Review: Pò SupperKlab

Bergaya Tionghoa eklektik, restoran dan bar Pò SupperKlab ramaikan Cikini.

Steamed egg custard dengan tobiko. | Foto oleh Feastin’

Saat mengetahui Cikini kedatangan pemain trendi yang basis awalnya adalah komunitas anak muda di Jakarta Selatan, tentu saya pikir hal ini akan jadi sentuhan menarik untuk distrik legendaris tersebut. Gambaran nuansa nostalgia masa kolonial hingga detik ini masih melingkupi wilayah ini. Buktinya, para benteng kuliner tempo dulu seperti Restoran Trio, Bakmi Gondangdia, Kikugawa, sampai Es Krim Tjanang yang tersembunyi di lobi Hotel Cikini masih bertahan diterpa pergantian zaman. Di sepanjang ruko sejajar dengan Kantor Pos, Bakoel Koffie dan Kedai Tjikini inilah restoran baru itu berani hadir.

Bagi penikmat mie Jakarta Selatan yang tidak seberuntung mereka yang tinggal di Jakarta Barat dan Jakarta Utara – di mana warung mie sudah seperti minimarket yang ada di hampir tiap sudut jalan – Pò Noodle Bar di teduhnya Kebayoran Baru tentu sudah pencapaian yang besar. Toko bakmi hipster ini hadir di masa yang sama dengan munculnya Bakmi Tiga Marga dan Demie Bakmie 69, sebuah gerakan yang seakan meneriakkan “Jakarta Selatan juga bisa punya bakmi lezat!” Namun kali ini, pemilik Pò Noodle Bar tidak membawa kedai mi mereka ke Menteng. Mereka justru menantang diri saat menghadirkan restoran bernapas makanan Tionghoa eklektik, di salah satu tempat terbaik di Jakarta untuk mencari masakan Tionghoa klasik.

Ruang makan utama. | Foto oleh Feastin’

Kami hadir di ruang makan yang apik. Desainnya menunjukkan bagaimana rupanya kalau film The World of Suzie Wong dibuat ulang di tahun 2022. Bukan produk Pò namanya kalau tidak didatangi oleh tamu dengan ciri-ciri seperti berikut: Pria berusia 30-an, kaus agak gombrong sedikit, celana sedikit baggy, sepatu sneakers. Mereka seperti muncul dari halaman majalah hipster atau duta toko streetwear. Pò SupperKlab tidak bermain aman. Mereka menghadirkan menu interpretasi sendiri terhadap masakan Tionghoa. Ada masakan Tionghoa yang ditiup dengan napas Nikkei Amerika Latin: Beef bacon dumpling, dengan jalapeno, dan miso mustard; Tionghoa dan Jepang: Steamed egg custard, dengan tobiko; Atau Tionghoa dan . . . steakhouse (?) ketika menyajikan porterhouse steak.

Dengan perut yang cukup lapar di hari yang mendung, kami pesan chicken lollipop, beef bacon dumpling, steamed egg custard, PSK mapo tofu, dan nasi goreng bebek serta setengah ekor bebek panggang. “Tentu bebeknya signature kami. Kami buat sendiri.” Ujar salah seorang staf. Pò SupperKlab sungguh punya nyali. Ketika bicara Cikini, orang tak mencari makanan eksploratif. Mereka mencari sesuatu yang aman, nyaman, dan familiar selama puluhan tahun. Terlebih masakan Tionghoa. Cikini diberkahi dengan banyak restoran Tionghoa di hampir tiap sudutnya. Restoran Trio, Restoran Paramount, Bakmi Gondangdia, Redezvous, dan yang baru-baru saja tutup, salah satu restoran Tionghoa tempat para Bapak Bangsa menyantap hidangan sedap, Cahaya Kota. Menghadirkan Pò SupperKlab di sini entah sesuatu yang jenius atau sebuah tindakan gegabah.

