses di waktu itu, mengingat intensitas jadwal yang tinggi akibat permintaan pelanggan yang tinggi pula. Bahkan restoran-restoran kecil dan independent pun kerap menjadi lokasi unjuk kebolehan para chef muda ini, di mana umumnya restoran atau café tersebut merupakan milik rekan, teman atau kerabat. Tidak jarang, banyak pemilik grup restoran besar pada akhirnya melirik bakat mereka dan memberikan kesempatan yang lebih tinggi lagi yakni menjadi kepala di restorannya sendiri, seperti Fernando Sindu dengan Benedict-nya oleh Union Group.
Hadirnya mereka secara serentak ke dalam dining scene Jakarta tidak bisa dianggap sebelah mata. Para chef muda ini telah berhasil membangunkan kembali Jakarta dan menggairahkan industri food and beverage yang sebelumnya dapat dibilang masih stagnan menjadi sebuah dunia yang penuh dengan kreasi dan inovasi. Brunch café, contemporary dining, modern Indonesian, dessert yang unik, artisan bread, semua dibawa oleh mereka.
Para chef muda yang hadir dalam gelombang ini antara lain Ray Janson, Yuda Bustara, Fernando Sindu, Ivan Wibowo, Talita Setyadi, Odie Djamil, Adhika Maxi dan beberapa nama lainnya. Apabila para chef mendapatkan kesempatan untuk tampil dengan sokongan restoran-restoran, bagaimana dengan bisnis kuliner skala kecil dan rumahan? Mereka tidak perlu takut, karena awal dekade ini juga menjadi spotlight bagi food brand rumahan dengan dukungan hadirnya food bazaar.
Food Bazaar, when food meets art and fashion
Saat keluarga Wirjono dan Leonard Theosabrata memulai sebuah “pasar modern” dengan produk local yang mereka kurasi bernama Brightspot Market di Plaza Indonesia tahun 2009, mereka tidak sadar kalau dampak dari yang mereka lakukan akan sangat besar bagi industri kreatif di Jakarta, dari mode, seni, termasuk makanan di dalamnya. Brightspot Market memberikan kesan cool pada konsep bazaar yang umumnya lekat dengan stigma ibu-ibu rumahan, dan membawanya menjadi relevan untuk masyarakat urban.
Brightspot yang terkenal dengan kurasinya pun melahirkan merek food and beverage baru, seperti Taco Local dan One Fifteenth Coffee, di mana keduanya sekarang sudah menjadi household names di genre mereka masing-masing. Kesuksesan Brightspot Market menjadi trigger untuk munculnya bazaar-bazaar serupa yang seketika bikin ramai setiap weekend di lokasi-lokasi premium, mulai dari Jakarta Selatan hingga Jakarta Utara. Market & Museum, HYPE Bazaar, hingga Jakarta Culinary Feastival milik Ismaya Group menjadi nama yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Hadirnya bazaar-bazaar pun membuat terkenal dan populer beberapa merek makanan rumahan seperti yang dilakukan Brightspot Market terhadap Taco Local dan One Fifteenth Coffee, yaitu Machete dengan food truck Tex-Mex, hingga Ann’s Bakehouse yang sekarang sudah memiliki outlet sendiri di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sebetulnya, ada satu hal yang sedang terjadi pada era ini dan jadi common ground bagi konsep-konsep bazaar yang meramaikan Jakarta, yaitu semakin besar dan dalamnya kecintaan terhadap produk lokal. Kecintaan terhadap produk lokal juga makin dirasa bagi bahan baku lokal seperti kopi dan cokelat, serta menjadi permulaan untuk munculnya gaya hidup yang lebih holistik.
Kecintaan terhadap produk lokal, gaya hidup holistik, hingga plant-based food
Dalam hal rasa kepemilikan dan kebanggaan yang tinggi terhadap produk lokal turut terpancar dari urusan kopi. Sebelumnya di mulai oleh Anomali, Tanamera, ABCD dan beberapa nama lainnya, hadirnya third-wave coffee yang kental dengan nuansa Scandinavian-Japanese interior, atau pun dibuat semenarik mungkin sebuah kedai kopi di bagian kota Melbourne mewarnai pertengahan dekade 2010 ke depannya. Selain kembalinya kesadaran akan mengapresiasi produk lokal, tidak bisa dipungkiri kemunculan mereka juga didasari oleh rasa rindu anak-anak Jakarta yang baru kembali dari menuntut ilmu di Negeri Kangguru tersebut untuk punya yang serupa di kampung halaman. One Fifteenth Coffee dan Woodpecker adalah contoh-contoh terawal gerakan ini. Namun sejatinya bukanlah sebuah kesulitan bagi tren kopi untuk disukai, dikarenakan budaya meminum kopi sendiri sudah cukup kuat berakar pada orang Indonesia sejak lama. Kehadiran mereka hanya menggairahkan kembali apa yang sebetulnya sudah ada, dan menjadikannya keren. Ya, keren adalah komponen penting untuk kota seperti Jakarta.
