Gus Rai dan Kewibawaan Indonesia dalam Merek Hatten Wines

Dalam perayaan usia yang ke-30 tahun, Hatten Wines berbagi kisah perjalanannya yang dikatakan masih muda, mulai dari perkebunan di Bali bagian utara, berkah krisis, hingga rencana ekspansi dan geliatnya di bursa dalam negeri.

Vineyard Hatten Wines di Desa Sanggalangit, Buleleng, Bali | Foto oleh: Calvin Budianto

“Selamat datang!” sambut pak Ida Bagus Rai Budiarsa atau yang biasa disapa Gus Rai, sang pendiri Hatten Wines saat saya dan beberapa rekan media sampai di The Cellardor, Bali malam itu. Gayanya yang santai dan sederhana serta sapaannya yang ramah dengan mudah mencairkan suasana antara kami yang baru pertama bertemu. Terlebih ia didampingi oleh sang istri yang juga tak kalah sederhana. Mungkin sedikit jauh dari bayangan orang Indonesia ketika mendengar kata wine yang identik dengan kesan mewah, glam, dan jamuan mengintimidasi.

Hatten Wines merupakan pelopor dalam industri pembuatan anggur di Bali. Didirikan pada tahun 1994, di tahun ini Hatten yang dalam bahasa Jepang berarti ‘berkembang’ genap merayakan usianya yang ke-30. Artinya sudah selama itu juga Hatten memperkenalkan Bali dan Indonesia pada wine produksi lokal serta menancapkan nama Indonesia pada peta wine dunia. Cerita Hatten dimulai dari produksi arak Bali di bawah PT Arpan Bali Utama. Operasi di bawah PT Hatten Bali sendiri dimulai secara resmi pada tahun 2000. 

Pak Gus Rai membuka jamuan malam itu dengan sedikit cerita bagaimana perjalanan awal Hatten. “Awalnya kami menemukan anggur di Kediri yang banyak ditanam di depan rumah-rumah warga, kami kemudian membawa bibitnya untuk ditanam di Bali,” ungkapnya. Setelah diteliti, anggur tersebut merupakan jenis Alphonse Lavallée yang berasal dari Perancis. Dari anggur tersebut, Hatten kemudian memulai produksinya dengan menghasilkan produk Aga Rosé yang hingga kini menjadi signature utamanya dan menjadi top of mind bagi konsumennya.

Aga Rosé, produk wine pertama Hatten Wines | Foto oleh: Hatten Wines

Tiga puluh tahun berlalu, Hatten Wines kini mengelola sekitar 60 hektar kebun anggur yang berlokasi di Desa Sanggalangit, Buleleng, Bali dari yang sebelumnya hanya memiliki 8 hektar lahan.. Tak seluruhnya dikelola sendiri, sebagian dikelola bersama dengan para mitra lokal. Anggur-anggur dari perkebunan tersebut menjadi bahan baku utama untuk diolah di kilang anggur mereka yang berada di wilayah Sanur, Denpasar. Selain Hatten Wines, perusahaan ini juga memiliki 3 merek dagang lainnya yang yakni TWO Islands, TWO Islands Reserve, dan Dragonfly Wines. Secara keseluruhan kini ada 30 jenis produk wine yang diproduksi di pabrik tersebut dan masih akan terus bertambah, termasuk TWO Island Prosecco yang akan diluncurkan pada Oktober 2024 mendatang.


Mimpi Besar Memperluas Pasar Global

Ida Bagus Rai Budiarsa pemilik Hatten Wines | Foto oleh: Calvin Budianto

Dalam obrolan ringan pasca santap malam, Pak Gus Rai mengungkapkan beberapa cita-citanya untuk membawa Hatten Wines terbang lebih jauh lagi ke pasar global. Saat ini Bali dan Lombok masih menjadi dua pintu terbesar bagi pecinta wine dunia maupun penikmat lokal untuk mengenal Hatten Wines. Sebetulnya ekspor pernah dilakukan ke Belanda, Maladewa, dan Singapura, namun kendala biaya logistik menjadi pertimbangannya untuk menghentikan ekspor tersebut dan fokus memperkenalkan produknya lewat wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Pulau Dewata. Ekspor tersebut dilakukan pasca peristiwa Bom Bali I yang membuat Bali dihindari oleh wisatawan.  “Biayanya terlalu mahal untuk pengiriman,” ungkap Pak Gus Rai. Margin keuntungan yang kecil karena melalui importir ditambah kegiatan promosi yang perlu dilakukan juga menjadi pertimbangannya perlahan menghentikan ekspor. “Saya lihat pada saat itu pasar wine lokal juga perlahan berkembang, makanya kami coba fokus di lokal,” tambahnya.

Cerita menarik lainnya terkait kendala pengiriman ini juga terjadi setiap kali Hatten mengikuti kompetisi di luar negeri. “Itu kalau ikut kompetisi, biasanya saya kirim saja karyawan, kami belikan tiket untuk bawa winenya ke sana dibandingkan lewat ekspedisi yang harus mengeluarkan biaya 1 juta per botol,” Pak Gus Rai menjelaskan. 

