Third Wave Street Food

Rasa makanan rumahan yang familiar, branding yang keren, crowd yang trendi — selamat datang Third Wave Street Food.

Demie Bakmie di Dharmawangsa adalah contoh Third Wave Street Food

Demie Bakmie di Dharmawangsa adalah contoh Third Wave Street Food

Sore ke malam hari di Jalan Cikajang ada pemandangan yang seru. Parkiran di bagian depan klinik kulit Eddy Karta penuh. Bukan penuh yang mau bikin cantik wajah (lagi pula ini malam hari), tapi mereka justru datang buat memuaskan perut di restoran kecil dengan interior inspirasi retro Cina di atasnya. Dan yang lebih uniknya, ia menyajikan bubur khas Cina yang semuanya dibuat secara rumahan, termasuk acar sawi yang dibuat oleh ibu sang pemilik.

Nah, adegan yang berbeda juga terjadi di wilayah Dharmawangsa yang trendi dan dikenal sebagai salah satu hub anak hipster Jakarta. Sekumpulan anak millennial dengan lahapnya menyeruput bakmi yang dibuat dengan tangan di sebuah noodle bar kontemporer bernama Demie Bakmie yang diapit oleh coffee shop dan restoran taco.

Sebetulnya apa sih yang terjadi?

Kalau menurut kami, yang terjadi di Cikajang dan Dharmawangsa itu adalah tanda-tanda dari lahirnya sebuah genre baru di perkulineran Jakarta. Kami menyebutnya Third Wave Street Food. Ide dari konsep Third Wave Street Food sebetulnya dipinjam dari ungkapan yang sama yang terjadi di industri kopi. Bisa dibilang, gelombang pertama (first wave) adalah kaki lima yang apa adanya seperti yang selama ini kita datangi, dimana mereka hanya jual makanan saja.

Lalu gelombang kedua (second wave) adalah dikomersilkannya konsep makanan kaki lima secara masif, seperti franchise bakmi atau restoran skala besar yang mengusung makanan kaki lima. Dalam tahap ini fokus bukan hanya produk saja, namun juga pengembangan bisnis, marketing hingga elemen lain dalam sebuah struktur restoran profesional diaplikasikan.

Namun sekarang ini di Jakarta, sudah mulai muncul wajah lain yang terlihat sebagai evolusi street food yang baru. Tempat-tempat ini tidaklah besar. Ukurannya kecil, mungil, bahkan tersembunyi. Mereka melayani dine-in namun juga ikut memanfaatkan food delivery secara online. Makanan yang mereka sajikan umumnya comfort food, spot-on dalam hal bumbu dan memproses tiap komponen sebaik mungkin layaknya makanan itu dibuat oleh seorang pekerja rumah makan yang sudah berdiri puluhan tahun, sehingga rasanya jujur dan tidak artificial. Namun ada yang berbeda dari tempat-tempat ini, yaitu dari segi branding serta desain dan visual.

Ketertarikan generasi muda Jakarta sekarang sangat beda dari yang lalu.  Sebelumnya, istilah dining out itu pasti seputar restoran yang berkelas dan keren. Tapi sekarang, kalau kamu bicara dining out, kamu bisa juga bermaksud untuk ngajak eksplor makanan ke pelosok wilayah. Hal ini yang menjadi inspirasi Luhur Sarodja dan Muhammad Wale untuk mendirikan Demie Bakmie. “Awalnya kita hanya senang saja jalan-jalan makan bakmie pas weekend. Ada keseruan dan kepuasan tersendiri bisa ketemu tempat baru dan makan di sana langsung,” terang Joey Mahendra, salah satu rekan yang baru bergabung dengan Demie Bakmie. “Jakarta itu melting pot, sehingga banyak makanan unik di Jakarta itu tersebar di mana-mana, seperti makanan Kalimantan yang ada di wilayah Sunter. Seru banget!” lanjutnya.

