Kolaborasi Penuh Makna di Tanah Jawa

Amanjiwo menjadi titik balik kolaborasi antar chef di Indonesia dengan diadakannya A Culinary Expedition to Java bersama Eelke Plasmeijer, Wayan Kresna, dan Fernando Sindu.

Amanjiwo, rumah bagi kolaborasi A Culinary Expedition to Java. | Foto oleh Feastin’

Amanjiwo, rumah bagi kolaborasi A Culinary Expedition to Java. | Foto oleh Feastin’

“Sebentar lagi kita sampai ke tempat makan siang. Pelan-pelan jalannya.” Kata pemandu dari Amanjiwo di baris depan. Kami berjalan dipayungi pohon bambu dan pepohonan lain yang sama rimbun. Di tanah berpasir, kami melewai rumah-rumah penduduk lokal yang memandangi kami penuh ramah tamah. Perlahan, terdengar suara gemericik air. Seiring kaki kami melangkah, suara gemericik itu membesar, menggema menjadi seperti gemuruh. Tanpa menunggu lama, Kali Progo sudah di depan mata, bersama dengan domba yang dipanggang di api terbuka, tikar raksasa, meja dan bantal batik yang diletakkan di atasnya bersama dengan peralatan makan berlapis kuningan. Chef berlalu lalang, ada yang membawa nampan berisi makanan matang, ada yang sedang menata makanan di atas kuali tanah liat, ada yang dengan cekatan mengoles aneka seafood dan domba dengan minyak rempah. Asap wangi menyeruak mengisi udara, lalu hilang di atas Kali Progo dengan anggun tertiup angin.

Ini adalah makan siang hari kedua dalam tiga hari perjalanan kuliner A Culinary Expedition to Java yang diinisiasi oleh Amanjiwo bekerja sama dengan Jed Doble, pemilik dari media kuliner Foodies. Acara ini mendatangkan tiga chef dengan latar belakang yang berbeda namun mereka adalah jawara di genrenya masing-masing. Ada Eelke Plasmeijer dari Locavore, Fernando Sindu dari Cork & Screw, serta Wayan Kresna dari Kaum. Kolaborasi memang jadi konsep yang ditinggikan terlebih saat pandemi yang menyerang dengan sadis pelaku industri hospitality. Namun ada yang berbeda dengan kolaborasi yang satu ini.

A Culinary Expedition to Java – judul dari aktivitas ini – merupakan bentuk tribute Amanjiwo terhadap potensi gastronomi lokal. Aman Group memang dikenal dengan pembawaan mereka yang personal, anggun, namun “mistis” seakan tiap resort mereka berada di negeri dongeng. Amanjiwo pun juga begitu. Resort dibuat dengan inspirasi Borobudur yang suci. Berada di kaki perbukitan Menoreh di dataran Kedu, Jawa Tengah, seakan-akan Amanjiwo adalah rumah bagi raja dan ratu kekaisaran kuno. Dalam acara ini, Amanjiwo memadukan hospitality experience khas Aman yang magis dan sensasional, dengan gastronomi Jawa yang kaya cerita.

“Lanskap hotel ini sendiri saja sudah menjadi inspirasi, luar biasa.” Terang chef Fernando Sindu saat kami wawancara. Chef Sindu punya gaya memasak paling urban di antara ketiga chef yang terlibat di acara ini. Tiga restoran yang Ia pegang, Cork & Screw, Benedict, hingga Seven Friday, dapat dikategorikan sebagai urban dining ternama Jakarta. Pendekatan gaya memasak chef Sindu terlihat dalam masakan yang Ia buat dalam acara ini.

Di hari kedua saat makan malam adalah momen di mana kapasitasnya sebagai seorang chef sejati ditantang. Makan malam diadakan di dalam wilayah desa. Melalui jalan setapak yang diterangi hanya oleh lampion lilin adalah jalan yang kami lalui menuju ruang makan. Amanjiwo menyulap sebuah pawon kecil berlapis bilik bambu tempat produksi gula merah milik Pak Bilal menjadi ruang makan yang indah, membumi, dan magis. Ruang makan dihiasi juga oleh lilin di tiap penjuru. Meja makan beralas kain batik motif kawung yang punya makna kesucian. Kreasi chef Sindu menyempurnakannya. Sum-sum sapi lokal yang dipanggang dengan diberi berbagai jamur yang dibuat rendang adalah salah satu pembuka yang mengesankan. Belum lagi disusul oleh lidah sapi yang didampingi oleh sambal hijau dengan tomat yang difermentasi. Namun hidangan pamungkas yang menyerap kearifan lokal adalah mie lethek yang ditumis lalu diberi topping daging bebek dengan kulit renyah. Mie lethek sendiri merupakan mie yang dibuat dari tepung gaplek (tepung singkong) khas wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah sekitarnya. Pada malam sebelumnya, chef Sindu juga piawai menterjemahkan masakan klasik menjadi sebuah kreasi modern tanpa menghilangkan kenikmatan tekstur dan aroma versi orisinilnya; seperti jadah tempe canape, selat solo, serta tongseng yang diubah dalam wujud agnelotti dengan kuah yang dimasak sampai pekat.

