Potluck Dinner: Panggung Nyaman untuk Tiap Hidangan
Untuk Afi, potluck bukan hanya soal makanan yang melimpah ruah, tapi etalase budaya lintas benua yang tersaji memikat di atas meja.
Tinggal di tempat komunal bersama orang-orang dengan latar budaya berbeda memberi warna tersendiri pada pengalaman kuliner saya. Sebagai seorang pelajar Indonesia yang menetap di sebuah student housing di Belanda bersama sembilan pelajar lainnya yang datang dari negara berbeda, acap kali lidah ini dapat kesempatan untuk mencicip citarasa yang tidak familiar lewat masakan teman saya.
Misalnya, mengenal gurihnya padu padan citarasa buttery dan pungent pada quiche isi bayam dan goat cheese khas Perancis, atau cita rasa masam yang segar pada salad Yunani. Kekayaan ini biasa kami rayakan pada acara rutin dimana tiap-tiap dari anggota housing memasak sajian khas negara asal untuk semua orang. Yup, it is the potluck dinner! Ajang dimana kami memperkenalkan diri dan mengenal satu sama lain lewat sajian buatan kami.
Tidak ada yang berbeda antara definisi potluck yang sebenarnya dan potluck yang kami lakukan, kecuali soal persyaratannya: Hidangannya harus sajian khas negara asal kami. Mengutip definisi potluck dari Merriam-Webster, yakni jamuan makan bersama di mana orang-orang membawa makanan untuk dibagikan. Potluck juga dikenal dengan sebutan "bring-a-dish" dan merupakan sebuah hal yang cukup populer di Amerika. Menariknya, saat saya coba terjemahkan kata potluck ke Bahasa Indonesia lewat Google Translate, istilah ini dikenal sebagai "jamuan seadanya". Secara esensi, hal ini juga tersirat pada potluck yang kami lakukan: Menyediakan hidangan sesuai kemampuan kami.
There's always the first time for everything. Wajar rasanya ada ambisi ingin menyajikan yang terbaik pada potluck pertama. Ditambah lagi soal identitas diri dan budaya yang harus tercerminkan pada sajian pilihan kami sebagaimana tujuan acara ini.
Mengingat kayanya cita rasa Indonesia, saya sempat bergelut dengan proses pengambilan keputusan: Haruskah saya membuat makanan dengan cita rasa pedas dan gurih santan seperti makanan khas Sumatra atau makanan dengan bumbu dasar kuning seperti makanan khas Sunda?
Pilihan pertama saya jatuh pada soto ayam berkuah kuning. Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, keragaman soto merupakan salah satu hal yang sangat saya banggakan dari kuliner Indonesia. Bayangkan, mulai dari jenis kuah soto yang bisa bening maupun pekat dengan santan atau susu seperti di soto betawi hingga isian soto yang bisa sangat beragam. Tengok saja akun Instagram @365harinyoto, maka kita akan tersadarkan betapa meriahnya dunia soto Indonesia. Kedua, soto ayam kuah kuning tidak sulit untuk dibuat dan bahan-bahannya mudah didapatkan di supermarket kota tempat saya tinggal. Ketiga, rasa soto ayam kuah kuning cenderung sederhana sebagaimana saya ingin karakter orang Indonesia yang bersahaja tercerminkan lewat gurihnya kaldu yang semakin nikmat saat diimbangi dengan hangatnya lada.
Dengan waktu yang terbatas karena acara dilaksanakan pada hari kerja, saya menggunakan bumbu instan kuah soto yang dibeli di toko Asia untuk mempersingkat waktu memasak. Untuk memperkaya rasa, saya tambah bahan segar seperti serai dan jahe. Lalu, saya lengkapi soto ayam kuah bening tersebut dengan soun, tomat, kol rebus, tauge rebus, bawang goreng, daun bawang, kecap manis, kerupuk, dan sambal sederhana berbahan dasar cabai rawit dan bawang putih. Tidak lupa, saya juga sertakan nasi yang bisa dicampur langsung di dalam mangkuk soto atau dihidangkan di piring terpisah.
Pada setiap kesempatan potluck, terdapat sesi presentasi di mana tiap orang harus menjelaskan bahan, cara memasak, dan kisah di balik sajian pilihan kami. Diskusi bisa tercipta lewat seporsi soto ayam kuah kuning. Misalnya, kisah tentang soun yang terbuat dari pati kacang hijau yang tergolong hal asing bagi mereka yang berasal dari Eropa. Pertanyaan akhirnya bisa berlanjut ke bagaimana nasi bisa menjadi sesuatu yang dinikmati oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia meski tiap pulau sebenarnya memiliki tanaman sumber karbohidrat berbeda. Juga tentang sambal yang tidak jarang panasnya menyiksa lidah namun tetap menjadi primadona di sajian Indonesia.
Pada kesempatan lain, saya memilih es teler sebagai hidangan potluck. Karena tidak berhasil menemukan buah nangka manis di toko-toko dan supermarket dekat tempat saya tinggal, terpaksa saya mensubstitusinya dengan buah persik kalengan. Setidaknya keduanya memiliki warnanya dan manisnya yang mirip.
Namun tetap saja tidak bisa dikatakan sempurna karena testurnya yang berbeda, dimana nangka memiliki atribut kekerasan dan kerenyahan pada profil teksturnya, sedangkan manisan buah persik kalengan cenderung empuk. Saat menjelaskannya, saya menyampaikan deviasi dan penyesuaian yang saya lakukan. Lewat segelas es teler, teman-teman saya mulai menanyakan jenis-jenis buah eksotis yang Indonesia miliki dengan rasa penasaran.
Sajian yang dihidangkan teman-teman saya tidak kalah menarik dan juga mengundang banyak pertanyaan. Contohnya pan de yuca, yakni roti keju dari tepung tapioka yang dibuat oleh teman asal Kolumbia dan gyros beserta tzatziki yang dibuat oleh teman asal Thesaloniki, Yunani. Dalam semalam, kami bisa memaknai keberagaman yang ada di antara kami lewat masakan yang teraksentuasi pada setiap suapan. Hasilnya, ada rasa bahagia turut merayakan budaya dan menghargai satu sama lain.
Menariknya, kami juga saling berbagi inspirasi menu untuk makanan harian kami. Seperti teman yang berasal dari Bologna, Italia yang mencoba mereplika soto ayam kuah kuning beberapa hari setelah acara. Saya sendiri juga menjadi cukup terobsesi dengan citarasa segar tzatziki yang terbuat dari greek yogurt, parutan timun, bawang putih, dan daun dill. Tzatziki menjadi salah satu dipping sauce yang sudah menjadi comfort food saya sehingga hampir selalu ada di dalam kulkas saya.
Potluck dinner memberi pengalaman yang sungguh mengesankan bagi saya dan teman-teman. Inilah ajang kami untuk saling mengenal. Lewat sajian pilihan kami, panggung ini terasa nyaman untuk tampil menjadi diri kami apa adanya.