Sebenarnya bukan hanya soal harga yang terjangkau dan rasa yang lebih jujur, makanan kaki lima terkadang punya cerita unik di baliknya serta tidak intimidatif. “Anak muda secara umum masih mendapat uang dari orang tua, jadi tentu saja mereka akan lebih banyak datang ke tempat makan yang secara rasa sudah familiar di lidah dan cukup terjangkau, seperti street food.” Jelas Ade Putri Paramadita, food storyteller dan food writer. “Apalagi bila cita rasa yang familiar itu dibungkus dengan konsep ‘kece’ namun masih relatable, pastinya akan jadi pilihan anak muda,” lanjutnya.

Yang menarik dari gerakan baru street food ini sebenarnya adalah sosok-sosok di baliknya. Banyak dari mereka yang justru tidak memiliki latar belakang food and beverage melainkan dari dunia kreatif seperti desain grafis dan desainer interior. Contohnya Rawon Bar, sebuah brand yang hanya menjual rawon saja. Rawon milik mereka dikenal dengan cita rasanya yang medog dan gurih bahkan oleh banyak masyarakat Jawa Timur yang tinggal di Jakarta. Pendirinya, Marvin Julian dan Kevin Wardana keduanya berlatar belakang industri kreatif: Marvin dengan background marketing serta Kevin sinematografi. Tapi justru kombinasi mereka berhasil menciptakan suatu produk kaki lima modern yang mengedepankan nilai-nilai nostalgia resep tradisional (bumbu rawon merupakan warisan nenek dari Marvin) tapi dengan pendekatan desain serta marketing yang bisa dibilang witty, sangat modern serta out-of-the box.

"Branding sangat esensial untuk food and beverage di Jakarta sekarang. Banyak yang salah kaprah bahwa branding hanyalah soal desain semata. Sejatinya, branding adalah harmoni dari keseluruhan konsep - dalam hal ini restoran atau rumah makan - termasuk visual, desain, hingga akhirnya bagaimana tamu mendapatkan sebuah kesan akan experience mereka makan di tempat tersebut,” ujar Hadi Ismanto, Direktur Media dari Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) serta founder dari New Media Folder.

Sejatinya makanan kaki lima memang erat dengan nilai-nilai kemanusiaan: entah itu budaya, sosial hingga sejarah. Nikmatin makanan kaki lima adalah salah satu cara kita buat kenal sebuah daerah, bahkan dapat menjadi identitas atau “merek” dari wilayah itu sendiri. Street food is a brand. It is a cuisine inherited from our parents and culture, ungkap KF Seetoh, food expert dari Singapura di World Street Food Congress tahun 2016 di Manila, Filipina. Tentu substansi dan cerita yang dikandung oleh street food menjadi daya tarik sendiri bagi para pelaku industri kreatif. Hal ini pun akhirnya mempengaruhi bukan hanya menu saja tapi sampai ke tiap komponen rumah makan atau restoran, seperti furniture dan interior.

“Kalau saya punya tempat makan menyajikan makanan kaki lima atau street food, saya akan tidak berlebihan memikirkan dari sisi interior namun harus kental dengan suasana rumah dan kesan homey,”kata Ade. Nuansa rumahan jugalah yang ditawarkan oleh Bubur Cap Tiger, restoran kecil yang menyajikan bubur ayam khas Cina yang umumnya ditemukan di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara dan sekarang bisa dengan gampang kita nikmati di Jakarta Selatan.

Desain restoran mereka bisa dibilang cukup sederhana dan enggak bertele-tele. Tapi jangan salah, mereka justru sangat perhatian pada detail terkecil seperti warna meja, ornamen dinding, tinggi dan ukuran bangku, hingga porsi makanan dan harga yang ditawarkan. Sosok di balik penyuplai furniture Bubur Cap Tiger adalah Sashia Rosari, desainer interior yang juga pemilik dari restoran Honu yang dikenal dengan desain apik dari tiap restorannya. Sementara logo dan elemen visual lainnya merupakan karya Michael Killian, yang juga turut mendesain branding keseluruhan dari Demie Bakmie.

