Catatan Perjalanan
Kevindra Soemantri kembali lagi ke Bali setelah terakhir kali mampir sebelum pandemi. Yang Ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri membuatnya gamang.
Perjalanan Menuju Ubud
Hati terenyuh saat saya melangkah menuju pintu keluar Bandara I Gusti Ngurah Rai. Tidak ada riuh bahasa mancanegara yang beradu. Tidak ada gemuruh suara langkah kaki yang berduet dengan suara koper digeret. Hanya suara batuk pekerja bandara yang sesekali terdengar, juga satu dua mobil yang menutup pintu penumpang. Sisanya, hanya hembusan angin yang leluasa bertiup di antara kolom-kolom ruang kosong bandara, mengingatkan saya dengan suasana mall saat baru jadi: Sepi, dingin, hanya tumpukan beton dan konstruksi tanpa jiwa. Ini bukanlah Bali yang kita semua kenal.
Apakah benar yang dikatakan orang? Bahwa keramaian Bali yang melegenda betul-betul hanya jadi legenda saja? Saya meminta Pak Parlen, driver saya, untuk membawa mobil menuju area Kerobokan, tepatnya jalan Mertanadi. Rasa lapar bercampur dengan sensasi aneh berada di tempat yang harusnya familiar namun sekarang asing. “Kalau bandaranya saja seperti ini, bagaimana dengan kotanya?” Dalam hati saya berpikir. Selama perjalanan menuju Kerobokan, saya berusaha memperhatikan tiap sudut jalan yang kami lewati. Memang seperti ada yang berbeda. Seperti ada energi yang hilang. Kami menuju ke sebuah café bernama Braud. Cafe berada mungil di sisi kanan jalan Mertanadi, persis di sebelah cabang iga babi Naughty Nuri's dari Ubud. Kemerungsung langsung sirna ketika aroma mentega khas croissant dan aneka pastry yang dipanggang menghantam wajah saat pintu mobil dibuka.
Dibandingkan dengan restoran dan kafe lifestyle lainnya, Braud Cafe sebetulnya pemain baru. Dan seperti Bali pada umumnya, sesuatu yang baru tentu menarik banyak perhatian hingga ke seberang samudra. Saya cukup terkejut saat duduk menunggu menu kimchi & cheese sandwich ketika melihat banyaknya tamu yang mampir ke cafe yang tak lebih dari seukuran rumah satu lantai dengan dua kamar. Motor dan mobil silih berganti menurun dan naikkan penumpang dari berbagai latar ras dan usia. Akhirnya sandwich mendatangi meja paling ujung, di pojok teras seakan saya ingin menjauh dari keramaian dunia. Entah siapa yang pertama kali tercetus kombinasi kimchi Korea dengan keju Swiss seperti emmental, santapan eklektik yang membuat kita berpikir ulang tentang konsep fusion, di mana fusion tak melulu mengenai Jepang dan Italia.
Yang terjadi di depan mata saya sama dengan yang diceritakan Pak Parlan di mobil tadi. "Kebanyakan turis Indonesia dan orang lokal mas yang ke Bali." Saat membayar di kasir, saya coba lihat ruang makan. Benar saja, hanya sepasang orang kulit putih aka bule. Sisanya orang Indonesia. Berbanding terbalik dengan Bali sebelum pandemi yang terkadang membuat saya disorientasi apakah wilayah Kuta Utara ini bagian dari Indonesia atau Australia. Karena jujur saja, terkadang ada perasaan minder yang timbul saat masuk ke restoran yang didaftar dengan pajak Indonesia, yang berdiri atas dasar hukum Indonesia, tapi justru terasa asing untuk orang Indonesia seperti saya.
Pak Parlan dan saya pun melanjutkan perjalanan. Tapi beda dengan tadi, saya sudah kenyang dan melihat kondisi yang berbeda dengan saat di bandara. Namun tetap saja, di hari Minggu pagi itu, sepanjang jalan, restoran, kafe dan toko-toko hanya melakukan dua hal: Menutup usaha (tulisan CLOSED terpampang), atau tetap buka dengan berbekal harapan serta ketidakpastian. Meluncur melalui jalan By Pass Ngurah Rai, melewati Jalan Danau Poso Sanur, saya perhatikan beberapa premis baru berdiri. Mulai dari kantor Hattan Wines yang sangat kontemporer dengan fasad kaca, hingga Grand Lucky Superstore. Di Bali sudah ada Pepito, Coco Supermarket, Bali Deli, Gelael, dan untuk apa ada Grand Lucky? Ini bukan SCBD Kan? Mobil melaju hingga menukik ke arah Batubulan.
