Ingin Kuliner Indonesia Maju?Perbanyak dan Hargai Para Intelektual Kuliner

Memajukan kuliner Indonesia tidak sama dengan memperkenalkan kuliner Indonesia. Banyak perubahan fundamental yang hanya bisa dicapai dengan kehadiran para intelektual kuliner negeri ini.

Keluarga Winarno adalah tiga generasi ilmuan pangan dengan fokus mendalami tempe.| Foto oleh Keluarga Winarno.

Sudah bertahun-tahun lamanya narasi ‘Majukan Kuliner Indonesia’ digaung-gaungkan oleh entah itu organisasi kuliner sampai kalangan kementerian Republik Indonesia. Tapi semakin ke sini saya jadi bertanya-tanya, “Mereka paham tidak sih apa yang mereka katakan?”

Pertama, ketika kita bilang majukan kuliner Indonesia, pasti yang dimaksud adalah majukan hidangan Indonesia. Tapi sadarkah kita kalau sebuah hidangan sebetulnya hanyalah output dari proses berantai yang panjang? Saat berorasi majukan kuliner, apa yang dipikirkan hanyalah majukan sepiring soto atau sepiring rendang? Memang tidak salah bila hal itu dilakukan, apalagi dengan strategi yang sekarang lagi seksi disebut sebagai gastrodiplomacy. Memperkenalkan masakan Indonesia ke dunia internasional dan masyarakat global yang lebih luas. Tapi, barusan saya sebut kata kuncinya ‘memperkenalkan’. Memperkenalkan tidak sama dengan memajukan. Memperkenalkan tak berarti kuliner dalam negeri ikut maju. Memperkenalkan dan memajukan punya dua bobot yang berbeda, di mana memajukan lebih kompleks dari yang kita bayangkan.

Tapi, sebetulnya tidak akan terlalu kompleks, bila pemerintah dan masyarakat sama-sama sadar bahwa ada sosok-sosok yang punya fungsi fundamental dalam memajukan kuliner di mana pun di dunia. Mereka adalah yang saya sebut sebagai para intelektual kuliner. Para intelektual kuliner merupakan sosok-sosok yang memiliki latar akademis dan saintifik dengan fokus ilmu pangan, seni kuliner, hingga gastronomi. Mereka lebih banyak bekerja di balik layar, dengan peran mulai dari melakukan penelitian tentang potensi bahan baku, hingga menggali kisah di balik budaya makan. Yang para intelektual kuliner ini lakukan pada akhirnya membantu kita untuk lebih mengenal identitas warisan rasa negeri, serta memberi ruang untuk perkembangan inovasi kuliner. Siapa saja mereka? Mulai dari ilmuan pangan, antropolog pangan, jurnalis makanan, akademisi gastronomi, hingga pengajar ilmu kuliner. Sosok-sosok inilah yang punya pengaruh di balik layar untuk memperkaya masyarakat terhadap paham-paham kuliner yang benar, berdasarkan fakta, dan terstruktur.

Kita ambil contoh dari negara tetangga Singapura. Kita mungkin melihat kuliner Singapura saat ini sangat maju, bahkan salah satu paling dikenal di dunia. Kita tidak usahlah berdebat soal Singapura sebetulnya punya budaya kuliner asli atau tidak. Yang mereka telah berhasil lakukan – dan sayangnya kita belum – adalah memperbanyak dan memakmurkan intelektual kulinernya, sehingga dampak itu terasa ke permukaan. Ada dua contoh yang ingin saya sampaikan dari Singapura. Yang pertama, bagaimana mereka memahami pentingnya sertifikasi dan sisi akademik dari ilmu kuliner. Pemerintah Singapura melalui SkillsFutureSingapore, bersama dengan beberapa asosiasi kuliner dan sekolah kuliner dalam negeri mereka, menyusun sebuah kurikulum pelatihan yang riil bagi pelaku makanan dan minuman dalam negeri. Mereka juga mempermudah dibukanya sekolah-sekolah kuliner berstandar internasional di sana, bahkan memberikan grant untuk pendanaan awal. Hal ini mendorong lahirnya bakat-bakat kuliner baru yang memang kuat secara ilmu akademis. Lalu yang kedua, melalui National Heritage Board (NHB), Singapura memberikan dana hibah skala kecil dan besar untuk pelaku budaya mereka, salah satunya kuliner. Dana hibah hingga satu milyar rupiah itu diberikan pada intelektual kuliner seperti jurnalis hingga antropolog pangan bila mereka ingin menerbitkan buku hingga melakukan penelitian tentang sejarah kuliner Singapura. Alhasil, buku seperti Delicious Heirlooms 1 & 2 yang diterbitkan oleh Strait Times Publication berhasil diluncurkan. Tujuan buku tersebut sederhana saja, yaitu mendokumentasi pelaku hawkers paling tua di Singapura yang mungkin saja bisa hilang dalam beberapa waktu ke depan. Ada pula buku The Way of Kueh (Epigram,2020) yang juga memperoleh dukungan dari NHB. Buku yang ditulis oleh Christopher Tan ini didukung atas misinya mengumpulkan resep kue-kue Peranakan yang menjadi budaya kuliner Singapura yang sudah hampir terlupakan.

