Beyond the Heat: Sisi Gelap dari Dunia Dapur

Di balik spotlight dan glamornya dunia restoran, terdapat rahasia yang sepertinya tabu untuk dibahas ke permukaan. Sebuah "budaya" gelap yang seakan dinormalkan keberadaannya sebagai bagian dari rutinitas mencari kesempurnaan di atas piring.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk meminimalisir perlakuan tidak baik di dapur adalah dengan mengadopsi konsep open kitchen, di mana setiap gerak gerik dapat dilihat oleh tamu dan staf lain restoran. | Foto: Feastin’

Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk meminimalisir perlakuan tidak baik di dapur adalah dengan mengadopsi konsep open kitchen, di mana setiap gerak gerik dapat dilihat oleh tamu dan staf lain restoran. | Foto: Feastin’

“Saya dipeluk dari belakang dengan gelagat yang aneh, bagian leher, oleh staf pria yang lebih senior. Padahal waktu itu saya termasuk intern baru di dapur.” Terang Pasty Ivo, seorang wanita mantan pekerja magang di salah satu dapur resort bintang lima ternama di Pulau Bali kepada Feastin’. “Tentu saya kaget. Namun dari awal saya langsung tarik garis dan mengeluarkan statement kalau saya bukanlah cewek yang bisa digoda.”

Ivo tidak sendiri. Yang terjadi dengannya juga terjadi di belahan dunia lain, bahkan lebih parah. Salah satu yang menarik perhatian global adalah kasus yang menyeret nama celebrity chef dari Amerika Serikat, Mario Batali, di tahun 2017 hingga 2019  ketika media kuliner Eater menerbitkan pernyataan mengejutkan tentang Chef Batali yang melakukan pelecehan seksual kepada beberapa perempuan, termasuk tiga yang pernah bekerja di bawahnya. Kasus Batali ibarat sebuah kotak Pandora. Setelahnya, satu persatu kasus serupa menyeruak ke permukaan, membuka tabir yang selama ini menutupi industri restoran yang dikenal dengan glamor dan extravagant. Namun sebelum masuk lebih dalam, ada baiknya kita telusuri bagaimana bisa kultur kerasa seperti ini mengakar di dunia dapur restoran.

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Auguster Escoffier menciptakan sebuah hirarki sistem kerja di dalam dapur yang Ia namakan brigade de cuisine. Brigade de cuisine kreasi Escoffier berhasil membuat sistem kerja di dalam dapur semakin efisien dan memampukan sebuah hotel atau restoran menghasilkan banyak jenis makanan dengan standar kualitas yang sama-sama prima. Namun sistem ini juga punya efek samping. Escoffier mengambil prinsip hirarki ini dari skema militer Eropa, dengan rantai komando yang kuat dari atas hingga ke bawah. Belum lagi jam kerja yang intens, penekanan penuh kepada kesempurnaan, udara yang panas, ditambah pesanan yang terus menerus datang tanpa henti, tidak heran bekerja di dapur membuat adrenalin memuncak dan atmosfer menjadi tegang.

Alhasil, selama puluhan bahkan hampir 100 tahun dunia dapur didominasi oleh pria, membentuk sebuah kultur keras yang mandarah daging. Sebuah kultur yang memasuki abad ke-21 semakin terekspos di berbagai media, dengan sosok Gordon Ramsay di baris terdepan.

Tidak ada yang membantah prestasi chef asal Inggris ini dalam hal kualitas makanan. Bintang tiga Michelin pun disematkan di depan restoran Gordon Ramsay at Royal Hospital Road miliknya, belum termasuk yang lainnya di Eropa hingga Amerika Serikat, acara televisi yang Ia buat sukses, hingga buku masakan best-seller. Namun sebagaimana ditulis oleh media Vice, chef Ramsay punya andil melahirkan sebuah pemahaman yang memuliakan makian di dalam dapur kepada khalayak umum. Kritikus dari harian The Observer Jay Rayner, mengatakan dalam akun Twitternya di 2018 lalu bahwa sebuah kesalahan besar menganggap bahwa makian dan perlakuan kasar di dalam dapur adalah sebuah bentuk “pembentukan karakter”, karena yang dilakukan Ramsay hanyalah mengagungkan keduanya.

Ketika masyarakat merasa makian di dalam dapur sudah cukup keterlaluan, sebetulnya itu baru awalan dari perlakuan yang semakin gelap. Faktanya dunia restoran masih menyimpan rahasia yang selama ini tidak pernah dibicarakan, terlebih selama 10 tahun terakhir sosok chef dan industri restoran sedang dimuliakan lebih dari apapun. Rahasia gelap ini mulai muncul dan mendapat perhatian mata dunia seiring dengan ramainya gerakan #MeToo di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu. Ketika kabar mengejutkan mengenai perempuan-perempuan yang pernah di lecehkan secara seksual oleh Mario Batali masih hangat, tidak perlu menunggu waktu lama hingga The New York Times meluncurkan artikel investigasi tentang Ken Freidman, pemilik restoran The Spotted Pig, yang juga terlibat dalam tindakan pelecehan seksual kepada beberapa stafnya, mulai dari waiter hingga manager bar. Hingga pada pertengahan Oktober lalu, restoran Asia eklektik yang mendapat banyak pujian dari kritikus hingga sesama chef – Mission Chinese Food – terungkap kengerian yang terjadi di dalamnya. New York magazine mengemukakan dalam artikel yang ditulis pada bulan Oktober 2020 bahwa para chef restoran sering mengkotbahkan kebaikan, padahal yang terjadi di dalam restoran mereka sungguh berbeda.

