Salzbrezeln, Kehangatan dalam Sepotong Pretzel di Bali

Dalam ambisi mencari tempat makan anti mainstream di Bali, Calvin Budianto justru menemukan pondok kecil yang menyajikan pretzel gaya Stuttgart, Jerman di kawasan Canggu.

Salzbrezeln membuat pretzel dengan gaya Stuttgart, Jerman yang punya rasa hingga tekstur beda dengan pretzel gaya New York yang lebih populer. | Foto oleh Calvin Budiyanto/Feastin’.

Buat sebagian orang Jakarta di usia saya, berkunjung ke Bali untuk berlibur, healing, atau bekerja mungkin menjadi rutinitas tahunan atau bahkan beberapa bulan sekali. Hingga seringkali aneh bagi beberapa teman ketika mendengar bahwa saya pertama dan terakhir mengunjungi Pulau Dewata pada tahun 2005, saat masih duduk di bangku kelas 5 SD. Terlebih untuk seseorang yang suka mengeksplorasi kuliner seperti saya, banyak yang mengatakan bahwa Bali adalah salah satu surganya dan aneh jika saya tidak pernah ke sana sejak 2005.

Akhir Agustus lalu akhirnya saya ke Bali karena undangan pernikahan salah satu sahabat. Sejak awal berangkat saya sudah meniatkan untuk berkunjung ke beberapa tempat makan, sampai akhirnya ketika sampai hati saya mengatakan, “Saya akan kunjungi tempat-tempat yang belum mainstream di banyak review teman-teman saya”. 

Siang itu saya memilih untuk menyusuri Google Map, melirik kawasan Canggu yang dapat julukan “South Jakarta by the sea.” Saking banyaknya warga Jakarta (atau spesifiknya mereka yang dikatakan 'anak Jaksel') yang memilih menetap di area ini saat berkunjung ke Bali.

Setelah memilih menghabiskan makan siang di salah satu restoran khas Vietnam di Jl. Pantai Batu Mejan, saya memutuskan berjalan kaki ke Salzbrezeln. Sebuah pretzel shop yang saat itu tampil dengan beberapa review memuaskan di laman Google Maps. Yang membawa saya memutuskan mengunjunginya adalah tampilan pretzel khas Jerman yang jarang bisa ditemui di Jakarta.

Saat saya masuk, hanya ada seorang perempuan yang tampil dengan wajah cukup terkejut sambil menyapa. Rupanya saya adalah pelanggan Indonesia pertamanya, tempat ini baru buka enam hari saat saya berkunjung. Namanya Debby, sang pemilik. Salzbrezeln adalah bisnis pertama perempuan yang memiliki nama lengkap Debora Stefanie ini. Ia baru menetap di Bali selama dua bulan dengan tujuan utama untuk menjalankan bisnisnya. Ia dibantu oleh kakaknya yang merupakan seorang interior designer untuk mengubah tampilan muka tokonya dengan gaya khas Eropa.

Keputusan meninggalkan zona nyaman Jakarta dan memilih Bali sebagai tempat usaha pertamanya ini bukan tanpa alasan. Selain karena motivasi dari sang sahabat yang juga orang di balik brand Pasta Bitte, pasar Bali dirasa lebih siap untuk kreasi pretzel khas Stuttgart buatannya dibandingkan Jakarta. Keputusannya sepertinya tepat. Berbekal berjejaring dengan warga Jerman yang tinggal di Bali saat masa trial, word of mouth terbentuk dan pelanggannya pun kini didominasi warga asal Eropa yang menetap di Bali. “Ternyata komunitas Jerman di Bali cukup besar,”ungkap Debby. 

Salzbrezeln tidak hanya menyajikan empat varian pretzel khas Stuttgart, yakni original brezeln, butterbrezel, sesamebrezel, dan emental cheese brezel saja namun juga ada laungenstangen. Ada juga varian vegan brezel untuk menjawab permintaan beberapa pelanggannya. Untuk semua brezel dan laugenstangen, ada juga opsi topping  seperti cream cheese, smoked salmon, salami, timun, selada, dan tomat untuk melengkapinya. Untuk minuman, Salzbrezeln juga tidak main-main. Ada pineapple kombucha, dan italian coffee. Pilihan bir asal Jerman Erdinger dan Konig Ludwig Weissbier juga dihadirkan untuk melengkapi ‘rasa Jerman’. “Supaya Jerman banget!” Kata Debby, 

Setiap harinya Salzbrezeln beroperasi mulai pukul 06:00 hingga 18:00. Debby dibantu oleh satu orang timnya setiap hari memulai produksi pada pukul 04:00 pagi. Adonan yang fresh adalah kunci pretzel yang lezat, sehingga setiap harinya Debby memproduksi sendiri adonan pretzel dengan bahan-bahan pilihan juga teknik yang sesuai untuk menjaga otentisitas hasilnya. 

R. Calvin Budianto

R. Calvin Budianto merupakan Head of Community di Feastin’. Memesan menu yang terdengar paling kompleks dan paling simpel adalah hobinya.

Previous
Previous

Ingin Kuliner Indonesia Maju?Perbanyak dan Hargai Para Intelektual Kuliner

Next
Next

Kafe Museum, Bisnis Menjanjikan yang Perlu Dilirik