Keuken Sajikan Perspektif Spiritual Makanan Lewat Food in The Quran
Pada momentum Ramadan tahun 2025, festival kuliner tahunan KEUKEN membagikan beberapa ayat dari kitab suci Al-Quran yang memiliki hubungan dengan makanan dan minuman.
“(Kami tumbuhkan) pohon (zaitun) yang tumbuh di Bukit Sinai, yang menghasilkan minyak dan lauk-pauk pembangkit selera bagi orang-orang yang makan,” QS Al-Mu'minun (23):20. Itu hanyalah satu di antara sekian banyak ayat di dalam kita suci umat muslim Al-Quran yang memiliki kaitan dengan makanan, minuman, atau pun aktivitas bersantap. Adanya ayat-ayat di dalam Al-Quran yang berhubungan dengan hal itu menunjukkan bawah makanan bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi juga memiliki dimensi budaya, sosial, dan bahkan spiritual. Selama bulan Ramadan tahun 2025 ini, ayat-ayat seperti itu bisa dengan mudah kita ketahui bersama lewat unggahan Instagram story KEUKEN, salah satu platform yang dikenal dengan festival kuliner tahunannya di Kota Bandung, Jawa Barat melalui inisiatif “Food in The Quran”.
Dari Perjalanan Umroh ke Kajian Makanan dalam Al-Quran
“Awalnya tuh dari tahun 2019 pas dapat kesempatan untuk berangkat umroh. Pas jeda antara zuhur dan ashar di Masjid Nabawi, ambil Quran terus googling ayat apa yang ngebahas soal makanan,” ungkap Meizan Diandra Nataadiningrat, Co-founder & Director KEUKEN. Titik awal itu yang membuatnya menemukan ayat-ayat yang menyebut buah zaitun, sapi, dan ayam di dalamnya hingga menyadari adanya pembahasan terkait makanan di dalam Al-Quran. Namun, saat itu masih ada keraguan untuk mengangkat tema ini ke ruang publik karena kesadaran bahwa membahas Al-Qur’an memerlukan pemahaman yang lebih dalam.
Momentum yang mendorong ide ini akhirnya datang pada 2020, ketika invasi Israel ke Palestina memanas. Sebuah diskusi bersama sang ipar Reyza Ramadhan, salah satu sosok di balik Parti Gastronomi, membuatnya kembali teringat dengan momen pada 2019 tersebut. Bagaimana kaitan budaya, agama, serta konflik di tengahnya yang juga melibatkan rasa, sumber daya, serta kemampuan memprosesnya terkait dengan kemungkinan hilangnya budaya Palestina, di mana makanan menjadi salah satu produknya. Perjalanan ini membuatnya merasa diskusi terkait agama bisa dibagikan secara lebih luas dan terbuka. Terlebih saat ini melempar gagasan dan membuat diskusi terbuka dengan berbagai tanggapan menurutnya sudah tak lagi ‘tabu’ seperti beberapa tahun lalu.
Proses Kurasi: Menghindari Tafsir, Menyajikan Referensi



Dalam mengurasi ayat-ayat yang dibagikan, ia memilih kata kunci yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Bermula dari ChatGPT, ia kemudian melakukan eksplorasi lebih dalam karena umumnya hanya sepenggal ayat yang ditampilkan sementara terkadang dalam beberapa surat bisa ada lebih dari satu ayat yang menjelaskan. Pendekatan yang digunakan netral, tanpa melakukan tafsir mendalam atau interpretasi subjektif. Hal ini dilakukan untuk menjaga ruang dialog yang inklusif dan menghindari perdebatan, terutama dalam topik halal-haram yang sering kali memiliki banyak sudut pandang.
“Kita gak angkat surat atau ayat yang meng-highlight babi. Gak mau mengotak-ngotakan agama atau menjadi dogma tetapi lebih sebagai keyakinan dan budaya di mana di dalamnya ada nilai-nilai disampaikan dan menuntun kita, sebagai way of life,” kata Meizan.
KEUKEN lebih memilih untuk menghadirkan ayat-ayat sebagai referensi agar audiens dapat mengeksplorasi lebih lanjut dengan pemahaman mereka masing-masing. Karena mereka memahami bahwa mencari apapun saat ini mudah melalui internet, namun memulai untuk eksplorasinya yang terkadang sulit dorongannya. “Kami hanya membuatnya mudah diakses,” Meizan menambahkan. Meskipun belum ada kolaborasi langsung dengan ahli tafsir, KEUKEN terbuka terhadap kemungkinan berdiskusi dengan pihak-pihak yang memiliki keahlian di bidang ini.
