Pendewasaan Dailah di Jakarta

Di antara banyaknya grup yang membuka portofolio restoran Indonesia di Jakarta pada semester 1 2024, Dailah hadir untuk melengkapinya. Bukan untuk bersaing, tapi untuk memberi warna.

Tampak luar restoran Dailah Brawijaya, Jakarta Selatan | Foto oleh: Dailah

Pintu ‘rumah’ Dailah dibuka untuk pertama kalinya pada Februari 2022 di Bandung, tepatnya di Jl. Progo. Lokasi yang sudah lama dikenal sebagai salah satu ‘pusat’ perkembangan restoran di Bandung, layaknya kawasan Senopati. Dua tahun kemudian, Dailah menghadirkan ‘rumah’ lainnya di Jakarta, tepatnya di Jl. Brawijaya, Jakarta Selatan. 

Tak berlebihan untuk menyebutnya rumah. Selain karena dari segi arsitektur yang memang lahir dari sebuah rumah yang dipugar, kehangatan khas rumah juga terasa dari interior yang hangat. Berpadu dengan aroma wewangian yang khas, memasuki Dailah Jakarta mungkin akan membuat sebagian orang terasa sampai di rumah, terlebih dengan lokasi yang memang dikelilingi rumah-rumah. 

Berangkat dari nama sosok ‘Ilah Dailah’, nenek dari sang chef yang suka menghidangkan beragam masakan khas Indonesia, inspirasi untuk menginterpretasikan menu-menu tersebut dengan cara berbeda menjadi pilihan. Pertemuan Dinez Montana salah satu pemilik Dailah dan sang partner dengan chef Lucky Lukman Nulhakim pada masa pandemi Covid-19 lalu melahirkan pilihan untuk mengangkat kekayaan kuliner Indonesia karena kondisi banyaknya masyarakat yang tidak bisa pulang ke kampung halaman.Penyajian makanan Indonesia di Dailah tergolong cukup stand out dari restoran lainnya. Perpaduan bahan baku yang tidak biasa, pilihan menu yang jarang atau bahkan hampir tidak pernah ditemukan di restoran khas Indonesia lainnya, juga plating yang cantik dan tak biasa untuk masakan Indonesia menjadi daya tarik tersendiri. Meski awalnya tak menyadari keunggulan tersebut, Dailah kini menggunakan pandangan para konsumennya tersebut menjadi salah satu nilai jual. “Seringkali penjual memang tak menyadarinya,” ungkap Mursi, Marketing Head Dailah. Kekuatan itu pun pada akhirnya tidak hanya berhenti pada produk, namun juga dikembangkan ke produk budaya lainnya seperti wastra, urban legend, tokoh, hingga produk-produk home industry. 

Komitmen Dailah dalam menjaga dan memperkenalkan budaya itu juga tercermin dari bagaimana restoran ini menjaga produknya. Misalkan saja dengan menu yang menggunakan gurita dari Pangandaran. Saat stoknya habis, mereka memilih untuk tidak menjual produk tersebut dibandingkan tetap menjualnya dengan menggunakan gurita lainnya, meski konsumen mungkin juga tidak akan aware jika disajikan gurita yang bukan berasal dari Pangandaran. 

Idealisme ini juga diturunkan dalam operasional lainnya seperti saat ada beberapa pihak yang meminta adanya live music di rumah Dailah. Dengan prinsip yang dipegangnya, Dailah memilih untuk tidak pernah menerima ajuan tersebut yang dirasa keluar dari identitas brand-nya. “Gitu banget” menjadi respon yang tak jarang mereka dapatkan, namun Dailah tetap teguh pada identitasnya dan tak ingin sebuah permintaan kecil yang dituruti tersebut akan membentuk image berbeda pada konsumen selanjutnya.


Paduan Menu Tak Biasa Serta Perbedaan Bandung dan Jakarta

Siongsira, salah satu menu spesial di Dailah asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat | Foto oleh: Dailah

Hasna Fithriyah, Public Relations Supervisor Dailah menceritakan kecintaan sang chef untuk mengeksplorasi beragam masakan khas Indonesia dilakukan dengan cara yang seru. Seperti motoran dari Bandung ke Banyuwangi atau singgah di rumah masyarakat setempat pada daerah yang ia kunjungi. Contoh saja hidangan bernama Siongsira, sup daging aromatik yang dimasak dengan tomat hijau, cabe rawit merah, daun salam, daun jeruk, dan sereh di dalam bambu. Resep ini dipelajari oleh sang chef saat singgah tinggal di rumah seorang warga saat berkunjung ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. 

“Kami datang, melihat yang lain, bukan kompetitor. Kami datang untuk mewarnai teman yang lain. Kami ada di dalam ekosistem.”

Soal menu yang tak biasa, Mursi yang sehari-hari berada di floor dan berinteraksi langsung dengan para konsumen merasa pasar Bandung masih cenderung nyaman dengan hidangan yang itu-itu saja. Meski ada beberapa kali yang cukup eksploratif hingga tidak mau melihat menu dan minta disajikan saja hidangan-hidangan rekomendasi terbaik. Namun, saat pintu Dailah Jakarta dibuka, ia merasa ada yang berbeda. “Game di Jakarta berbeda. Foodies lebih banyak. Penikmat makanannya pun juga berbeda,” ungkap Mursi.