Namun ada satu pertanyaan yang muncul, mengapa beberapa lokasi tempat makan yang mengusung konsep ini tidaklah umum? Seperti Bubur Cap Tiger di atas sebuah klinik; Demie Bakmie di dalam sebuah compound dan tersembunyi dari luar; serta Rawon Bar yang hanya berupa kios kecil? Tentu saja harga sewa tempat juga menjadi faktor penting yang dipikirkan, mengingat pendiri tempat makan ini kebanyakan adalah anak muda yang masih belum mempunyai track record bisnis kuliner atau mungkin baru pertama kali mencoba. Apalagi baru-baru ini pemerintah kota DKI Jakarta baru saja menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang akan langsung berdampak kepada kenaikan harga sewa, lantaran ikut naiknya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Namun hal ini tidak menyurutkan niat para pelaku kreatif muda ini. Menurut Mihaly Csikszentmihalyi, profesor psikologi dari University of Chicago, para pelaku kreatif umumnya lebih banyak akal dan memiliki daya juang yang tinggi, mengingat sifat kreativitas adalah tidak memiliki bentuk yang pasti.

Ke depan, besar kemungkinan akan banyak bermunculan restoran kecil dengan makanan rumahan yang memiliki konsep branding yang kuat, entah itu di pojok sebuah ruko atau pun di dalam wilayah perumahan. Justru hal ini secara tidak langsung merujuk kembali kepada fungsi street food yang fundamental: yakni menjadi bagian dari lingkungan sekitar - a neighborhood place - alih-alih membuat restoran di wilayah yang sudah tersentralisasi. Tentu saja dengan banyak bergabungnya mereka dengan latar belakang kreatif di industri makanan, maka akan semakin memberikan warna baru.

Mengenai kenaikan harga sewa yang tinggi yang akhirnya berdampak kepada banyak pelaku industri kreatif muda, kota New York juga mengalaminya. Hal ini menjadikan para pelaku kreatif dan pengusaha restoran muda di Manhattan untuk putar otak. Hal itu pun berdampak ke meningkatnya industri restoran independen di wilayah Brooklyn dan juga Queens. Hasilnya adalah destinasi kuliner bukan lagi eksklusif milik wilayah Manhattan namun sudah menyebar hingga ke borough lainnya, menjadikan food scene di kota New York jadi lebih beragam dan vibrant. Toko makanan artisanal dan juga tempat makan yang mengusung tema comfort food daerah asal banyak para imigran juga menjamur. Bukan hanya itu saja, banyak dari pengusaha muda itu juga turun langsung melayani tamu atau berada di balik kasir selagi melakukan transaksi. Sehingga nuansa komunitas turut dirasakan oleh pengunjung, karyawan serta pemilik itu sendiri.

Menurut pakar kuliner Indonesia William Wongso, sangat penting untuk pemilik tempat makan turun langsung memasak dan melayani tamu. Hal ini bukan cuma soal terlibat dalam keseluruhan operasional dan jadi tahu kondisi langsung bisnisnya di lapangan, tapi justru hadirnya pemilik sangat penting untuk membangun jiwa tempat makan itu sendiri. Inilah yang sangat kuat dari konsep street food. Di Bubur Cap Tiger contohnya,  pemilik akan sesekali terlihat menggunakan topi dan celemek yang sama dengan pegawai lain sembari penuh antusias mengantar makanan hingga membersihkan meja, walau mungkin gaya hidup sehari-harinya sangat kosmopolitan.

Pada akhirnya, Third Wave Street Food ini sejatinya adalah tentang sebuah pengalaman secara keseluruhan mulai dari makanan, pelayanan hingga identitas dan konsep. “Mereka, para pemilik rumah makan atau restoran ini at the end harus bisa mempersonifikasikan produk dan brand mereka. Tidak cukup hanya desain saja yang konsepnya rumahan tapi makanan serta jiwa dari tempat itu dilupakan.” terang Hadi Ismanto kembali. Dengan posisi kota Jakarta sebagai melting pot ragam kultur Indonesia yang masing-masing memiliki street food mereka sendiri, tentu saja tinggal menunggu waktu bagi para pelaku industri kreatif dan kuliner untuk semakin meramaikan food scene ibukota dengan kreatifitas tanpa batas.


Artikel ini pernah diterbitkan sebelumnya di media Top Tables di tanggal 11 Mei 2019.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Bersulang! Seni Kreasi Alkohol Lokal

Next
Next

Jakarta: A Decade of Eating