The Joy of Cooking

PPKM menyadarkan saya kembali kalau memasak itu menyenangkan.

Tumis melinjo rumahan dengan petai. | Foto oleh Kevindra Soemantri

Tumis melinjo rumahan dengan petai. | Foto oleh Kevindra Soemantri

Sebelum saya fokus di dunia penulisan makanan, saya memasak. Memasak selalu menjadi cara untuk saya kabur dari kenyataan hidup yang pahit. Memasak adalah benteng perlindungan dari ancaman dunia luar yang kian nyata. Hingga akhirnya saya bekerja di dalam dapur, dan setelahnya memutuskan banting setir dari pisau ke pena. Saya juga memulai karir dalam dunia konten makanan sebagai food editor di sebuah perusahaan penyedia video memasak yang ternama di Jakarta. Pekerjaan saya waktu itu juga merangkap sebagai kitchen manager, yang berarti melakukan supervisi saat dilakukan syuting, menguji coba resep, bahkan ikut menulis resep. Namun setelahnya saya bekerja sebagai kolumnis restoran di salah satu media ternama di Indonesia, intensitas berkreasi di dalam dapur sendiri pun berkurang. Saya semakin jauh dari mengotori celemek dengan terigu, atau terciprat sambal uleg dengan aroma terasi.

Saya lebih sering menyambangi dapur restoran dibanding dapur rumah sendiri. Melihat chef menata irisan tuna dengan dressing yuzu sangat menarik mata. Keluar masuk restoran atau rumah makan selalu mendorong adrenalin akan ekspektasi sesuatu yang unik dan baru. Tak terasa kegiatan itu menjadi jalan hidup saya sehari-hari, selama bertahun-tahun. Saya tidak komplein, karena memang terpapar dengan kreasi makanan manusia-manusia kreatif bagai melihat dunia melalui mata mereka. Belum lagi pekerjaan lainnya yang datang bertubi-tubi, membuat memasak di dapur menjadi kegiatan yang mungkin hanya sempat dilakukan seminggu sekali, itu pun sifatnya rekreasional saja.

Tapi pandemi mengubah segalanya. Kegiatan tanpa henti kaum urban harus berhenti sejenak. Kita diharuskan untuk mengenal kembali kata diam. Namun di dalam perhentian ini, saya menemukan kembali cinta mula-mula dengan dunia makanan melalui kegiatan memasak di dapur. Memasak sungguh mendatangkan kebahagiaan. Saya seakan dibuat cinta kembali dengan ulekan di dapur; dengan menggunakan tepung tapioka; dengan memilih jenis terasi yang cocok untuk sambal yang berbeda; dengan mengulik resep-resep lama. Rupanya menarik bahwa hanya perlu diam untuk kita bisa menemukan kembali hal-hal sejati yang membuat kita bahagia, entah itu yang masih bisa dilakukan atau yang pernah ada. Diam bukan hanya menjadi senjata untuk kita melawan pandemi, namun juga membantu kita menemukan kembali kebahagiaan sejati yang mungkin selama ini tersamarkan oleh pikiran kusut karena kemelut kegiatan tanpa henti.

Untuk saya sendiri, memasak jadi cara untuk kembali ke masa lalu. Memasak selama pandemi membuat saya seakan bisa berbicara kembali dengan almarhumah nenek lewat asam-asam daging yang sering Ia masak. Saya juga bisa merasakan kehadiran almarhum ayah tiap membuat sambal terasi kesukaannya. Dua hal ini tidak mungkin bisa saya lakukan ketika dalam kondisi normal. Saya rasa akan sangat baik kalau kita semua menemukan kembali serunya memasak di masa-masa sekarang. Memasak juga melatih kembali empati dan simpati kita. Setiap memasak, saya mencari tahu kesukaan masing-masing anggota rumah. Ada yang tidak terlalu suka pedas, ada yang senang daging, ada yang tidak. Alih-alih terkesan repot, saya justru melihat ini sebagai kesempatan untuk mengenal lebih dalam anggota rumah melalui selera mereka. Rupanya memasak tidak mengajarkan kita untuk egois dan mau menang sendiri. Memasak justru membuat kita lebih perhatian terhadap orang di sekitar. Memasak membuat kita menjadi lebih baik bila dilakukan dengan tepat, seperti ibadah. Walau keadaan di luar membuat kita sulit tersenyum, setidaknya kita menghadirkan keajaiban di rumah melalui racikan bahan makanan.

Saya melihat juga bagaimana kegiatan memasak menjadi salah satu kegiatan kaum urban selama diam di rumah. Bukan hanya membuat makanan yang mudah, namun yang terbilang sulit juga dihantam. Siapa pula yang pernah mengira bahwa roti sourdough bisa disajikan di dapur rumah? Sementara sebelum ini hanya kita beli di toko roti artisan dengan harga yang mahal pula. Ada juga teman saya yang pada akhirnya mencoba berbagai resep-resep dari buku masakan yang Ia beli dari luar negeri. Kalau dilihat lebih jauh lagi, kegiatan memasak  di rumah yang semakin digemari punya dampak baik ke ekosistem kuliner. Lihat saja negara-negara dengan lanskap kuliner yang gemilang seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan dan sebagainya. Memang restoran-restoran dan bisnis makanan berjaya di sana, tapi secara mendasar, mereka juga punya fondasi warga yang memasak di rumah dengan canggih. Semakin kita sering memasak, semakin kita tahu kualitas makanan yang baik itu seperti apa. Hal ini akan terbawa ketika kita nantinya bisa pergi keluar dan kembali ke restoran, kita akan memiliki pemahaman rasa yang lebih dari sebelum kita memasak di rumah. Kita akan lebih kritis dan tahu kualitas. Tentu ini akan membuat restoran harus bisa mengakomodir standar pelanggan mereka yang semakin tinggi.

Apapun itu manfaatnya, sepertinya Anda bisa mulai mempertimbangkan untuk kembali mengutak-atik dapur rumah, melihat ajaibnya ketika minyak menyatu dengan kuning telur menjadi mayonnaise yang seperti satin; atau terpana oleh lapisan rasa dari kuah rawon yang penuh dengan misteri.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Catatan Perjalanan

Next
Next

Atraksi Sebuah Martabak Telur