Bandung: Menuju Kota Destinasi Dining Terdepan

Setelah beberapa kali pergi pulang ke Bandung, Kevindra Soemantri melihat satu hal yang tak dapat dipandang sebelah mata, yaitu pergerakan Bandung menjadi salah satu kota destinasi dining utama Indonesia.

Hummingbird, salah satu restoran populer di Bandung yang berdiri sejak 2010-an.

Sudah lebih dari dua puluh tahun Bali dianggap sebagai destinasi gastronomi Indonesia yang lengkap. Mulai dari lanskap restoran kelas atas yang didorong oleh chef berskala Michelin; variasi restoran modern dari berbagai penjuru dunia; hingga masakan tradisional yang menawan, lengkap dengan pasar, perkebunan, hingga pelaku food artisan di pulau itu. Setelah itu, Jakarta menyalip. Tentu kota Jakarta punya dua kekuatan besar yang tak dimiliki Bali: daya beli yang luar biasa besar, serta jumlah penduduk. Bali dan Jakarta pun selalu dilihat sebagai tolak ukur industri, dengan pergerakan bisnis restoran dan kuliner yang seakan tidak pernah berhenti dan selalu menemukan sesuatu yang baru.

Namun dalam perkerjaan saya kemarin harus pergi pulang Bandung-Jakarta, saya mendapati satu fakta yang tak bisa saya bantah. Fakta yang di mana kacamata professional saya melihat dengan begitu nyata segala tanda-tanda yang tampak di depan mata, yaitu tanda-tanda bahwa sesuatu yang menarik sedang terjadi pada dunia restoran kota Bandung. Ada banyak potensi katalis yang dimiliki kawasan ini yang hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak, mengakselerasi Bandung destinasi gastronomi tak hanya regional tapi mungkin saja internasional. Berikut ini, adalah katalis-katalis yang dimiliki oleh Bandung dalam prinsip pariwisata gastronomi.

1.      Kedekatan dengan sumber pangan

Banyak kota gastronomi dengan lanskap restoran yang terdepan diunggulkan oleh kedekatan mereka dengan sumber pangan. Tokyo dengan lautnya; Melbourne dengan perkebunan dan peternakan di sekitar Victoria; Lyon dengan petani dan food artisan, dan lain sebagainya. Bandung punya potensi ini, dan besar sekali. Mulai dari kawasan Ciwidey, peternakan sapi perah, kedekatannya dengan berbagai perkebunan di desa sekitar Jawa Barat. Sejak kecil, kita sudah diajak berwisata agro di Bandung, inilah yang menjadi potensi terbesar kota ini yang bahkan tidak dimiliki oleh banyak kota besar seperti Jakarta, London, New York. Melihat bagaimana Seroja Bake di kawasan Cihapit menggunakan bahan baku dari sekitar dengan cerdas – dan disukai oleh konsumen – adalah tanda nyata bahwa pemanfaatan pangan lokal di ranah gastronomi modern bisa berhasil di Bandung.

2.      Posisi sebagai destinasi wisata

Hampir seluruh kota destinasi gastronomi dan restoran dunia dimulai dari kota mereka terlebih dahulu dikenal sebagai destinasi wisata. Sebelum orang datang ke Tokyo untuk makan di Tsukiji dan menikmati izakaya, kota itu sudah terlebih dulu jadi destinasi wisata. Begitu pula Paris dengan wisata mode, Bangkok dengan wisata budaya, bahkan Bali dengan wisata pantai dan budaya. Tapi lihatlah mereka sekarang, sudah bertransformasi menjadi destinasi wisata gastronomi. Ini yang harus ditangkap oleh pelaku restoran Bandung, memanfaatkan unsur tourism experience yang dapat memberikan sentimental value bagi wisatawan, sehingga mereka bisa pulang dengan perspektif baru tentang kota Bandung. Joongla berhasil membawa unsur ini dalam dining experience mereka. Membawa peserta tur menyusuri kawasan Cihapit, makan hidangan kontemporer di dalam pasar, tentu bukan pengalaman yang bisa didapatkan di mana-mana.