Saya selalu senang dengan bagian depan UC Silver yang megah dengan berbagai macam ukiran tiap menuju Ubud. Namun alih-alih UC Silver, saya malah terkejut dengan sebuah jalan masuk besar dan modern perumahan baru bernama Vasaka yang terpampang megah di jalan utama Batubulan. "Memang perlu ya perumahan elit seperti ini di Bali?" Pikir saya sendiri sampai akhirnya sadar kalau UC Silver sudah kelewat di belakang.
Perlahan suasana di kiri kanan berubah. Tak lagi pertokoan, namun gapura pintu masuk ke rumah penduduk lokal, banjar, hingga petak-petak sawah yang masih hijau dan muda.
"Gak menentu musim panen padi kalau di daerah sini. Biasanya mengikuti aturan subak." Cetus Pak Parlen. Sepertinya dia memperhatikan saya dari spion mobil. Melihat tamu yang dijemputnya ini yang menatap dengan kosong persawahan di perjalanan menuju Ubud. Ia tidak tahu, pikiran tamu yang duduk di belakangnya sedang tak berada bersamanya. Karena tamu itu – saya – masih tak bisa terima dengan Bali yang sekarang. Kami akhirnya melewati beberapa studio seni kecil di sepanjang jalan. Pertanda Ubud sudah dekat. Kami melewati Gaya Gelato yang tersohor. Namun Ia kosong seakan tak ada manusia di dalamnya. Di mana orang-orang yang selalu keluar masuk mencari kelegaan dari mengkulum gelato dan sorbet yang segar? Di mana para bule dan turis dengan topi anyamannya? Saya tidak melihat satu pun manusia dengan cup putih bergaris toska di tangannya.
Tidak lama kemudian mobil kami melalui Jalan Campuhan. Mozaic, Room 4 Dessert, dua dari hanya sedikit restoran yang memetakan dining scene Indonesia ke skala internasional kami lewati. Naughty Nuri’s dengan iganya yang melegenda sudah berada di belakang. Pak Parlan mengarahkan mobil ke perempatan Puri Ubud, di situ lah saya kembali dihadapkan dengan kenyataan. Perempatan yang selalu penuh dengan turis mancanegara yang berfoto, duduk di pinggir jalan, riuh jalan kaki, membawa tentengan segala macam dari Pasar Seni, tidak ada. Melihat ramai manusia bersantai di pinggir kafe sambil memandangi jalan juga seperti hanya mimpi di masa lalu. Tak perlu waktu lama untuk perasaan yang sama yang menghentak saat berada di bandara beberapa waktu lalu untuk muncul kembali. Saya tahu, hanya makanan yang bisa mengobatinya. Pak Parlan saya ajak untuk mutar kembali ke Jalan Suweta. “Mau makan lagi mas? Ibu Oka?” Tanyanya dengan penuh keyakinan.
“Bukan.” Saya juga yakin menjawabnya. “Ada setelahnya, dekat lahan parkir.”
“Oh,” Pak Parlan mengangguk dengan mantap, sepertinya Ia juga tahu yang saya maksud. “Gung Cung ya?”
“Benar.” Respon saya cepat.
Mobil kami memutari kembali pusat kota Ubud, dari Jalan Hanoman menuju Jalan Monkey Forest. Hal ini berarti saya kembali diperlihatkan lagi kondisi Ubud saat ini. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan suasana sendu yang sepertinya menyelimuti kota kecil penuh pesona ini. Tapi walau langit kelabu, selalu saja ada senyum yang memantik harapan dan semangat, seperti yang ditampilkan oleh mbok-mbok di balik etalase kaca Warung Gung Cung. Mereka berempat: Satu mengurusi kasir di belakang, dan tiga sibuk membuat pesanan. Yang satu mengambil lawar dan memasukkan di dalam pincuk besar nasi putih; yang satu memotek-motek kulit babi panggang yang berbunyi renyah; yang satu menyelesaikan pesanan dengan menyiram kuah oranye kemerahan yang semerbak rempah – makanan yang dibaptis dengan kelezatan. Wajah mereka seakan tak mengenal lelah, melayani pembeli makan siang yang sudah berdiri di pinggir jalan dengan sigap.
