Future Eaters: Gen-Z, Foodies Masa Depan
Tiap generasi punya peran membentuk lanskap kuliner Jakarta, termasuk hadirnya Generasi-Z sebagai future eaters.
Selama beberapa tahun terakhir, hampir setiap industri bicara soal kaum millennial. Televisi, media cetak, media digital, semuanya bicara soal potensi hingga permasalahan millennial. Pemerintah yang selama ini terkenal kaku juga sudah mulai memahami keberadaan kaum millennial sebagai generasi yang punya andil besar dalam segala hal - mulai dari membentuk opini hingga memilih pemimpin negara.
Namun, ketika semua masih sibuk bicara tentang millennial, generasi berikutnya sudah hadir di depan mata. Generasi yang sepenuhnya lahir, besar, hidup di era digital. Generasi yang punya cara lihat yang jauh berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Mereka adalah Gen-Z. Kehadiran Gen-Z, yaitu manusia yang lahir dari tahun 1997-2012 (Pew Research Center), mungkin sekarang ini masih berada di bawah payung orang tua. Mayoritas dari mereka masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah atau universitas. Namun sebagaimana anak muda pada umumnya, mereka sudah mulai gemar melakukan kegiatan sosialisasi sana sini, sosialisasi yang tentunya sangat erat dengan makan dan minum
Memahami dunia tempat Gen-Z hadir
Walau pun Gen-Z terawal yang lahir di akhir 1990-an sepertinya dekat dengan millennial dan juga banyak terekspose dengan budaya kuliner modern generasi ini, Gen-Z mengalami banyak hal yang berbeda dari bagaimana mereka konsumsi makanan, salah satunya tentang budaya makan di rumah.
Selain makin dimudahkan dengan hadirnya food delivery yang bisa mengantar sepotong iga konro Makassar sejauh 15 km langsung ke depan rumah, atau Japanese rice bowl dengan gyutan (lidah sapi) dalam sekejap - hal yang tidak mungkin terjadi 20 tahun yang lalu - berkurangnya jumlah orang tua yang pandai memasak menjadi faktor yang punya pengaruh besar. Dalam hal ini pengaruh terhadap penerimaan Gen-Z terhadap cita rasa.
Menurut Oregon State University dalam jurnal mereka yang berjudul A Trained Palate, menyatakan kalau manusia perlu waktu yang cukup lama agar bisa membentuk sebuah konsep rasa di lidah, di mana proses itu dimulai di saat kecil. Agar seseorang bisa mengenal rasa, sejak kecil mereka harus dibiasakan dengan makanan rumah, dan penting apabila sosok seperti ibu, ayah atau orang dewasa yang dekat dengan anak itu yang memasak.
Karena makanan yang dimasak oleh ibu misalnya - yang bagi seorang anak sosok ibu sangat erat dengan simbol kasih sayang - secara langsung akan tertanam ke makanan tersebut. Hingga di kala mereka dewasa, saat manusia mencicipi makanan yang sama yang dahulu dimasak oleh ibu atau orang terdekat, akan membentuk sebuah konsep yang berhubungan erat dengan nostalgia, rasa nyaman, serta paling penting memberikan identitas dari mana sang anak berasal.
Pertanyaannya, apabila sudah berkurang jumlah orang yang memasak bagi generasi baru di rumah, akan seperti apakah nanti konsep nostalgia dan comfort food untuk Gen-Z? Bisakah rasa kehangatan tangan orang tua digantikan dengan ingatan tentang datangnya makanan cepat santap? Apakah kenangan seperti rasa kecap yang bermain di antara nasi putih dan ayam goreng tergantikan dengan semangkuk poke bowl?
Menurut Nediva Mary (22) seorang mahasiswi, ia mengatakan bahwa makan di rumah sudah jarang ia lakukan. Hampir setiap hari ia dimudahkan dengan food delivery. Namun ketika weekend, ia juga sering pergi keluar, nongkrong dan nikmatin tempat-tempat baru di Jakarta.
Tapi ada juga sebuah perspektif yang menarik. Tidak seperti generasi-generasi sebelumnya, pilihan makanan yang hadir di era sekarang tidak terhitung banyaknya. Mulai dari masakan Peru, hidangan kontemporer, burger house, restoran barbecue Brazil, restoran vegan, aneka dessert Jepang atau Korea, hingga kuliner dari Timur Indonesia seperti se'i (daging asap) ada di mana-mana.
