Pendewasaan Joongla dengan Kembali ke Akar

Di musim terbarunya, Joongla akhirnya memilih untuk ‘pulang’ mengangkat kuliner dari kotanya sendiri, Bandung.

Di balik sebuah pintu di dalam De Java Hotel di Bandung, berbagai kejutan telah disiapkan, hanya menunggu untuk disingkap.  

Menunggu di depan pintu, Farah Mauludynna, inisiator dari Joongla mengajak rombongan yang hadir pada Jumat sore itu. Kami yang tadinya berkumpul dengan rombongan kami masing-masing, sontak langsung mengikuti instruksinya untuk membentuk lingkaran dan dipersilahkan untuk memperkenalkan diri. Berbeda dengan mayoritas tempat dimana dalam suatu reservasi, hanya terdapat rombongan kami, di sini, kami akan menikmati hidangan bersama-sama. Ia pun berbagi tentang Joongla dan visi misinya dengan mata yang berbinar. “Joongla diambil dari kata ‘Jungla’ dalam bahasa Spanyol yang memiliki arti hutan” bukanya. “Hutan sebagai sumber kehidupan yang rimbun, penuh harta karun, namun apabila tak dilestarikan maka ia punah, sebagaimana bahan baku yang terdapat pada gastronomi Nusantara” tambahnya.

Visi Joongla tajam, ingin menyebarkan cerita gastronomi Indonesia ke dunia. Teh Dynna, panggilan akrabnya membagikan kegelisahan akan masalah-masalah yang ia amati dengan raut yang gusar. Mulai dari minimnya pendokumentasian, jarak yang jauh antar provinsi sehingga membuat pengalaman untuk mencoba beragam hidangan dari berbagai provinsi menjadi sulit, hingga bahan baku di daerah yang semakin langka terutama apabila tak ada permintaan yang cukup. 

Saat menjelaskan apa langkah-langkah strategis yang ia lakukan bersama timnya, raut di wajahnya berubah, penuh semangat dengan semangat yang berapi-api. Joongla melakukan pengarsipan eksperimen berbagai menu yang Joongla terjemahkan, promosi yang dibalut secara kreatif, dan semangat kolektif dengan mengajak lintas profesi, bahu membahu untuk mewujudkan visinya. 

Tiba saatnya memasuki pintu itu, kami disambut dengan hangat oleh para juru masak dan tim Joongla lainnya. Atmosfer dalam ruangan tersebut luar biasa, semangat talenta-talenta muda ini semakin menyeruak saat masing-masing dari talenta muda ini membuka suara dan memulai cerita demi cerita akan hidangan, sambil dengan piawai menyiapkan hidangan demi hidangan di depan kami.

Kali ini, Joongla kembali ke akarnya, tempat Joongla lahir dan dibesarkan: Bandung. Musim demi musim Joongla lalui dengan menyajikan hidangan dari provinsi lain, dan kini, tiba saatnya untuk ‘pulang’. Riuhnya hari jadi kota Bandung pada September 2024 lalu, menjadi momen yang menyadarkan tim Joongla untuk mengangkat dan berpetualang di kotanya. Proses R&D yang sangat panjang, mengeksplorasi beragam bahan baku, serta mengunjungi tempat-tempat yang menyajikan makanan khas Bandung, musim ‘Halo Bandoong’ pun hadir di meja. 

Sepuluh hidangan dan dua minuman pendamping disajikan dalam kurun waktu kurang dari dua jam yang penuh cerita dan decak kagum. Berulang kali, pengunjung dibuat terpukau oleh betapa kayanya gastronomi negeri ini dan bagaimana tim Joongla mengolah bahan baku yang tak biasa dan meramunya menjadi sajian yang menakjubkan. 

Pemanfaatan ampas dari Kecap Cap Sapi, salah satu lokasi pembuatan kecap yang terdapat di pusat kota Bandung sebagai pelengkap di sambal ampas kecap misalnya, dalam hidangan ‘Beulum’. Sebelum menikmatinya, juru masak Joongla memberikan ampas kecap tersebut untuk kami cicipi dan uniknya, rasa yang dihasilkan, saya rasa, persis seperti zaitun hitam. 

‘Tangkil’, salah satu appetizer menyulap sayur asam yang identik dengan hidangan yang kerap diincar di rumah makan Sunda karena biasanya, dapat di refill disulap menjadi sebuah terrine, hidangan khas Prancis yang dipadatkan dalam cetakan berbentuk persegi panjang dan dimasak dengan dipanggang dalam wadah berisi air. 

Pada palate cleanser, ‘Tambih’, juru masak Joongla memanfaatkan SCOBY kombucha dan memadukannya dengan lobi-lobi, sorbet kencur yang memberikan efek hangat, serta pemanfaatan bunga kembang sepatu yang menciptakan warna merah muda yang alami. 

‘Sareng’ menjadi salah satu main course yang sarat akan makna dengan mengangkat Kampung Adat Cirendeu. Masyarakat di kampung tersebut tak mengonsumsi nasi sebagai upaya perlawanan terhadap kolonial yang memonopoli beras, bahkan hingga saat ini. Rasi atau beras singkong pun dikonsumsi dan diterjemahkan dalam bentuk hash brown yang dipasangkan dengan daging bebek dan saus gulai.

Kudapan khas Bandung, peuyeum dipilih untuk bahan baku dessert pada malam itu: ‘Geulis’ yang diolah menjadi basque cheesecake, dipadukan dengan es krim nangka, raspberry coulis, daun mint, dan coconut crumble; menutup malam itu dengan manis

Sayangnya, momen tersebut harus berakhir dan sudah saatnya untuk keluar dari pintu magis tersebut. Dua jam rasanya lebih dari cukup untuk membuat saya terpana dengan betapa kayanya keanekaragaman hayati milik bumi pertiwi. Dengan kembali ke akar, Joongla semakin menunjukkan kematangannya bekecimpung di industri ini. Semangat dalam memperkenalkan gastronomi Indonesia dan pengemasannya, menarik untuk disimak kini dan nanti. 

Sharima Umaya

Sharima Umaya adalah Head of Business Partnerships & Editorial Strategist dari Feastin’. Senang menulis makanan dari kacamata berbeda, iced latte di pagi hari merupakan kewajiban & hidangan Jepang merupakan favoritnya.

Next
Next

Afternoon Tea dengan Menu Terinspirasi dari Guerlain ‘Orchidée Impériale’ di ALICE, The Langham Jakarta