Saya ingat betul kapan pertama kali melahap Gung Cung. Yaitu di tahun 2018 lalu, di sebuah masa ketika pandemi global bagi masyarakat awam hanya sebatas katalis masalah dalam film science fiction atau horor apocalyptic. Saat itu saya berlibur sejenak di Ubud, jauh dari pekerjaan kantor yang berurusan dengan aplikasi dan data analisis. Ubud di kala itu masih ramai, masa penuh dengan gairah para turis yang antusias jalan kaki sejak matahari baru mengintip di balik ufuk langit. Misi saya saat itu sederhana: Mencari warung nasi campur selain Ibu Oka. Ibu Oka memang ikonik, porsinya besar dan loyal. Ia juga lebih nyaman dinikmati para turis yang belum terbiasa dengan bumbu Bali yang agresif. Saya sempat mendatangi Warung Pande Egi, letaknya sekitar 10 kilometer dari Ubud dan berada di tengah-tengah persawahan di Gianyar. Warung Pande Egi mengesankan, karena bukan cuma kualitas nasi campur, lawar, dan babi gulingnya yang luar biasa, tapi juga cukup kasual. Hari berikutnya saya tentu ke Warung Teges, yang penuh dengan warga lokal. Cita rasa yang sungguh memuaskan lidah saya yang senang dominasi rempah yang saling beradu. Di hari teakhir, saya berkeliling dengan motor, melewati jalan-jalan macet seperti Dewisita dengan barisan restoran milik grup Locavore yaitu Nusantara, Local Parts, Locavore to Go dan Locavore itu sendiri. Harus diam dan menunggu rombongan turis lalu lalang layaknya perempatan Shibuya yang dipadatkan di tengah Ubud juga pemandangan umum sebelum pandemi menyerang. Saat melewati Ibu Oka lah saya kemudian melihat banyak warga lokal memarkirkan motornya di depan sebuah warung kecil dengan papan nama biru bertuliskan “Gung Cung”. Tips untuk yang suka traveling: Selalu percaya dengan kerumunan warga lokal bila ingin cari makanan otentik lezat. Semenjak saat itu, Gung Cung selalu jadi pilihan bila berkunjung ke Ubud.
Namun itulah keseruan di tahun 2018. Gung Cung tetap memuaskan. Hanya saja kondisi perjalanan menujunya sudah berbeda drastis, tak lagi melewati keramaian seperti dulu. Saya mendengar beberapa orang yang sudah tinggal lama di Ubud, kondisi ini mengingatkan dengan Ubud sebelum era pariwisata meledak. Mereka suka kesunyian ini. Tapi ini tak berjalan parallel dengan pertumbuhan ekonomi yang sudah berakar dari pariwisata. Melihat fasad-fasad restoran yang ditutup dengan kain hitam dan tikar seakan Ubud sedang berkabung masal. Saya dan Pak Parlan hampir sampai ke hotel tempat saya menginap. Adiwana, mudah mencarinya. Tepat di bagian belakang restoran Waterscress Ubud yang juga populer beberapa tahun lalu karena menu brunch mereka. Mendekati hotel, saya sudah membayangkan akan bekerja di depan laptop, dengan salad di pinggirnya atau segala macam sandwich. Terdengar menyenangkan bukan?
200 meter, 100 meter, 50 meter, Pak Parlan berhenti. Adiwana dan Tejas Spa, itulah tulisan yang dipatri di dinding kapur. Waterscress persis di depannya. “Ini bukan Watercress yang saya kenal”. Di lantai atas, kursi kursi kayu diletakkan terbalik di atas meja. Di lantai bawah, etalase yang dulunya penuh dengan aneka kue hanya tersisa kehampaan saja, berbarengan dengan meja dan kursi yang masih dalam posisi normal namun tidak ada kehadiran manusia. Hampir satu menit saya menatapi kondisi restoran Watercress, sembari menunggu Pak Parlan memindahkan koper saya ke lobi hotel. Ingatan akan ruang makan restoran yang penuh kehidupan dan manusia-manusia lapar yang pergi dengan wajah bahagia seperti hantu dari masa lalu. Ubud memang punya posisi spesial di hidup saya. Di kota inilah pertama kali saya memutuskan untuk mendalami dunia makanan – yaitu setelah menikmati rentenan masakan kontemporer gaya Perancis dengan bahan baku Indonesia di Mozaic. Di sinilah sang maestro, Bondan Winarno, berkata kepada saya sebuah kalimat yang mengubah jalur karir saya hingga saat ini, “Kalau semua memasak, siapa yang bakal bercerita tentang masakan?” Ucap almarhum saat peluncurkan bukunya di restoran Il Giardino.
