Doa Sebelum Makan: Ucapan Syukur yang Kian Langka
Berdoa sebelum makan bukan soal menunjukkan betapa religiusnya kita, namun sebagai ungkapan syukur atas kehidupan yang kita jalani.
Bagi generasi sekarang, mungkin doa sebelum makan dianggap sebagai sebuah ritual yang kuno dan ortodok. Banyak orang yang tak lagi menganggapnya penting. Sebetulnya urusan kepercayaan, itu urusan masing-masing. Namun doa sebelum makan mengajarkan saya satu hal: Mengucap syukur setiap hari. Bagi orang tua kita atau kakek nenek kita, mungkin alasan berdoa sebelum menyantap sepiring soto karena didorong oleh aturan religi. Saya besar di keluarga yang religius – dan saya sendiri dapat dibilang religius. Tapi saya harus mengakui, pekerjaan yang selalu berhubungan dengan makanan setiap hari, bahkan terkadang harus pindah tempat makan dari satu wilayah ke wilayah lain hanya dalam hitungan jam, sungguh melelahkan. Jujur, kelelahan itu membuat saya mengesampingkan banyak hal yang hanya memerlukan sedikit waktu. Salah satunya mengucap syukur sebelum makan.
Saat kecil, saya dan sepupu-sepupu sering tertawa dan meledek almarhum kakek yang kalau sudah berdoa sebelum makan bisa lebih dari sepuluh menit. Kami sering bercanda, “Pas buka mata habis deh makanannya.” Tapi almarhum kakek hanya senyum. Kami penasaran, jangan-jangan kakek bukan hanya mendoakan makanan, tapi juga petani, tukang yang jualan, sampai yang masak. “Aneh-aneh saja.” Pikir kami waktu itu. Setelah dewasa, berdoa sebelum makan semakin jarang saya lakukan karena banyak alasan, entah itu harus cepat-cepat; entah itu karena lupa sambil ngobrol; dan tentu alasan lainnya.
Namun selama beberapa minggu terakhir, saya kembali merenungkan gestur sakral ini. Saya mencoba untuk mengambil beberapa detik diam, memejamkan mata, sebelum tangan melahap nasi hangat dan ikan tumis di depan mata. Saya pun teringat cerita ibu yang sempat bertanya kepada kakek mengapa doa makannya lama sekali. Ternyata yang kami pikir betul adanya. Kakek memang sungguh mendoakan siapapun yang punya andil hingga membuat makanan itu sampai ke depannya. Ia berdoa untuk penjual di pasar agar dagangannya laku; Ia mendoakan petani yang menanam kangkung agar selalu mendapat panen yang baik; Ia berdoa untuk nenek saya yang sudah membuatkan masakan agar selalu diberi kesehatan, berumur panjang, dan bisa melihat cucu-cucu tumbuh besar.
Bukankah itu sebuah tindakan yang sangat tidak egois? Meluangkan waktu untuk memikirkan kehidupan, orang lain, dan mengucap syukur atas kebaikan mereka serta Yang Maha Esa. Hal inilah yang ingin saya kembali terapkan di kehidupan sehari-hari. Urusan kepada siapa kita berdoa dan mengucap syukur, adalah pilihan masing-masing. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita kembali membawa nilai-nilai kebaikan dalam hidup. Tidak ada yang salah dengan mempercayai Tuhan dengan segala berkahnya, termasuk makanan yang kita santap sehari-hari. Yang salah adalah menjadi egois dan mementingkan diri sendiri dengan berlindung dalam label “masyarakat intelektual”. Pada akhirnya, doa sebelum makan bukan soal menunjukkan betapa religiusnya kita, namun bagaimana kita menghargai segala hal dalam hidup kita, dimulai dari hal kecil yaitu makanan yang kita santap.