Kafe Museum, Bisnis Menjanjikan yang Perlu Dilirik

Memadukan museum dengan restoran adalah praktek umum di berbagai negara. Tak hanya sebagai tempat beristirahat pengunjung, bila dikelola dengan baik, restoran dan kafe museum bisa jadi atraksi tambahan dan tentu pemasukan ekstra untuk pengelolaan. Calvin Budianto menulisnya untuk kamu.

Restoran Untitled di museum The Whitney di kota New York tak hanya dikunjungi pencinta museum dan sejarah, tapi juga warga umum sebagai tempat sosialisasi atau temu kolega. | Sumber: Food & Wine

Mengintip museum yang berada di kota atau negara yang saya kunjungi adalah sebuah keharusan. Dari sebuah museum, saya bisa lebih mengenal tentang kota atau negara tersebut, apapun itu jenis museumnya. Museum sedikit banyak menggambarkan mengenai cerita dari sebuah kota atau negara karena pasti selalu ada alasan mengapa museum tersebut didirikan di tempat tersebut.

Namun selain koleksinya, saya selalu tertarik dengan museum yang memiliki restoran, kafetaria, atau coffee shop di dalamnya. Ini yang tidak saya temui di museum-museum yang ada di Indonesia. Hanya ada dua museum di Indonesia yang saya tahu memiliki kafetaria khusus, yaitu Museum Bank Indonesia (MBI Canteen) dan Museum Nasional (Cafe Museum Nasional) di Jakarta. Setidaknya itu yang pernah saya kunjungi. Yang baru belakangan muncul ada juga Taman Piknik, Oh Bla Da Cafe, Kopi Bangsa, dan Shabu Hachi di Museum Satria Mandala. Namun, itu semua adalah tenants yang menyewa halaman depan museum yang cukup luas, bukan menjadi bagian dari bangunan utama museum.

Louisiana Cafe di Museum of Modern Art Denmark mendapatkan predikat sebagai salah satu restoran dengan desain terbaik di sebuah museum. | Sumber: Louisiana Museum.

Louisiana Cafe at Louisiana Museum of Modern Art, Denmark

Louisiana Cafe adalah kafe museum yang pertama kali menyadarkan saya bahwa sebuah museum tidak hanya bisa menjadi tempat yang memberikan pembelajaran dan hiburan melalui koleksi dan atraksinya namun juga bisa menjadi tempat nongkrong yang asik. Kafe ini juga secara langsung menyokong keuangan museum karena seluruh pendapatannya digunakan untuk pembiayaan pameran, pemeliharaan, tur berpemandu, pengajaran, dan lainnya. Jadi pendapatan museum tidak sekadar bergantung pada biaya tiket kunjungan. 

Pertama kali saya menginjakkan kaki di area kafe entah mengapa saya langsung teringat dengan vibe sama yang diberikan Cafe RSPI (Rumah Sakit Pondok Indah) yang cukup ikonik. Ramai baik dalam antrian atau pun yang sedang menyantap makanan di meja-meja yang tersedia. Entah karena kebetulan saya berkunjung pada akhir pekan atau memang selalu seramai ini, yang jelas ini sesuatu yang baru buat saya melihat kafetaria dengan setting yang serius dan daftar menu yang tidak sembarangan. Selain Smørrebrød yang pastinya menjadi hidangan khas Denmark, ada juga hidangan seperti chicken fricassée, sop kentang dan bawang perai, lemon marinated salmon, dan lainnya. Kafe ini memiliki dua sesi operasional (lunch & dinner), sehingga menu hidangan malam akan berbeda dengan menu siang. Yang membuat saya geleng-geleng sejenak adalah makanan yang saya cicipi saat itu dieksekusi dengan baik untuk sebuah kafe museum. Terlebih ruangan bersantap didesain simpel dan apik menghadap langsung ke taman dengan patung karya Alexander Calder berlatar laut lepas yang sangat indah. Sebuah pengalaman bersantap yang mewah. 