“Yang menarik adalah kita berpikir bahwa masakan Jawa Tengah itu hanya manis. Padahal kalau dicicip, rasa manis di masakan Jawa Tengah itu kompleks. Mereka bisa dengan cerdas tetap memunculkan elemen aroma dan rasa lainnya.” Terang chef Sindu. Hal ini diamini oleh chef Wayan yang juga baru pertama kali mengeksplor kuliner sekitar. “Pertama kali datang ke sini, saya bawa 11 ide menu. Tapi langsung saya ubah semua karena menyesuaikan dengan bahan baku sekitar yang menarik sekali untuk diolah. Bahkan beberapa belum pernah kami lihat di Bali.” Salah satu kreasi chef Wayan yang sangat menarik adalah kue muffin yang Ia sajikan saat makan siang kami di Pizza House, bagian dari properti Amanjiwo ini merupakan pondok pizza gaya Mediterania dengan tegel kunci khas Yogyakarta yang berada di sisi sawah lapang menghadap perbukitan Menoreh.

Kue muffin chef Wayan merupakan insiprasi resep sang istri dan dibuat menggunakan bahan baku yang terinspirasi dari tanah Jawa yaitu gula merah. Gula merah di dalam kue ini memberi sensasi legit karamel yang tidak dimiliki oleh gula putih biasa. “Tanah Jawa punya bentang alam serta bahan baku yang luar biasa.” Terang chef Wayan. Kekayaan gastronomi Jawa memang sudah dipahami oleh masyarakat bahkan sejak ribuan tahun lalu. Sebagaimana dijelaskan oleh Patrick Vanhoebruck, resident anthropologist dari Amanjiwo, bahwa masyarakat kuno Jawa sudah mengenal betul potensi pangan daerahnya, bahkan hingga menjadi bagian dari ritual. “Di Jawa, makanan adalah komponen penting dari upacara daerah. Seperti selametan atau syukuran yang punya nilai filosofi gotong royong dan berterima kasih kepada Sang Pencipta.” Jelasnya kepada Feastin’.

Untuk menjunjung nilai-nilai inilah yang menjadi landasan utama diadakannya acara Culinary Expedition to Java ini. “Tujuan dari rangkaian acara empat hari tiga malam di Amanjiwo bersama tiga chef ini adalah merayakan kekayaan gastronomi Jawa yang kaya akan unsur-unsur simbolis serta filosofis. Maka dari itu acara meliputi berkunjung ke kebun dan hutan untuk mengenal bahan baku, makan dengan pemandangan sawah, makan malam di pawon tradisional Jawa, hingga akhirnya makan bersama berlatar Candi Borobudur.” Jelas Jann Hess, general manager Amanjiwo.

“Wilayah tempat Amanjiwo berada sendiri sangat spesial karena berada di dekat dengan Candi Borobudur serta 12 lokasi sakral lainnya yang tersebar di sekitar properti hotel. Bahkan hingga saat ini penduduk lokal – termasuk kami – masih dan akan terus menghormati tempat-tempat nenek moyang dan percandian yang ada sebagai bagian dari kultur Jawa.” Terang Patrick.

Bagi Feastin’ sendiri yang turut ikut menjadi bagian dalam perjalanan kuliner ini, yang dilakukan di Amanjiwo menjadi titik balik dari kolaborasi antar chef di Indonesia. Tiga sosok dengan gaya memasak berbeda dan terbaik di bidanganya disatukan dalam konsep perjalanan gastronomi yang real dan begitu hidup. Bukan lagi sekedar hanya kolaborasi menu, namun juga pengalaman makan yang diikat oleh penghormatan terhadap warisan budaya dan bentang alam Tanah Jawa.

Berangkat dari kesuksesan A Culinary Expedition to Java yang pertama ini, Amanjiwo merencanakan sesi kedua dari perjalanan gastronomi Jawa yang spektakuler di bulan Juli 2021 nanti. Tetap ikuti informasi terbaru dari Amanjiwo melalui akun Instagram @amanjiwo dan website resmi di https://www.aman.com/resorts/amanjiwo

Disclaimer: Feastin’ diundang sebagai salah satu media yang ikut serta dalam rangkaian kegiatan A Culinary Expedition to Java.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Mengenang Bondan Winarno, Bapak Wisata Kuliner Indonesia

Next
Next

Dear Hospitality Awards, Stop Asking Fee from Restaurants