Dampak akan kesadaran masyarakat urban dengan gaya hidup yang lebih holistic sangat terpancar dari tumbuhnya ketertarikan akan masakan yang berbasis tumbuhan (plant-based). Di antara tahun 2015 ke atas, isu-isu seperti plastik, pemanasan global, hingga ketertarikan orang untuk mendalami mindful living hadir bersamaan. Burgreens, yang berada di wilayah Veteran, Bintaro, yang dimiliki oleh Helga dan Max Mandias kalau boleh dibilang menjadi yang pertama menampilkan hidangan plant-based yang relevan dengan generasi baru ini, dan yang terlebih penting, bersinggungan dengan topik-topik yang menjadi ketertarikan di atas: anti plastik, keramahan lingkungan, mindfulness (dalam hal konsumsi). Burgreens tidaklah intimidatif dan judgemental. Restoran ini terbuka untuk siapapun yang ingin mencicipi kelezatan hidangan plant-based dan berharap tamu-tamu bisa mulai meraskaan manfaat baik untuk tubuh mereka. Kesuksesan Burgreens pun memicu munculnya beberapa nama yang berani untuk mengedepankan kebaikan dari sayuran serta buah-buahan, termasuk jus seperti ReJuve yang mewarnai shopping mall di Jakarta hingga kafe yang menjual khusus salad.
Digital revolution
Dengan semakin banyaknya pilihan restoran aneka konsep dan aneka cuisine di tempat-tempat berbeda di seantero Jakarta, maka kebutuhan akan sebuah panduan akan muncul dengan sendirinya. Kebutuhan ini hadir bersamaan dengan revolusi digital yang mendorong lahirnya aneka ragam aplikasi yang berkenaan dengan momen-momen di hidup manusia, salah satunya Zomato, yang menjadi panduan tempat makan secara digital asal India.
Ketika Zomato hadir di Indonesia tahun 2013, kegiatan food blogging juga sedang ramai dilakukan oleh individu-individu yang tertarik dengan makanan sebagai bagian dari gaya hidup. Zomato menjadi platform bagi mereka untuk dapat menjadi "kritikus" dalam sekejap, dan rupanya hal ini menjadi cukup digemari. Selain itu informasi lengkap mulai dari menu, foto dan detail restoran ada dalam satu genggaman, membuat Zomato jadi tujuan siapa pun yang ingin mengetahui tentang tempat makan sebelum mereka coba. Saling berbagi ulasan rupanya menjadi sesuatu yang populer sehingga tidak perlu menunggu waktu lama hingga Zomato di-download oleh hampir setiap kaum urban Jakarta dan memberikan orang-orang ini sebutan baru, yaitu "foodies".
Kepopuleran Zomato juga disusul dengan Instagram yang entah mengapa baru meledak di pertengahan dekade ini. Hal ini tentunya didukung oleh kemudahan mengaksesnya yang sangat terbantu oleh ketersediaan merek-merek baru smartphone di pasaran, di mana sebelumnya hanya dipegang oleh dua merek raksasa dari Amerika Serikat dan Korea Selatan. Belum lagi peningkatan hobi fotografi serta ketersediaan mirrorless camera oleh merek-merek seperti Fuji, Sony hingga Canon yang pada masa ini ibarat amunisi dan senjata bagi para pemburu konten. Ditambah beberapa faktor lainnya, semua berpadu melahirkan kebiasaan baru masyarakat dalam menikmati makanan, yakni menjadi visual-driven.
Peningkatan konten-konten makanan di media sosial juga memberikan dampak langsung bagi restoran. Banyak restoran yang muncul di pertengahan dekade ini yang berfokus pada interior agar menjadi magnet masyarakat umum saat mengakses media sosial mereka. Tidak tanggung-tanggung, wilayah seperti Pantai Indah Kapuk hingga mall-mall di Jakarta dibuat ramai dengan aneka es krim hingga snack yang lucu dan unik secara visual namun cenderung malas dalam hal rasa. Namun, ada satu hal yang dinikmati oleh industry restoran dengan ketertarikan baru ini, yaitu publisitas gratis yang didukung oleh konsep user generated content.