Apabila Gen-Z sejak kecil terpapar dengan ragam rasa tersebut, besar kemungkinan justru generasi ini bisa menjadi generasi dengan lidah paling tajam, karena kita semua tahu bahwa kunci untuk menjadi seorang pakar makanan adalah membuat lidah kita mencicipi segala rasa. Kalau kue pada jaman baby boomers hingga Gen-X cuma sebatas black forest, tiramisu dan fruit pie, maka millennial dan Gen-Z beruntung bisa mencicipi silky pudding, pannacotta, red velvet, cronut, entremet patisserie, banoffie pie, Japanese cheese cake, roti nougat dan lain sebagainya.
Pasta tak lagi hanya carbonara atau Bolognese. Aglio olio, gnocchi butter sauce, salmon spaghetti, cheese wheel, dengan jamur truffle, hingga menggunakan uni khas Jepang. Mereka besar di era di mana makanan didewakan di mana-mana. Mereka hidup di masa saat es krim menjadi trendi kembali bersamaan dengan kepedulian akan alam dan sosial juga kencang-kencangnya.
Walau pun makanan rumahan sangatlah penting, tidak bisa disangkal kalau orang tua sekarang berbeda dengan orang tua puluhan tahun lalu. Apabila memasak di rumah tidak sempat, maka memori bisa dibangun dengan pergi bersama ke restoran. Makan di restoran setidaknya memberikan nuansa kebersamaan dalam satu meja, serta memberikan kesempatan bagi seorang anak untuk mencoba berbagai hal baru. Dengan semakin banyaknya anak Gen-Z yang sejak kecil merasakan pengalaman makan di restoran, maka ketika mereka dewasa nanti diharapkan nilai-nilai yang mereka dapatkan di kala kecil datang ke restoran bersama keluarga akan tetap nempel dan dicari.
Generasi kritis yang menaruh perhatian pada produk lokal
Di Jakarta sebagai kota urban, Gen-Z tumbuh bersama dengan pertumbuhan kota yang sangat cepat dan dinamis. Mereka hidup di mana tata kota sudah semkain baik, di mana transportasi sudah dimudahkan dengan online hingga Mass Rapid Transit (MRT), serta kegiatan akhir minggu tidak lagi sekedar nongkrong di dalam mall namun olahraga bersama, mendatangi festival seni, hingga bermain di taman. Mereka juga menjadi besar di kala banyak topik sosial yang diangkat, sampai masalah pemanasan global
Hal di atas secara tidak langsung akan memberikan dampak ke individu masa depan, di mana mereka di satu sisi sangat bebas namun juga di satu sisi sangat kritis. Menurut firma McKinsey, Gen-Z yang hidup di kota besar akan sangat terpengaruh dengan keadaan sosial hingga isu yang ada di sekitarnya. Dan siap atau tidak, cara mereka melihat dan menikmati makanan akan berbeda.
Tidak lagi menggunakan plastik serta mencoba makanan vegan menjadi dua hal yang sangat menonjol sekarang ini. Namun kecintaan akan produk lokal juga akan muncul didorong oleh digaung-gaungkannya gerakan local produce.
Menurut chef Ragil Imam Wibowo, pemilik dari restoran kontemporer yang menggunakan pangan lokal, NUSA Indonesian Gastronomy di wilayah Kemang, ia mengatakan saat forum IdeaFest pada awal Oktober kemarin, bahwa dirinya terkejut ketika ada sekumpulan anak-anak Gen-Z yang merayakan ulang tahun di restoran miliknya. Ketika ditanyakan, alasan mereka sederhana: makanan Indonesia itu keren, dan kami ingin merayakannya.
Ketertarikan Gen-Z akan produk lokal juga disampaikan oleh Tissa Aunila, owner dari Pipiltin Cocoa kepada Feastin’, bahwa menurutnya Gen-Z adalah generasi paling kritis dan paling peduli dengan isu sosial, entah karena betul-betul dari hati atau pun sekedar untuk eksistensi. Tapi bagaimana pun, topik sosial sudah ada di benak mereka.
Dengan segala keunikannya, maka tinggal menunggu waktu saja perubahan dari segi lanskap kuliner digerakkan oleh Generasi-Z yang sudah semakin banyak ini. Adalah sebuah tantangan bagi setiap industri, termasuk makanan, untuk dapat mengerti pola pikir dan pola konsumsi mereka, terutama pola konsumsi yang di masa depan akan sangat erat kaitannya dengan perkembangan teknologi serta pengaruh budaya modern yang berubah dengan cepat.
Maka pertanyaan besarnya: apakah restoran dan pengusaha makanan siap untuk menerima kedatangan serbuan generasi ini ke depan?