Atraksi Sebuah Martabak Telur

Memori perjumpaan pertama seorang Faldy Pamungkas dengan martabak telur di masa kecil layaknya sebuah pengalaman magis.

Martabak telur adalah salah satu makanan dari wilayah Timur Tengah yang diadopsi oleh Indonesia. | Foto oleh Setyaki Ilham/Unsplash.

Martabak telur adalah salah satu makanan dari wilayah Timur Tengah yang diadopsi oleh Indonesia. | Foto oleh Setyaki Ilham/Unsplash.

Hiburan menjadi komponen paling dicari selepas berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk, perdebatan sengit di awal bulan dengan induk semang terkait sewa kontrakan, hingga komunikasi dengan dosen pembimbing yang kerap bertepuk sebelah tangan layaknya sosok protagonis dalam lagu Pupus oleh grup band Dewa. Berbagai macam hiburan di abad ke-21 ini memungkinkan untuk dilakukan secara individu atau kolektif, seperti mendengarkan musik melalui aplikasi berbayar, menonton konser musik bersama orang-orang terkasih, atau menyaksikan koki yang sedang menyajikan sebuah hidangan dalam konsep open kitchen.

Konsep open kitchen tentunya telah malang melintang di penjuru kota, dari mulai sebuah gerobak nasi goreng yang memasak hidangannya di pojok gang, hingga restoran Jepang yang berdiri di pusat perbelanjaan besar. Antre hingga selesainya udon dihidangkan, sambil melihat dibalik kaca bagaimana udon-udon tersebut dicelupkan ke dalam wadah berisi air-air mendidih, lalu proses menggoreng berbagai gorengan ala Jepang seperti ebi furai dan ebi katsu mengundang decak kagum, ditambah lagi gesitnya para juru masak meliuk-meliuk dalam dapur sehingga tidak bertabrakan satu sama lain. Begitu pula saat seorang koki mengolah sebuah sushi dengan tenang dan lihai tangannya, mampu membentuk sekepal nasi dengan potongan tuna atau salmon segar begitu menggembirakan saat disaksikan maupun dilahap. Rasa ini juga tidak kalah nikmat saat menyaksikan penjual angkringan ditemaramnya malam, memasak sebungkus mie instan dengan tambahan sebutir telur yang direbus setengah matang sambil menceritakan indahnya keluh kesah persoalan hidup. Makanan yang diusung dengan konsep open kitchen telah menjadi hiburan favorit saya sedari kecil. Bermain sepak bola di sore hari hingga adzan maghrib berkumandang hingga menonton rentetan kartun di Minggu pagi menjadi kegemaran umum yang saya gemari dan juga teman-teman pada masa itu.  Kegemaran saya lalu bertambah dan begitu spesial saat saya mulai mengenal sebuah makanan yang disebut martabak telur.

Sosok yang paling berpengaruh dalam perjumpaan pertama saya dengan sebuah martabak telur ialah Ibu. Kala itu Ibu masih bekerja sebagai pegawai negeri sipil di daerah Tanjung Priok, dengan porsi tugas yang cukup banyak di kantor menghasilkan meja makan kerap masih berupa sebuah nasi satu bakul tanpa ada lauk pauk dan sayur mayur saat malam menjelang. Alternatif untuk menanggulangi rasa lapar ialah membeli satu porsi martabak telur di pengkolan jalan. Saya di usia sekecil itu tentu hanya tahu kalau telur cuma dapat diolah menjadi telur dadar atau ceplok, sehingga kata “martabak” di depan kata “telur” begitu asing. Pergilah saya dan Ibu ke tempat penjual martabak telur langganan di pengkolan jalan.

