Legit Lembut Ayam Goreng Mardun Martinah

Bersantap di rumah makan ayam goreng yang berusia lebih dari setengah abad.

Seporsi ayam goreng di Rumah Makan Ayam Goreng Madun Martinah. | Foto oleh Feastin.

Saat berkendara melewati Jalan Taman Sari, mata saya sempat tertuju pada plang kayu sederhana bertuliskan Ayam Goreng Madrun Martinah. Suatu hari saya akan mampir ke sini, pikir dalam waktu waktu itu. Hari yang ditunggu itupun datang. Di hari Minggu pagi, saya memantapkan niat untuk menaiki MRT ke Bundaran HI, lalu disambung dengan ojek online agar sampai ke sini.

Lokasinya sangat tersembunyi, plang kayu kecil, dekat dengan stasiun kereta Sawah Besar. Saya yakin peluang untuk melihat papan nama rumah makan ini satu banding puluhan kali. Meja makan di sini unik sekali. Berbentuk memanjang dan saling berhadapan dengan meja di seberang, sementara di tengahnya adalah lorong kecil untuk pramusaji mondar mandir mengantar hidangan khas Ayam Goreng Mardun Martinah.

Saya pesan ayam goreng tentunya, dengan acar timun besar-besar. Sembari menunggu pesanan, mata saya menyusuri dinding yang berhias foto-foto ibu Martinah dengan ragam sosok. Namun yang paling memikat mata saya adalah foto beliau dengan suami dipajang dengan penuh kebangaan di belakang kasir. "Romantis sekali ini, sehidup semati berjualan ayam goreng." Pikir saya sejenak sebelum dibuat sadar oleh empat potong ayam yang diantar ke meja.

Jangan bayangkan kulit yang renyah atau kremesan yang menggelora. Ayam goreng di sini adalah ayam kampung atau pejantan berukuran sedang, dimasak dalam kaldu penuh bumbu, yang kemudian digoreng sangat sebentar dengan minyak sangat panas untuk menghasilkan lapisan luar yang legit. Tiap sudut berkilau, menandakan daging yang masih lembab. Disajikan dengan sambal kacang dan acar, saya siap menyantap.

Ruang makan dengan kursi memanjang. | Foto oleh Feastin’

Sesaat, teksturnya mengingatkan saya dengan ayam pop ala Minangkabau, tak lama kemudian disusul oleh aroma kunyit dan bawang putih yang umum dari karakter ayam goreng ala Sunda. Dagingnya lebih lembut dari ayam goreng kampung manapun di Jakarta. Legit, lembab, basah, kaya dengan intisari yang memuaskan. Sambal kacang di sini juga cenderung asam dan gurih, alih-alih manis. Namun jadi sempurna saat disantap bersamaan dengan acar timun yang bumbu rendamannya mirip pesmol: Segar dan menyeimbangkan legitnya ayam.

Agak aneh karena saya sama sekali tidak rindu dengan tekstur renyah yang biasa didapat pada ayam goreng. Tak sadar, saya sudah menghabiskan empat potong besar kombinasi dada dan paha. Di sini juga tersedia nasi campur Betawi, yang berisi semur kentang, bihun, sayur, nasi. Sembari menunggu taksi, saya bertanya dengan sesosok pria di depan rumah makan, “Apa bedanya yang di sini dengan bernama sama di Mangga Besar?”

Dengan senyum geli, Ia menjawab, “Mangga Besar punya istri kedua, ini yang asli, jadi bukan cabang.”

Ada apa gerangan dengan ayam goreng dan perceraian? Rupanya kisah seperti ini tak hanya dimiliki restoran Suharti. Dengan perut kenyang, hati senang, saya pulang dengan prinsip baru dalam hidup: Jangan berbisnis ayam goreng ketika menikah.

AYAM GORENG MARDUN MARTINAH

Jalan Taman Sari Raya No.17C, Sawah Besar.

Jakarta Barat.

Opening Hour:Senin - Minggu, 09:30 – 20:00

Recommendation: Ayam goreng dan acar

Details: Sedikit ruang parkir. Duduk memanjang.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Review: Pò SupperKlab

Next
Next

Bersantap di August