“Mas, sudah semua ya.” Ujar Pak Parlan diiringi suara bagasi mobil yang ditutup. Suara yang kembali menyadarkan saya yang sedang gamang. Inilah kondisi restoran Watercress sekarang, kondisi yang merefleksikan hampir semua bisnis restoran yang ada di pulau Bali. Saya pun berterima kasih kepada Pak Parlan karena sudah diantar sampai ke Ubud. Kami berpisah, Pak Parlan kembali lagi ke Denpasar, sementara saya sudah tidak tahan ingin tidur dan berharap semua ini cuma mimpi buruk saja. Ubud, semoga engkau cepat pulih.
Perjalanan Pulang dari Ubud
Tidak terasa sudah hari Rabu, hari di mana saya harus kembali ke Jakarta. Tidak seperti saat saya datang, pagi ini cerah. Saya sedih harus melangkahkan kaki keluar kamar. Rupanya menurut Mbak Ratna, petugas front office hotel di hotel tempat saya tinggal, saya adalah tamu terakhir yang check out. Artinya setelah saya pulang, tidak ada lagi tamu. “Ya bapak tamu terakhir, sepi deh.” Ujar Mbak Ratna berdiri di belakang meja. Entah mengapa kata-katanya sangat menusuk, penuh dengan arti, seakan melepas kepergian saudara jauh yang sudah singgah. Selama empat hari saya di Ubud memang campur aduk rasanya. Restoran-restoran rupanya banyak yang tidak tentu jam buka. Ada yang memilih untuk tutup, ada pula yang beradaptasi dengan hanya buka setengah minggu. Ada pula yang buka hanya di akhir minggu.
Saya tentu menyempatkan diri untuk jalan kaki keliling sambil mencari makan. Udara Ubud selama saya tinggal cukup dingin dan berangin. Saya mampir ke jalan Arjuna yang mungil, melewati tembok-tembok bata tradisional Bali. Di situ ada Ayam Betutu Pak Sanur yang cukup terkenal. Seperti rumah makan nasi ayam yang berada di Jalan Kadewatan, Pak Sanur juga berada di pekarangan rumahnya. Saya seperti bertamu rasanya, apalagi ketika di depan meja saya adalah teras rumah di mana salah satu anggota keluarga sedang mengenakan seragam SMP. Saya manggut-manggut, kebiasaan yang selalu saya lakukan kalau berpapasan dengan keluarga teman di rumahnya.
Sepiring Ayam Betutu Pak Sanur sungguh mengenyangkan. Nasi putih yang sedikit pera, dibanjur dengan kuah betutu yang juga tidak banyak, tapi di atasnya kulit ayam yang sudah menguning gelap dan berkilauan sangat meggoda, dengan bongkahan daging dada yang besar dan gempal. Saya juga sempat mampir ke Takies, sebuah kafe yang fokus menjual segala macam produk dari kelapa, mulai dari es krim, keripik, hingga kue. Di café yang dapat menampung lebih dari 30 orang, saya hanya satu-satunya pelanggan. Sang penjaga – masih muda – terlihat sigap dan membersihkan meja-meja walau tak ada tamu, seakan tiap meja dan kursi menunggu untuk menusia datang lagi. Es krim kelapanya sungguh menawan, mirip dengan es puter namun lebih tidak terlalu manis, diberi keripik kelapa dan gula kelapa yang keduanya renyah dengan dwitekstur.