Gerobak penjual martabak telur itu lebih besar dari gerobak bakso atau mie ayam yang kerap hilir mudik di komplek perumahan tempat saya tinggal. Telur-telur yang dijajakan di etalase gerobak tidak seperti telur pada umumnya yang sering saya lihat: Yakni berwarna hijau pucat alih-alih kecoklatan. Wajan yang begitu besar pun semakin mengernyitkan dahi, lalu timbul rasa penasaran: Makanan apa yang akan saya makan? Semuanya begitu asing. Bahkan saya sampai merengek untuk membeli makanan lain yang lebih normal bagi seorang anak kecil, seperti ayam goreng, mie goreng, atau sate. Ibu saya menolak mentah-mentah karena memang bahan-bahan dari martabak itu telah disiapkan. Penjual martabak telur hanya tertawa mungkin karena melihat keluguan saya yang belum paham akan keajaiban yang justru akan membuat saya terpesona hingga saya beranjak dewasa.

Empat buah telur pun dipecahkan dan dimasukkan pada sebuah gelas, lalu diikuti oleh potongan-potongan daun bawang serta irisan daging yang menyusul keempat telur tersebut. Telur, daun bawang, serta irisan daging itu diaduk dengan begitu cepatnya oleh sang penjual martabak telur. Saat adonan kulit dari martabak mulai dibanting ke meja dan diputar-putar hingga semakin melebar, disaat itulah makanan ini begitu spesial dibenak saya karena proses memasaknya yang tidak umum. Saya terus saja berdiri disamping penjual martabak telur karena ingin melihat lebih dekat proses memasaknya, meskipun sesekali Ibu selalu menarik saya ke tempat duduk agar tidak mengganggu sang penjual martabak dalam memasak. Namun, tekad dan usaha saya yang menggebu-gebu untuk menyaksikan sebuah mahakarya ini membuat lelah Ibu saya hingga membiarkan saya berdiri kembali di samping penjual martabak telur.

Adonan yang telah melebar serta hasil adukan telur dan daun bawang akhirnya dituangkan pada wajan yang begitu besar, dengan adonan terlebih dahulu diletakkan secara perlahan, lalu hasil adukan tersebut berada diatas adonan tersebut. Saya melihat adonan di wajan tersebut dengan khidmat, saat penjual martabak telur tersebut melipat adonan tersebut menjadi berbentuk persegi, dan menyiram-nyiramkan minyak yang berada di sekeliling adonan. Perasaan gembira saat menyaksikan acara di televisi yang mengusung pengalaman tiga dimensi dengan kacamata lensa biru dan merahnya kalah dengan perasaan gembira melihat lahirnya martabak telur. Hal yang sangat membuat saya takjub di kala adonan dan isian martabak telur tersebut terus mengembang hingga menjadi persegi yang begitu besar. Saya hanya diam seribu bahasa, melihat sebuah momen yang belum pernah saya alami secara langsung dalam menyaksikan sebuah proses pembuatan makanan, mungkin juga sedikit melongo.

Martabak telur yang kini berubah menjadi layaknya raksasa dipindahkan ke sebuah nampan dan penjual martabak telah siap dengan pisau besarnya. Bunyi kres, kres, kres saat martabak telur dipotong begitu syahdu di gendang telinga bocah ini. Saya melihat sebuah paduan warna hijau dan putih yang menyeruak saat telah berupa potongan-potongan persegi kecil. Warna yang begitu indah ditambah aroma yang begitu harum saat mampir sebentar ke hidung sebelum akhirnya ditutup dengan kotak makan selamat menikmati.

Sejak saat itu saya tidak pernah melewatkan momen penjual martabak telur saat memasak martabak telur. Jika orang-orang pada umumnya berkeluh kesah apabila banyak pembeli yang memboyong martabak telur, justru saya begitu gembira karena dapat menyaksikan sebuah pertunjukan open kitchen yang tiada duanya, setidaknya bagi diri saya sendiri. 

Faldy Pamungkas

Pemerhati band Genesis baik era Peter Gabriel maupun Phil Collins. Tangguh seperti Rocky Balboa serta banyak akal layaknya MacGyver.

https://obserfaldy.medium.com/
Previous
Previous

The Joy of Cooking

Next
Next

Pasta dan Karantina