Beef bacon dumpling dengan miso mustard. | Foto oleh Feastin’

Wangi tajam menyentil hidung saat irisan tahu dan jamur salju yang disiram kuah Sechuan hadir di meja. Kuahnya asam, pedas, gurih, sebagaimana sebuah makanan Sechuan seharusnya. Namun tahu itu masam, mirip dengan asam fermentasi hampir seperti kimchee. Kami berpikir keras, “Apa iya tahu se-asam ini?” Nasi goreng hadir dengan bulir-bulir pecah sebagaimana seharusnya. Ada aroma seperti gosong yang sopan khas gongsengan wajan, belum lagi renyah kulit bebek dan gurihnya lemak bebek — sungguh nasi goreng yang layak untuk disantap lagi dan lagi. Disusul dengan steamed egg custard yang ramai rasa dan tekstur di lidah, menyenangkan. Sampai di sini, sepertinya kami mulai paham yang Pò SupperKlab ingin hadirkan. Restoran ini punya nyali seperti Mister Jiu’s, restoran Tionghoa modern yang bermodal nekat mendirikannya di tengah Pecinan San Francisco, namun dengan gaya masakan yang lebih mendekati Mission Chinese Food karya Danny Bowien di kota New York.

Tapi saat kami hadir, salah satu hidangan yang harusnya jadi bintang malah tak memenuhi janji. Daging bebek datang dengan warna abu-abu polos dan tak mengkilap dagingnya. Hal ini menandakan satu hal: Kecenderungan kering cukup tinggi. Di dunia Barat, memang hewan buruan seperti bebek, burung dara, venison, tidak bisa disajikan sepenuhnya matang. Harus ada sedikit rona merah muda. Namun untuk bebek panggang ala Tionghoa, tak perlu merah muda, cukup dilihat dari intisari yang merembes dan melapisi dagingnya,memberi kilau yang sedap dipandang. Bebek di sini juga bisa lebih harum lagi, mengingat mereka membuatnya sendiri dan punya kebebasan untuk bermain dengan aroma serta seberapa banyak bumbunya.

Udang bakar yang kami pesan disajikan bersama olesan berbasis black garlic. Manis, gurih, aroma tengik yang menawan seperti persimpangan antara kopi dan keju mendampingi udang yang sudah manis dan smokey. Saat kami ingin beranjak dari kursi, kami baru sadar satu hal: Kami sejak tadi memesan chicken lollipop, yang seharusnya jadi menu paling mudah untuk diolah (walau akhirnya diberikan ke kami sebelum keluar restoran dalam bentuk take away). Restoran ini tentu masih memerlukan waktu untuk beroperasi maksimal dan memperbaiki sisi servis dan fokus konsep makanan. Tapi di sisi lain, keberaniannya bermain dengan cuisine yang punya pakem ribuan tahun harus diapresiasi. Ada satu hal yang tersirat dari kunjungan kami: Mungkin sudah waktunya Cikini bersolek kembali. Melihat desain kontemporer Taman Ismail Marzuki yang hampir usai, hadirnya Bonbin Terrace di Tjikini Lima, merenungkan lagi keberanian Pò SupperKlab, adalah hal yang tak mungkin kalau Cikini – dan Menteng secara menyeluruh – akan kembali jadi magnet untuk generasi baru bersantap ria.

Cari pintu ini untuk dapat masuk ke restoran. | Foto oleh Feastin’

Pò SupperKlab

Jl. Cikini Raya No.37 B, Jakarta Pusat. (Satu jalan dengan Pos Indonesia)

Opening Hour: 11:00 – 21:00

Recommendation: Steamed egg custard, duck fried rice, steamed fish.

Details: Not your grandmother’s Chinese restaurant. Tidak cocok untuk lansia dan tak punya akses untuk disabilitas. Punya sudut bar yang menawan.

Setiap kolom penulisan Eating Out telah mengikuti kode etik Feastin’.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Iron Fist: Nakal yang Menyenangkan

Next
Next

Legit Lembut Ayam Goreng Mardun Martinah