Aku Suka Singkong, Kau Suka Keju
Cerita Sinta Dwi tentang makanan yang jadi jembatan untuknya kenal lebih dekat dengan keluarga baru.
Suatu hari di Bandung, pasangan saya bertanya. “Di rumah, aku sering makan bacon. Di mana ya kita bisa beli?” Saya pernah mendengar kata itu di berbagai program masak-memasak di TV, tapi tidak pernah sekalipun saya menyentuh, apalagi memasak bahan makanan ini. Saya google kata itu sebentar, membaca artikel di Wikipedia, kemudian saya pergi ke salah satu supermarket internasional di Jalan Setiabudhi di Bandung. Di bagian daging babi (karena berdasarkan Wikipedia, bacon terbuat dari bagian perut babi), terlihatlah satu kotak bertuliskan pork belly slices. Saya pikir, sukseslah misi ini. Dengan bangganya saya memperlihatkan buruan saya. Sayangnya, daging yang saya beli itu ternyata bukan bacon, namun daging perut babi yang masih mentah. Bacon adalah produk dari perut babi yang diasap, bukan mentahan. Jadi daging yang saya beli itu secara teknis serupa tapi tak sama. Malunya saya!
Pacar saya – kini menjadi suami – lahir dan besar di Amerika Serikat di pesisir California. Tentu, tradisi makan kami jauh dari sama. Dia tidak habis pikir ketika saya menjelaskan bahwa sarapan itu nasi, entah dipasangkan dengan gudeg atau lauk sisa tadi malam. Minumnya teh hangat atau susu. Sementara dia, sarapan identik dengan pancake, sereal, bacon, roti, bagel, dan telur mata sapi dengan kuning telurnya yang masih cair. Saya pun heran kenapa dia suka telur yang kuning telurnya masih belum matang. Bukankah rasanya jadi amis?
Bernegosiasi rasa dalam hubungan
Karena saya berasal di Yogyakarta, bisa ditebak sehari-hari saya terbiasa makan makanan yang cenderung manis. Sementara itu, rasa gurih dan asin lebih akrab di lidah suami saya. Bisa dibayangkan, bagi dia beberapa makanan yang saya masak jadi kemanisan. Dan sebaliknya, saya juga kewalahan dengan makanan yang terlalu asin. Misal, bagi dia oseng-oseng tempe saya terasa kemanisan dan pasta yang suami masak terlalu gurih untuk saya.
Lalu, bagaimana kami menemukan titik tengah?
Bak ungkapan dalam Bahasa Jawa, tresna jalaran saka kulina, kuncinya adalah saling membiasakan selera makan satu sama lain. Untungnya kami berdua memang gemar mencoba makanan-makanan yang baru; kami tidak apriori jika mencicipi makanan yang belum pernah kami ketahui sebelumnya. Hanya karena saya tidak akrab dengan rasa gurih dan asin, bukan berarti makanan dengan cita rasa ini tidak enak.
Bagi saya yang terbiasa dengan rasa rempah-rempah yang kuat, setiap kali saya di Amerika saya usahakan untuk berani makan makanan baru. Suatu kali pernah di Instagram saya meratapi kemalasan saya untuk malas mencoba rasa-rasa lain yang tidak biasa saya cecap. Pertama kali saya mencoba daging yang diawetkan (cured meat), saya hanya bisa merasakan rasa asin. Sementara berbagai varian keju juga jadi sensasi yang asing Sekarang, saya sangat bersemangat ketika ada charcuterie di meja. Sandingkan salami dengan cracker dan buah anggur, maka lidah saya akan bergoyang seperti Remy di film Ratatouille!
Belajar menggunakan oven versus memeras santan
Tidak hanya cita rasa, kami berdua juga berasal dari dua kultur memasak yang sama sekali berbeda. Ada banyak sekali pengetahuan memasak dari keluarga yang saya anggap cuma-cuma. Misalnya, saya pernah memberi tips ke suami bagaimana memeras kelapa parut menjadi santan, lalu membaginya jadi santan kental dan encer untuk digunakan ketika memasak tongseng. Wajar dia menjadi terkejut. Di kampung halamannya, santan hanya tersedia di dalam bentuk kemasan.
Sementara dari dia, saya juga mulai belajar teknik memanggang. Saya yang tidak pernah punya oven jadi mulai tahu bahwa oven tiap rumah itu berbeda, sehingga saya harus berhati-hati ketika membaca resep yang mengajurkan suhu oven tertentu. Sekarang, saya yang dulunya hanya tahu menggoreng and menumis jadi lebih terampil membuat beberapa hidangan yang dipanggang. Saya ingat pertama kali saya memanggang ayam di oven, rasanya saya buta sekali untuk menebak tingkat kematangannya. Satu jam saya duduk di depan oven yang panas itu untuk melihat perubahan warna di kulit ayam. Suami saya berceloteh waktu itu, di dalam Bahasa Inggris ada ungkapan yang pas: A watched pot never boils - ayam yang saya panggang tidak akan matang kalau sedikit-sedikit saya cek.
Makan bersama dengan keluarga besar
Saya ingat betul pertama kalinya ikut merayakan Natal dengan keluarga pasangan saya. Keluarga saya tidak pernah memiliki tradisi “makan malam bersama”. Ya, kami memang punya ruang makan tapi saya bisa hitung dengan jari seberapa sering keluarga saya duduk bersama untuk menikmati makan malam. Karenanya, ketika saya merayakan Natal dengan keluarga di sana saya terkesima. Makanan demi makanan berjejer di meja: Ham panggang dengan saus nanas; casserole sayur-sayuran; dinner rolls; bacon, kentang, mac and cheese; serta deretan makanan penutup seperti cinnamon rolls, cake, dan buah-buahan. Dalam hati saya berkata, “Ternyata memang seperti di film-film Hollywood!”
Karena saya juga mau belajar memasak masakan dari keluarga pasangan saya, saya jadi rajin bertanya dan membantu ibu mertua saya ketika beliau ada di dapur. Tips yang terlihat sederhana saya ingat baik-baik, jika perlu dicatat. Tips favorit saya adalah ketika beliau membuat chocolate chip cookies. Sejumput bubuk kayu manis jadi rahasia mengapa cookies buatan beliau harum.
Terlepas dari betapa kenyangnya saya hari itu, yang lebih berkesan bagi saya adalah ketika makanan menjadi jembatan bagi saya untuk mengenal keluarga pasangan saya. Ini adalah bagian dari saya untuk beradaptasi di sebuah keluarga baru, dan makanan menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan. Dari duduk bersama di meja makan, saya merasa diterima sebagai anggota keluarga yang baru dan tidak lagi orang asing di situ.