Malam terakhir di Ubud saya tutup dengan bersantap di Mozaic, restoran yang memetakan Ubud sebagai destinasi dining internasional. Di Mozaic, Chris Salans tetap berhasil membuat saya pulang dengan penuh kesan. Saya menyantap six courses menu, semua dimasak secara tepat, dibarengi dengan anggur dari Portugal hingga Chile – menawan. Namun tetap menyayat hati saat tahu bahwa saya dan satu rekan sayalah yang jadi tamu di malam itu. Meja yang lain kosong. Membuat saya berpikir bagaimana bisa para pemilik restoran di Bali bertahan selama hampir dua tahun dalam kondisi yang seperti ini? Apa yang ada di benak mereka? Berapa banyak uang yang telah keluar untuk mempertahankan bisnis? Sudah berapa banyak staf yang mungkin dipecat? Apakah mereka masih mempunyai dana tabungan? Sudah berapa kali air mata menetes? Sungguh sebuah masa yang tidak pantas untuk dilewati lagi oleh umat manusia.
Mobil saya melewati Jalan Hanoman, Jalan Pengosekan, hingga akhirnya keluar dari pusat Ubud. Pak Ketut Dana yang hari ini mengantar saya, teman dari Pak Parlan. Pak Parlan tidak bisa menjemput karena ada urusan keluarga. Namun Pak Ketut Dana juga tak kalah ramah, seperti paman di desa yang menjemput keponakannya, penuh kehangatan.
“Saya mau mampir ke Canggu dulu ya pak.” Ujar saya.
“Baik Mas. Rame itu, punya komunitasnya sendiri di sana.”
“Iya, penasaran. Saya seumur-umur belum pernah ke Canggu.” Sebuah pengakuan yang kesannya penuh aib bagi anak Jakarta. Tapi saya tidak peduli. Pantai sejak dulu memang bukan favorit saya. Saya juga bukan the it kid, istilah yang menggambarkan anak-anak gaul. Jadi memang Canggu sepertinya bukanlah habitat saya. Saya hanya datang untuk satu alasan: Makanan.
Menuju Canggu, kami melewati kantor pemerintah Badung. Besar sekali. Istana Negara saja gerbang masuknya tidak sebesar ini. Tapi maklum lah, Badung sendiri di dalamnya mempunyai wilayah pariwisata mulai dari Kuta, Legian, Seminyak, Nusa Dua hingga Jimbaran. Tak lama, mobil yang kami kendarai jadi pelan. Kecepatan dikurangi. Rupanya sudah mulai banyak motor dan mobil yang berlalu lalang. Saya perhatikan kiri kanan, restoran dan café terlihat lebih hidup. Setidaknya ada minimal tiga batang hidung sedang makan dan minum di tiap tempat itu.
“Ini mulai masuk Canggu mas.” Kata Pak Ketut.
Canggu, di sinikah saya? Di tempat di mana pangeran dan puteri Jakarta melepas penat saat pandemi di salah satu villa yang tersembunyi di belakang jalan? Tidak heran Canggu jadi tempat singgah anak-anak urban Jakarta bila ke Bali. Di sepanjang jalan ini, dari Pantai Batu Bolong hingga Finns yang eksklusif, café-café trendi berjejer menunggu siapa yang bakal masuk dominasinya. Dari kacamata saya, sekilas Canggu adalah saudara kembar dari Kemang Timur di Jakarta. Ada energi yang sama yang dipancarkan. Energi yang sepertinya menyaring hanya mereka yang dianggap pantas untuk menikmati area ini.
Restoran tujuan saya adalah sebuah restoran kecil bernama Sensorium. Restoran ini banyak saya dengar karena reputasi makanannya. “Tapi jangan expect tempat yang wow ya.” Terang salah satu teman saya soal restoran ini. Saya baru paham maksudnya. Sensorium memang kasual sekali dekornya, tidak neko-neko. Yang paling saya suka adalah dipajangnya foto-foto tamu di sini secara tidak norak, sehingga tetap menjaga nuansa kasualitas ruang makan tanpa terasa narsisistik. Modern Australasian cuisine namanya, yang saya rasa nama lain dari hidangan fusion dan eklektik. Fusion terdengar old school, eklektik terasa New Age, Modern Australasian sepertinya lebih tepat. Saya menyantap tiga hidangan: Jagung bakar yang diberi keju raclette dan jeruk yang dipanggang; lalu inspirasi dari okonomiyaki yang saat disantap justru memantik memori akan cita rasa Meksiko atau Nikkei; serta dessert yang saat saya berkunjung adalah coconut, pandan pannacotta dengan buah lychee serta granita yang kecut – balans.