Mimpi Hatten Wines untuk memperluas pasar juga diamini oleh Tantowi Yahya, Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru periode 2017-2022 dan pembawa acara serta ikon musik country yang kini memegang peran sebagai Komisaris Independen Hatten Wines. “Saya ingin Hatten ke depan tidak hanya menjadi brand kebanggaan Indonesia namun juga bisa tumbuh menjadi global brand,” ungkapnya malam itu. Rencana untuk kembali melakukan ekspor pun sedang dalam pembicaraan. Pak Gus Rai mengungkap Belanda menjadi salah satu negara yang ingin coba disasar dengan adanya sekitar 400 restoran Indonesia di sana, namun saat ini Hatten masih fokus memperkuat pasar lokal terlebih dahulu sehingga hal itu belum jadi prioritas utama. 

Tantowi Yahya, Komisaris Independen Hatten Wines | Foto oleh: Calvin Budianto

Pak Gus Rai juga mengungkapkan salah satu cara agar Hatten Wines dapat dikenal masyarakat lebih luas adalah melalui kerjasama sebagai mitra co-branding dengan Kementerian Pariwisata Indonesia. Sebagai produk co-branding Wonderful Indonesia, Hatten Wines mengukuhkan diri sebagai produk wine berkualitas asli Indonesia. Hatten juga mencoba memperkenalkan wine pairing dengan makanan-makanan Indonesia yang diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan serta menghapus anggapan bahwa makanan Indonesia tidak cocok jika disandingkan dengan wine.

Namun begitu, Pak Gus Rai tidak hanya ingin Hatten wines dikenal secara global namun juga harus dikena lebih dalam oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Stigma akan minuman beralkohol di masyarakat yang identik dengan mabuk-mabukan menurutnya adalah sesuatu yang salah. Wine berbeda dengan minuman beralkohol lainnya. Wine seharusnya identik untuk diminum secara elegan, menjadi pendamping hidangan. Wine juga seharusnya tidak menjadi sesuatu yang eksklusif, namun tetap inklusif, kembali kepada di mana wine tersebut dihidangkan dan bagaimana konsumen memaknainya. 

Kegigihan Usaha

Susunan wine barrels berisi wine terbaik produksi Hatten Wines | Foto oleh: Calvin Budianto

Pak Gus Rai yang sebelumnya hanya mengelola usaha arak bercerita bahwa sebetulnya Hatten Wines berawal dari kerjasamanya dengan seorang rekan yang berasal dari Australia. Namun dengan beberapa kendala, sang rekan tidak dapat melanjutkan bisnis bersama dan perusahaan diambil alih sepenuhnya Gus Rai. Penetrasi pasar di awal yang cukup sulit dengan dominasi wine impor serta kapasitas produksi yang belum besar dimulai dengan kebun yang bermitra bersama masyarakat lokal mendapatkan momentum pada tahun 1998. Krisis pada tahun itu justru menguntungkan bagi Hatten ungkap Pak Gus Rai. Keran impor wine tersendat sehingga memberi kesempatan bagi Hatten melakukan penetrasi pasar. 

Ke depan Hatten masih melihat masa depan yang cerah bagi industri wine lokal. “Kami yang tertua, baru berusia 30 tahun, masih sangat muda, sementara di negara lain sudah ratusan tahun. Itu pun edukasi masih perlu,” kata Pak Gus Rai. Keyakinan ini pula yang menjadi salah satu alasan di balik pendirian Hatten Education Center yang berpusat di Bali. 

Hatten Wines juga kini telah melantai di Bursa Efek Indonesia dengan menyelesaikan Penawaran Umum Perdana (IPO) pada 10 Januari 2023 lalu dengan kode ‘WINE’. Keputusan melantai di bursa ini juga diambil agar membuat perusahaan lebih rapih dan profesional dalam melakukan operasionalnya selain tentunya untuk mengembangkan bisnis lebih baik lagi. Saham ‘WINE’ saat ini diperdagangkan dengan rasio Price-to-Earnings (P/E) sebesar 19,03x dan rasio Price-to-Book (P/B) sebesar 2,90x. Pada semester pertama tahun 2024 ‘WINE’ membukukan laba bersih sebesar Rp27 miliar, yang merupakan peningkatan signifikan sebesar 19,5% dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Selain itu, pendapatan perusahaan melonjak pada kuartal pertama 2024, dengan laba yang dilaporkan sebesar Rp14,8 miliar, mencerminkan peningkatan sebesar 19,8% quarter-on-quarter (QoQ).

Proses pengemasan wine di winery milik Hatten Wines | Foto oleh: Calvin Budianto

Hatten Wines yang dinobatkan sebagai Winery of the Year oleh Asian Wine Review pada tahun 2017, mengungguli lebih dari 300 jenis anggur dari lebih dari 100 kilang anggur di sembilan negara Asia, ke depan masih membidik potensi-potensi lainnya dengan mengembangkan varietas anggur lain. Sebagai brand lokal yang telah berusia 3 dekade, Hatten Wines patut diperhitungkan untuk menjadi pilihan pertama bagi penikmat wine di dalam negeri. Kualitasnya yang sudah diakui seharusnya tak lagi menimbulkan keraguan. Terlebih harganya cukup terjangkau tanpa berkompromi dengan kualitas yang ditawarkannya. “Semoga lebih banyak lagi yang mau memberi ruang untuk menerima wine lokal.” kata Pak Gus Rai pada akhir perbincangan.

R. Calvin Budianto

R. Calvin Budianto merupakan Head of Community di Feastin’. Memesan menu yang terdengar paling kompleks dan paling simpel adalah hobinya.

Previous
Previous

The St. Regis Bali, Konsistensi Sebagai Destinasi Gastronomi

Next
Next

Pendewasaan Dailah di Jakarta