3.      Kekuatan kreatif

Bandung sejak lama dikenal sebagai salah satu kota paling kreatif di Indonesia. Kota ini berhasil melahirkan nama-nama besar mulai dari industri entertainment, arsitektur, hingga pegiat-pegiat seni, dan nyawa kreativitas itu masih kuat ada dalam keseharian berbagai komunitas di Bandung. Kuatnya komunitas kreatif dalam sebuah kota dapat mempengaruhi konsumen menjadi lebih terbuka atas sesuatu yang baru. Seperti area Brooklyn contohnya, memiliki komunitas kreatif yang lebih kuat dari kawasan Manhattan, sehingga lanskap restoran di wilayah itu lebih dinamis di banding Manhattan yang cenderung lebih kaku. Atau Barcelona di Spanyol, Tokyo di Jepang, Kopenhagen di Denmark, tiga kota dengan kreativitas luar biasa yang sekarang justru jadi tiga destinasi gastronomi global teratas. Bila Bandung bisa mengolah kekuatan kreatif kotanya dan menyalurkannya dengan tepat dalam lanskap restoran, maka saya tidak terkejut bila dalam beberapa tahun ke depan justru kreativitas yang mendorong dining scene Bandung melejit.

Walau banyak potensi besar yang saya lihat dapat mengakselerasi kekuatan dining di Bandung, saya juga tidak bisa menutup mata ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan oleh pelaku industri restoran kota ini. Salah satu yang penting adalah bagaimana menjaga agar kreativitas tidak menjadi norak, dan ini banyak terjadi di kota-kota di Indonesia. Kreativitas dianggap sebatas menambahkan keju di atas ayam geprek, atau menempatkan komponen hidangan dengan hidangan lain yang tidak seharusnya. Belajar mengerti konteks, konsep, serta memahami mengapa hidangan tersebut harus ada harus selalu jadi intensi utama pembuat hidangan.

Sebagai kota yang masih hijau dalam lanskap dining, Bandung jangan sampai terjebak dalam kesalahan banyak kota kuliner lain. Penggerak restoran di Bandung harus punya keinginan kuat mengedukasi konsumen secara serentak melalui makanan, mumpung konsumen di kota ini masih terbuka, sehingga Bandung dapat mempunyai generasi yang memahami dan menghargai kreasi makanan dengan baik.

Hal ini ke depannya akan menguntungkan kota Bandung, karena nantinya bakal konsumen sendiri yang melakukan seleksi mana makanan yang pantas mereka santap dan mana yang tidak. Daya beli juga sebetulnya bukanlah sebuah masalah besar. Seperti The WindChime, Joongla, Seroja, Dailah, dan Jungchan, walau masing-masing punya konsep berbeda dan harga jual yang berbeda, mereka bergerak bersama-sama untuk mengedukasi konsumen di Bandung tentang potensi hidangan yang dapat dinikmati kota itu. Yang satu memperlihatkan konsep hidangan kontemporer, yang satu memperkenalkan tentang new Indonesian cuisine, yang satu membuka mata bahwa pangan lokal bisa sebanding dengan bahan baku impor, dan lainnya. Perbanyak tempat-tempat makan seperti ini.

Lalu, Bandung juga harus saling menopang antar pelaku restoran. Sudah bukan zamannya lagi industri restoran main sendiri-sendiri. Industri restoran ibarat sebuah komunitas yang luar biasa besar. Jangan pelit ilmu, saling berbagi kemampuan. Belajar dari pelaku kopi, industri mereka bergerak dengan sangat cepat dikarenakan mereka bergerak bersama-sama. Urusan bisnis dan kompetisi, biarlah semuanya berkompetisi dengan sehat. Bukankah kompetisi yang baik itu bila seluruh pesertanya berada dalam level yang sama? Bukan kompetisi sehat namanya bila yang satu jauh lebih menonjol dari yang lainnya. Juga yang tak kalah penting, jalin kerjasama dengan banyak petani, peternak, dan pengrajin pangan lokal, ini adalah potensi Bandung yang tidak bisa ditiru karena alam yang menyediakan.

Bila hal-hal di atas dapat dilakukan dengan cermat dan konsisten, maka ke depan saya sangat yakin kalau Bandung bisa bersaing sebagai destinasi gastronomi nasional dan regional Asia Tenggara.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Ragam Kuliner Sekitar Rumah Potong Hewan

Next
Next

Ingin Kuliner Indonesia Maju?Perbanyak dan Hargai Para Intelektual Kuliner