Ia kemudian mencontohkan menu Sambal Goreng Ati yang disajikan cukup berbeda di Dailah karena berwujud seperti mousse, bukan seperti bentuk umumnya yang berbentuk dadu. Pendekatan eksploratif seperti itu cocok dengan konsumen Jakarta yang bisa lebih menerima bentuk-bentuk tak biasa. Spektrum tanggapannya pun meski beragam tapi satu hal yang Dailah tangkap adalah tajam. Saat seorang konsumen menyukainya, pujian luar biasa akan didapatkan, namun saat tidak suka, komentar pedas bisa dengan mudah didapatkan. Tidak ada yang average atau abu-abu. “Kalau di Bandung, kami masih bisa menemukan seorang konsumen yang memberi bintang 1 di Google review tapi kemudian kirim pesan via DM Instagram dan meminta maaf karena sudah memberi penilaian tersebut,” ungkap Dinez diiringi tawa.

Menyentuh pasar Jakarta juga memberi kesadaran yang lebih tinggi lagi bahwa produk bukanlah satu-satunya variabel utama dalam industri F&B. Aspek hospitality menjadi hal yang juga digarap serius oleh Dailah. Pengalaman bersantap punya kaitan erat dengan produk itu sendiri. Mursi menekankan bahwa dalam pelayanan kelima indera harus berjalan. Mulai dari visual hingga penciuman. Standar-standar operasional dasar seperti greetings dan 3S (senyum, salam, sapa) diterapkan dengan standar yang lebih tinggi lagi seperti bagaimana menciptakan kehangatan, mengunci mata saat berbincang, hingga hal lainnya yang dibangun dengan matang. 

Terkait menu Bandung dan Jakarta yang juga terdapat perbedaan, ini juga menjadi salah satu strategi Dailah dalam menciptakan pengalaman makan yang berbeda-beda di setiap cabangnya ke depan. Mendorong konsumennya untuk memiliki rasa penasaran atas menu-menu yang berbeda di setiap cabangnya meski setidaknya 10 menu populer akan dipertahankan di setiap cabangnya.

Langkah Kecil untuk Menjadi Media

Perjalanan sosok-sosok di balik Dailah dalam mengeksplorasi kekayaan kuliner Indonesia ke berbagai tempat yang disertai pendalaman pada berbagai produk budaya, home industry, serta tokoh-tokoh yang mewarnainya memacunya untuk tumbuh menjadi sebuah media. Menjadi media untuk mengomunikasikan turunan-turunan kekayaan Indonesia tersebut kepada khalayak yang lebih luas. “Namun kami tidak bergerak ke arah komersil. Jika ada unique list yang belum dieksplorasi, kami justru bergerak ke arah sana,” Mursi menambahkan.  

Lahirnya jalan untuk menjadikan Dailah sebagai media ini tidaklah direncanakan sebelumnya. Ini merupakan respon Dailah terhadap budaya makan itu sendiri yang tidak lepas dari experience yang lengkap dan bagaimana makanan menjadi benang merah dari cabang-cabang produk budaya lainnya. Dailah kini bahkan memiliki person in charge tersendiri untuk beberapa pos ‘rubrik’-nya. Perwujudan Dailah sebagai media ini bukan hanya mengomunikasikan budaya secara online namun juga lewat beragam kegiatan kolaborasi yang dihadirkan di rumah Dailah.

Semangat ini salah satunya muncul dari fakta bahwa saat ini produk budaya seperti musik dan tarian sudah tidak menjadi satu-satunya lagi bentuk hiburan, sementara dulu kedua hal itu menjadi satu-satunya hiburan yang menjadikan regenerasinya berjalan. Karenanya Dailah ingin terus mempertunjukkannya agar lebih banyak masyarakat yang mengenal musik serta tarian yang sulit diakses jika kita tidak berkunjung ke tempat-tempat tertentu, sehingga nantinya demand untuk melihat hiburan tersebut akan ada dan menjadikannya lestari.

Keputusan Dailah untuk bermain di kolam pasar Jakarta nampaknya menjadi pilihan yang tepat untuk meningkatkan standarnya. Market Bandung yang cenderung aman dan konvensional bagi restoran 'makan tengah' keluarga khas Indonesia seringkali menjadi jebakan bagi para pemainnya untuk bermain di situ-situ saja. Langkah visioner untuk mengembangkan Dailah menjadi media yang kini sudah perlahan tergambar dari ragam aktivitas yang dihadirkan serta rubrik-rubrik khusus di laman Instagram-nya juga seakan memberi tantangan baru bagi restoran Indonesia lainnya untuk keluar dari sekadar narasi manis di buku menu atau caption media sosial.

R. Calvin Budianto

R. Calvin Budianto merupakan Head of Community di Feastin’. Memesan menu yang terdengar paling kompleks dan paling simpel adalah hobinya.

Previous
Previous

Gus Rai dan Kewibawaan Indonesia dalam Merek Hatten Wines

Next
Next

Lima Dekade Sarirasa: Gemah Ripah dan Titik Balik Merambah Eropa