Saya senang melihat di kondisi seperti ini, Sensorium masih bisa beroperasi – dengan tim dapur yang cukup banyak – dan dikunjungi oleh banyak tamu pula sebelum dan setelah saya. Tapi harus saya akui, banyak tamu itulah yang mendorong saya untuk menyelesaikan makanan dengan cepat dan langsung keluar. Kondisi Covid memang mengubah pola dan cara kita menikmati makanan di restoran ya. Setidaknya selama kondisi masih belum kondusif, mungkin saya akan terus seperti ini. Menjadi “parno” saat makan di restoran. Kalau meminjam kata ibu saya, “Masih bagus ada alarmnya, yaitu parno. Coba kalau tidak ada. Ibarat mobil yang tidak mempunyai klakson akhirnya orang lain jadi korban ditabrak.” Setidaknya rasa parno ini bisa menyelamatkan saya dan orang lain hingga situasi perlahan normal.
Dalam perjalanan menuju bandara, Pak Ketut sengaja membawa saya melewati seluruh Canggu. Saya heran area ini masih sangat hidup bila dibandingkan dengan Ubud yang sendu keadaannya. Café del Mar dengan gerbangnya yang megah seakan ini adalah kuil suci para pencinta pesta ala Ibiza; Finns yang sepertinya memonopoli area ini; Tamora apartment dan Tamora Square dengan desain kontemporernya di dekat persawahan; hingga adanya Montessori School Bali. Apakah Canggu menganut prinsip plutokrasi? Saya tidak punya banyak waktu untuk memikirkannya, karena mobil yang saya laju sekarang telah memasuki area yang lebih familiar dengan saya, yaitu Petitinget. Petitinget tidak seramai Canggu, namun napas kehidupan masih terlihat sesekali. Metis Restaurant dan Gallery, Si Jin Steakhouse, Potato Head, semoga kalian baik-baik saja.
“Mau coba lewatin Seminyak dan Legian?” Tanyanya sembari memelankan kendaraan.
Sekali lagi saya gamang.
“Hmm, boleh Pak. Sekalian saja.”
Saya mempersiapkan diri untuk apa yang nantinya saya lihat. Memasuki Jalan Seminyak yang lebih rimbun, suasana sudah berbeda jauh. Toko-toko mulai terlihat ditutup atau pun dijual. FOR RENT, FOR RENT, FOR RENT berderet di dinding pertokoan yang sudah terbengkalai itu. Hari gini siapa pula yang ingin menyewa toko? Pak Ketut melaju mobil. Made’s Warung yang ikonik masih tetap buka, namun sepi sekali, begitu pula galeri seni Reservoart yang membuka pintu tanpa ada tamu yang masuk. Memasuki Jalan Seminyak yang berbatasan dengan Legian, di sinilah titik yang membuat dada saya sesak dan tidak nyaman. Sejauh mata memandang, hanya toko-toko yang ditutup dengan pintu geret besi saja yang kelihatan. Ada pun yang buka hanya minimarket, warung makan dan apotik. Sisanya seperti kota mati, seperti adegan dalam sebuah film post-apocalyptic. Saya bohong bila berkata bulu kuduk tidak berdiri. Monumen bom Bali juga hening diam. Tidak ada lagi gemuruh music dari kiri dan kanan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kawasan ini di kala malam.
“Ini lebih parah dari Ubud.” Ujar saya sambil menghela napas.
“Banyak dari teman-teman yang tadinya kerja di sini pada pulang kampung Mas, bercocok tanam dah.” Terang Pak Ketut.
Bagaimana mungkin belum sampai tiga puluh menit sebelumnya suasana masih hidup dan cerah, dalam sekejap berubah jadi kelam dan gelap. Keinginan saya untuk sebelumnya mencari nasi campur pun sirna. Saya bahkan lupa kalau sebetulnya saya masih ingin mampir ke pastry shop Kanvaz Patisserie by Vincent Nigita. Keluar dari area Legian, Pak Ketut bertanya.
“Ke mana sekarang mas?”
Mencoba berpikir. Saya akhirnya berkata, “Ke bandara langsung saja pak. Sudah selesai perjalanannya di Bali.”