Makanan, Komunitas, dan Nilai Spiritualitas
Apa sebenarnya makna di balik makanan dalam Al-Qur’an yang mungkin belum banyak disadari? KEUKEN melihat bahwa makanan adalah bagian dari perjalanan spiritual manusia sejak awal hingga akhir zaman. Kisah Nabi Adam yang memakan buah Khuldi adalah contoh bagaimana makanan menjadi elemen krusial dalam sejarah manusia.
Lebih dari itu, makanan juga mengandung nilai keberlanjutan dan komunitas. Sebagai contoh, masyarakat adat di Desa Ciptagelar memiliki aturan bahwa nasi tidak boleh diperjualbelikan karena dianggap sakral. Hal ini menunjukkan bahwa makanan bukan hanya sekadar konsumsi, tetapi juga medium untuk mentransformasikan energi dan pengalaman inderawi yang lebih mendalam.
Respons Audiens dan Masa Depan Food in the Quran
Sejak pertama kali diperkenalkan, Food in the Quran mendapatkan respons yang cenderung positif dari audiens. Engagement terhadap konten ini lebih tinggi dibandingkan dengan konten IG story KEUKEN lainnya, baik dari segi views, likes, dan tanggapan reply di mana sangat jarang terjadi pada konten lainnya. “Kami gak tau yang nge-like itu muslim atau non-muslim tapi senang dengan responnya”, kata Meizan dengan nada kagum pada temuannya.
Meizan sendiri tidak melihat inisiatif ini hanya sebagai konten media sosial. Ada harapan untuk mengembangkannya menjadi ruang diskusi yang lebih luas, baik melalui event, kolaborasi dengan komunitas lain, maupun dialog dengan para ahli yang memiliki pemahaman lebih dalam mengenai topik ini.
Eksplorasi ini juga membuatnya bersyukur karena membuka keinginan dan kesempatan untuk membaca arti di balik ayat Al-Quran yang menggunakan bahasa Arab. Menjadi kesempatan untuk menemukan berbagai hal yang sebelumnya belum diketahui dari Al-Quran. Sempat takut dicap sok suci, namun tim marketing & communication KEUKEN membuatnya yakin bahwa hal ini adalah sesuatu yang patut dibagikan.
“Hal yang gue temuin di perjalanan ini bukan hal receh, gue nemuinnya di Quran, tidak ada proses tafsir sama sekali, karena ada banyak proses itu yang membuatnya jadi condong ke kiri atau kanan, terlalu anchoring ke salah satu kondisi, tidak definitif,” ungkap Meizan seraya menjelaskan keyakinannya akan hal yang KEUKEN bagikan dan berharap ini juga bisa menjadi perjalanan lebih banyak orang dalam memaknai makanan.
Secara pribadi Meizan meyakini KEUKEN bukanlah yang pertama melakukan ini. Ia pun tak pernah terpikirkan bahwa Al-Quran yang umumnya hanya sekadar dibaca suratnya menyimpan nilai yang lebih mendalam tentang makanan bermulai dari sebuah pertanyaan “Apakah Quran isinya cuma nyuruh sholat doang?”.
KEUKEN, Ramadan, dan Keberlanjutan
Ramadan menjadi momentum yang tepat bagi KEUKEN untuk menjalankan inisiatif ini, yang ternyata sejalan dengan nilai keberlanjutan yang mereka usung. Selain Food in the Quran, KEUKEN juga sejak tahun 2022 terus menjalankan program KEUKEN Lestari yang berfokus pada pengelolaan limbah makanan, seperti pengolahan minyak jelantah menjadi bio-product dan composting sampah organik.
Kesadaran akan konsumsi berlebihan selama Ramadan juga menjadi refleksi penting. Bagaimana kita bisa menerapkan pola makan yang lebih bijak dan berkelanjutan? Bagaimana distribusi makanan bisa lebih merata? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bagian dari perjalanan KEUKEN dalam menghubungkan makanan dengan nilai spiritual dan sosial yang lebih luas terlebih melalui kerjasama dengan Food Bank Bandung di mana ia melihat adanya ketimpangan di dua sisi, ada supply makanan yang berlebih, namun ada juga yang tetap kelaparan dan tidak memiliki makanan layak.
Terkait itu, KEUKEN juga tengah mempersiapkan kembali gelaran tahunannya yang akan diadakan pada Agustus mendatang. Tahun ini KEUKEN akan menggabungkan makanan, seni, dan keberlanjutan. Dengan 50 tenant makanan dan minuman, 20 tenant produk lainnya, serta kolaborasi keberlanjutan dengan berbagai komunitas, KEUKEN ingin terus memperluas jangkauan diskusi dan aksi nyata dalam dunia kuliner.
Kita pada akhirnya kembali pada titik awal pembahasan. Apakah makanan hanya soal rasa dan kenyang? Atau ada pesan yang lebih dalam yang bisa kita renungkan? KEUKEN mengajak kita untuk menemukan jawabannya bersama.