Selain Singapura ada Amerika Serikat yang mengerti betul kalau ingin memajukan kuliner di negerinya, maka harus banyak didirikan sekolah kuliner atau universitas dengan materi ilmu gastronomi. Keinginan inilah yang mendorong ekspansi kampus Culinary Institute of America dilakukan, hingga membuka sekolah Food Business School di bawahnya. New York University, Boston University, dan beberapa kampus bergengsi lain membuka mata kuliah food studies yang di dalamnya mempelajari antropologi pangan, sejarah kuliner, sampai gastronomi. Hasilnya, banyak talenta-talenta di Amerika Serikat yang maju dalam hal intelektual kuliner, sehingga berdampak ke banyak industri, termasuk industri populer. Mulai dari penerbitan buku-buku kuliner berbasis ilmu sosial pangan, saintifik pangan, sampai acara-acara dokumenter televisi – bahkan di NETFLIX – yang bertema sejarah dan kisah kuliner. Hal ini bisa dilakukan karena negara itu tak kekurangan kaum intelektual kulinernya.

Begitu pula yang dilakukan oleh Jepang dalam hal ilmu pangan. Untuk memajukan kuliner dan pangan mereka, Jepang sadar bahwa fundamental ada di persimpangan antara agrikultur dan sains. Rencana pemerintah Jepang untuk menjadikan Jepang sebagai salah satu kekuatan pangan global berbasis teknologi di mana depan, mendorong berdirinya banyak perusahaan-perusahaan dan organisasi yang berfokus pada food science. Dampaknya adalah, terbukanya lapangan kerja bagi anak-anak lulusan ilmu pangan untuk memaksimalkan karir mereka memajukan kuliner negerinya dari sisi sains. Hal ini juga dilakukan – kembali lagi – oleh Singapura. Negeri Singa itu menjadi lahan subur bagi para pengusaha maupun ilmuan pangan muda, dikarenakan food technology menjadi salah satu incaran pemerintah untuk positioning Singapura. Hal ini dibuktikan ketika tahun 2021 lalu, negara itu mengadakan Singapore International Agri-Food Week, sebuah konferensi agrikultur berbasis teknologi pangan terbesar di Asia Tenggara. Di dalam satu minggu penuh itu, terdapat tiga acara besar, yaitu Asia-Pacific Agri-Innovation Summit, Agri-Food Tech Expo, dan Global Agri-Food Scientific Symposium. Dalam acara besar ini, para pemikir, ilmuan pangan, chef, sampai pelaku bisnis kuliner dapat saling bertukar ide hingga melakukan kolaborasi.

Anda mulai melihat sebuah pola di sini bukan? Bahwa negara-negara dengan kuliner yang maju tidak hanya menghargai dan memajukan kaum intelektual kuliner yang berbasis budaya, sosial, dan sejarah makanan, mereka juga memajukan kaum intelektual kuliner berbasis inovasi dan masa depan. Para kaum intelektual kuliner inilah yang bisa memajukan gastronomi Indonesia melalui karya-karya mereka seperti kolaborasi dengan pelaku usaha kuliner, paten inovasi pangan, rencana kerja strategis bersama antar lembaga, publikasi kuliner berbasis riset dan data, hingga kegiatan-kegiatan pelestarian budaya kuliner. Pada akhirnya, pertanyaan kita kembali kepada: sejauh ini, bagaimana masyarakat dan juga pemerintah melihat posisi kaum intelektual kuliner di Indonesia? Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan agar negeri ini bisa jadi lahan subur untuk para ilmuan pangan, antropolog pangan, jurnalis kuliner, ahli gastronomi dan lainnya. Pekerjaan itu bisa dimulai dari kita, dengan lebih menaruh perhatian pada mereka yang memang bekerja dan berpikir untuk memajukan gastronomi negeri ini, tidak hanya memperkenalkannya.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Bandung: Menuju Kota Destinasi Dining Terdepan

Next
Next

Salzbrezeln, Kehangatan dalam Sepotong Pretzel di Bali