“Saya tidak takut untuk bercerita tentang pengalaman saya ini. Justru saya mau agar semua orang kalau baca cerita saya sadar bahwa there is something wrong in the kitchen culture dan itu harus berubah.” Tegas Ivo kepada Feastin. Setelah tim Feastin’ melakukan wawancara kepada beberapa chef dan kepada mereka yang sudah tidak lagi bekerja di industri hospitality, faktor budaya rupanya jadi alasan.

“Mungkin saja tenggang rasa atau budaya lokal yang mengakar masih jadi jangkar yang menahan itu semua sehingga Indonesia tidak separah Dunia Barat.” Terang chef Woro Prabandari, mantan executive pastry chef hotel Grand Hyatt Jakarta. Chef Woro sendiri telah berkecimpung di dunia dapur hospitality sejak akhir dekade 1980. Menjadi wanita di dalam dapur yang berhasil naik menjadi orang nomor satu dapur pastry salah satu hotel termewah di Jakarta saat itu bukanlah perkara yang mudah. She seen it all, she witnessed it all. “Kalau soal verbal abuse itu sudah ada, bahkan dari awal saya masuk. Liar sekali,” kenangnya saat kami melakukan interview via Zoom.

“Namun di luar alasan bahwa dapur itu panas, selalu in a rush, mayoritas laki-laki, saya rasa perlakukan kata-kata kasar sudah tidak relevan lagi, apalagi kalau sudah sampai main tangan.” Chef Woro melanjutkan, bahwa kunci dari bagaimana kultur dapur itu terbentuk berada di tangan hirarki tertinggi. “Salah satu ‘ambisi’ saya untuk menjadi pastry chef adalah saya ingin mengubah pendekatan itu. Di dapur saya dilarang keras yang namanya verbal abuse apalagi fisik. Tidak ada dalam kamus saya. ” Lanjutnya.

Statement chef Woro sejalan dengan Aditya Muskita, chef yang pernah memimpin restoran Attarine dan Potato Head Jakarta. “Saya tahu betul soal culture seperti itu. Dan harus saya katakan bahwa saya menyesal pernah berlaku tidak baik di dapur.” Ia bercerita kepada Feastin’ bahwa pernah ada sebuah masa di mana pendekatan intense pressure Ia terapkan di dapur, sehingga makian dan atmosfer penuh tekanan yang berlebihan dirasakan oleh setiap staf. “Saya semakin stress dan justru hal tidak berjalan seperti yang saya inginkan ketika menerapkan cara yang seperti itu.” Ia mengakui. “Namun hal ini berbanding terbalik saat saya mulai menerapkan pendekatan yang lebih tenang namun tetap disiplin. Team mulai terbuka dan hasil kerja mereka jauh lebih baik. Memang pasti saya ada marahnya, tapi hanya ketika kesalahan terjadi, bukannya setiap saat.”

Perlakuan kasar di dalam dapur akhirnya berbalik menjadi bumerang bagi industri restoran . Bahkan di tahun 2014 chef-chef di Paris berkumpul untuk menyetujui manifesto agar tidak ada lagi tindakan kasar di dalam dapur. Chef Woro mengatakan, bahwa mereka yang mungkin mengalami kitchen abuse bisa melakukan eskalasi laporan secara intenal di restoran maupun hotel tempat mereka bekerja. “Saya selalu ingin mengingatkan kepada rekan-rekan bahwa kita sebagai pekerja itu dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan yang telah sah di bawah hukum negara. Peraturan Ketenagakerjaan Pasal 86 Ayat 1 Undang-Undang No 13 tahun 2003 menyatakan dengan jelas bahwa pekerja berhak untuk mendapatkan perlindungan moral dan kesusilaan. Jadi tidak usah takut!” Tegasnya.

Di masa sekarang, industri restoran sudah semakin inklusif. Manusia dari berbagai latar budaya dan suku dunia sudah bisa bekerja di bawah satu atap restoran yang jauh dari Tanah Airnya. Restoran-restoran terbaik dunia tidak lagi didominasi oleh Dunia Barat dan kulturnya. “Menjadi sensitive secara kultur itu penting. Buat kita mungkin sebuah candaan itu biasa, tapi belum tentu buat orang lain yang punya latar yang berbeda. Kalau dapur mau maju, kita harus juga memperhatikan hal yang sensitive tersebut.”

Membangun kultur dapur yang positif dan saling membangun tanpa adanya perlakuan yang tidak pantas justru semakin diperlukan dengan semakin banyaknya jumlah anak muda yang memilih bekerja di industri restoran dan hospitality. “Adalah hal yang berbahaya, terlebih bagi anak-anak magang atau anak baru yang masuk ke dapur. Jangan sampai mereka berpikir bahwa kultur yang sebenarnya adalah yang kasar ini. Padahal banyak pendekatan yang lebih baik lagi. Jangan sampai mereka jadi trauma untuk bekerja di industri yang dikenal dengan keramah tamahan dan pelayanan prima.” Ujar chef Woro. Karena pada dasarnya diperlakukan secara manusiawi adalah hak setiap pekerja, tidak terkecuali mereka yang ada di dalam dapur.

Artikel ini mengikuti kode etik Feastin’. Setiap narasumber yang kami cantumkan namanya telah menyetujui atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan untuk dapat disebutkan namanya dalam artikel.

Allysa Rismaya

Allysa Rismaya adalah culture food writer merangkap tukang kebun yang terobsesi untuk menjajal aneka sambal.

Previous
Previous

Careers for Food Enthusiast

Next
Next

Lezatnya Distrik Kuliner Tionghoa Jakarta