Ruang makan di Musemcafe di Deutches Historiches Museum. | Sumber: DHM

Museumscafe at Deutches Historiches Museum

Setelah lelah berkeliling dan mengikuti satu persatu alur sejarah Jerman di Museum Sejarah Jerman yang cukup luas, saya memutuskan untuk menyambangi museum shop, salah satu sudut yang saya wajib kunjungi setiap kali mampir ke museum di luar negeri. Sudut ini ternyata berdampingan dengan kafe museum yang hadir dengan setting layaknya restoran mewah di Jakarta. Cukup mengintimidasi untuk saya yang datang hanya menggunakan kaos dan celana jeans dengan ransel dan topi saat itu. Setting ini membuat saya urung untuk duduk dan mencicipi hidangan yang ditawarkan meski rasanya beberapa kue seakan memanggil saya untuk mencicipinya. Padahal pemandangannya cukup bagus, gedung Berliner Dom. Kafe ini juga memiliki area bersantap outdoor dan dapat diakses langsung tanpa harus membayar tiket museum. Sayang saya tidak mengabadikan langsung sudut-sudutnya karena mengejar untuk menyambangi tempat lainnya di Berlin saat itu.

Belajar dari Dua Kafe Museum

Sebetulnya masih ada beberapa lagi kafe museum yang saya kunjungi di beberapa negara lainnya seperti Singapura, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Polandia. Namun, dari dua kafe yang saya highlight di atas, ada beberapa poin yang bisa saya ambil dan mungkin bisa menjadi pembelajaran untuk kita di Indonesia yang sepertinya masyarakatnya tidak tertarik untuk ke museum. Tentunya dengan berbagai faktor dari tidak suka sejarah, koleksi museum yang kurang menarik, display yang membosankan dan tidak menarik, atau yang terakhir karena museum identik dengan cerita horor akibat bertempat di gedung-gedung tua bersejarah. 

Atraksi Menarik
Kehadiran kafe di museum buat saya sebetulnya sangat perlu. Tidak hanya memberi nilai tambah bagi museum namun juga menjadi daya tarik lain yang menguntungkan, terutama jika memiliki karakter yang kuat. Mungkin sama seperti orang-orang yang ingin ke Disneyland bukan karena permainannya namun karena ingin mencicipi turkey leg yang ikonis. Atau di luar itu, menghadirkan kafe museum bisa membuat museum menjadi tempat hangout & meeting yang asik. Ini bisa secara perlahan mengubah citra museum yang banyak dianggap membosankan dan penuh dengan cerita horor menjadi tempat yang keren dan asik untuk dikunjungi. Menghadirkan kuliner khas kota atau negara di kafe museum juga akan menjadikannya one stop destination untuk turis. Tidak heran setelah saya telusuri memang banyak museum di berbagai negara yang memiliki kafe museum dan menjadikannya salah satu daya tarik utama di samping koleksi museum.

Tambahan Pendapatan

Kehadiran kafe museum baik yang dikelola langsung maupun hanya berupa penyewaan sudut pada pihak lain pastinya akan memberikan tambahan pendapatan bagi museum. Biaya operasional sebuah museum itu sangat besar, terutama untuk merawat benda-benda yang bersejarah. Kita pun paham sangat mustahil untuk sebuah museum pemerintah dapat beroperasi mandiri jika hanya mengandalkan tiket masuk yang terhitung murah (yang bagi sebagian kalangan pun dirasa mahal).  Kafe museum bisa menjadi solusi membuat museum lebih mandiri, tidak lagi hanya bergantung pada pembiayaan subsidi pemerintah. Akan lebih baik lagi jika museum juga dilengkapi dengan toko museum dengan koleksi yang menarik dengan kualitas yang baik. 

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Salzbrezeln, Kehangatan dalam Sepotong Pretzel di Bali

Next
Next

Doa Sebelum Makan: Ucapan Syukur yang Kian Langka