Food delivery dan dampaknya
Menuju ke akhir dekade 2010, masa ini ditutup oleh sesuatu yang lebih konkrit, lebih valid dan lebih berdampak pada perubahan pola hidup manusia metropolis secara keseluruhan, yaitu peningkatan signifikan dalam kehadiran food delivery. Sebelum hadirnya food delivery secara online yang dimulai salah satunya oleh GoFood by Gojek, pemesanan makanan ada, namun masih didominasi oleh restoran fast food dan rumah makan semata. Warga Jakarta pun tidak terganggu dengan ini. Namun perlahan terjadi perubahan pola hidup, di mana segalanya serba cepat dan waktu serta produktivitas lebih penting dari apapun. Hal ini rupanya melahirkan sebuah demand baru yang masif, yakni sangat diperlukannya layanan food delivery.
Catherine Sutjahyo, chief food officer dari Gojek sendiri mengatakan kepada kami bahwa perusahaannya tidak pernah sekali pun berpikir bahwa yang awalnya merupakan salah satu dari bagian concierge service Gojek menjadi seperti sekarang, berskala besar hingga mencapai 50 juta transaksi perbulan hingga akhir 2019 lalu dan memiliki lebih dari 500.000 merchants.
Food delivery di Jakarta memang layak bila dibilang sebagai the biggest and most impactful moment on food di dekade ini. Hal ini dikarenakan dampak yang terjadi secara signifikan dari hadirnya mereka. Yang membuat food delivery ini berdampak besar, berbeda dari hal-hal yang terjadi di atas yang umumnya adalah tren atau sebuah movement, food delivery berhubungan langsung dengan perubahan behaviour masyarakat dan menjadi solusi baru untuk setiap kita menjalani hari, di mana menurut Catherine yang dilakukan GoFood adalah untuk menjadi solusi dalam daily friction masyarakat. Kepopuleran food delivery yang dirasakan manfaatnya oleh banyak orang sampai-sampai dapat melahirkan tren-tren baru dalam teritori food delivery itu sendiri, yaitu aneka rice bowl (dengan dominasi menu bersambal matah hingga telur asin yang dipopulerkan oleh merek Eatlah) sampai es kopi susu yang menggurita. Tidak ada yang sebelumnya pernah memberikan dampak sebegitu besarnya terhadap UKM food and beverage di Jakarta.
Bukan hanya itu saja, dengan adanya peningkatan penjualan dari industri food delivery, muncul kembali inovasi-inovasi baru dari jajanan yang sebetulnya sudah erat dengan kita sejak lama dan popular kembali, seperti pisang madu milik Ibu Nanik hingga yang terbaru adalah pisang nugget. Apabila sebelumnya tren makanan dibentuk oleh opini public (dan masih terus sampai sekarang) kehadiran platform food delivery ini rupanya mampu mengambil posisi itu. Food delivery juga secara tidak langsung memberikan akses bagi orang-orang di bagian kota yang berbeda untuk bisa mencicipi aneka makanan yang berbeda-beda pula yang sebelumnya terkendala masalah mobilitas dan waktu tempuh. Hal ini tentu bisa berpengaruh positif bagi berkembangnya ensiklopedia cita rasa warga Jakarta dalam skala tertentu.
Sekarang, kita sudah memasukin babak dekade yang baru. Sepuluh tahun telah berlalu dengan begitu cepatnya dan dalam setiap saat ada saja hal-hal baru yang berkenaan dengan makanan. Dekade yang telah Jakarta lewati memang semarak, bagaikan proses Sang Ibukota untuk menjadi dewasa dalam konteks pengenalan akan makanan. Tren naik dan turun, teknologi memiliki dampak besar terhadap makanan, namun yang akan selalu sama adalah manusianya.
Semoga sepuluh tahun yang telah kita lewati ini menjadikan kita sebagai penikmat makanan yang jauh lebih cerdas dari saat dekade kemarin dimulai, sehingga kita bisa memberikan dampak bagi sesama hingga bagi Ibukota untuk dapat dikenal sebagai destinasi kuliner di Indonesia. Tentu saja kita semua menunggu apa yang dekade baru ini tawarkan dalam hal makanan.
Apakah akan muncul lagi genre makanan baru? Apakah es kopi susu masih akan bertahan? Apa inovasi baru yang akan dibawakan oleh aplikasi makanan seperti GoFood dan Zomato? Bagaimana yang terjadi bila Ibukota sudah tak lagi di Jakarta dan akankah berdampak pada industry kuliner di sini? Mungkinkah masakan Perancis kembali lagi digandrungi? Siapa saja chef-chef baru yang akan muncul? Tidak ada yang tahu pasti. Namun yang jelas, sebagai kota yang dinamis, Jakarta akan selalu punya kejutan bagi warganya.
Artikel ini pernah diterbitkan sebelumnya di media Top Tables pada 5 Maret 2020.