Kota Ini Butuh Locavore NOW untuk Menutup Tahun

Mengejutkan, menegangkan, menyenangkan: Sebuah ekspedisi penemuan cita rasa baru melalui 17 hidangan.

Kartu menu Locavore NOW

Kartu menu Locavore NOW

"Ini telur semut, rasanya seperti keju brie. Ada gurihnya dan sedikit creamy." Terang Eko, tim Locavore dengan semangat di counter serangga. "Untuk memakannya, ambil tongkat kayu, celup ke madu, lalu celup lagi ke campuran bawang putih dan telur semut ini." Kami melakukannya, dengan sedikit was-was tapi penasaran. Inilah ritual yang harus dilalui oleh setiap tamu yang datang sebelum masuk ke ruang makan utama. Manis, gurih, ramai tekstur, rupanya sama sekali tidak menakutkan malah menyenangkan. Di ruang makan utama yang bak hutan belantara, kami juga tidak boleh duduk langsung. Ray Adriansyah - chef dan co-owner Locavore - berdiri dengan mangkuk penuh bunga kamboja di depannya. "Ini snack berikutnya. Bunga kamboja yang kami goreng." Di cocol dengan emulsi madu lalu hilang dalam gigitan, alih-alih klenik malah eklektik. Disusul dengan daun sirih muda, semangka yang dehydrated, bawang putih goreng, dan sejumput garam laut, meriah, membuat kami duduk ke meja sudah dengan mulut penuh letupan rasa dan aroma padahal rangkaian makanan utama baru akan dimulai.

Setelah gelas kami penuh dengan air mineral still dan sparkling, hidangan pertama hadir. Jagung muda yang dilapisi dengan bubuk laron yang dikeringkan, emulsi dari kopi dan miso, serta reduksi dari kopi. Piring makanan ini diikuti dengan selembar kartu sketsa bergambar jagung, melengkapi booklet panduan kecil yang diberikan dari awal kami masuk restoran sebagai panduan. “Ide dari hidangan ini adalah kenangan makan jagung bakar sambil minum kopi,” ujar chef Chandra, tim dari Locavore yang ikut menyajikan. Rasa gurih dan intens dari kopi menghantam langit-langit mulut, namun dengan cepat ditenangkan oleh manisnya jagung dan creamy-nya emulsi miso. Adalah kemampuan yang cakap ketika chef dapat mengambil sedikit-sedikit elemen dari sebuah kenangan, lalu diterjemahkan ke dalam kreasi masakan. Walau memang tidak bisa ditemukan kesamaan dari nyamannya makan jagung bakar sambil minum kopi dengan hidangan yang baru saja kami santap, kami dapat memahami gambaran besarnya.

The Dining Room di Hotel Raffles Jakarta disulap menjadi hutan khusus untuk event Locavore NOW | Foto: Natasha Lucas

The Dining Room di Hotel Raffles Jakarta disulap menjadi hutan khusus untuk event Locavore NOW | Foto: Natasha Lucas

Saat sepiring The Mud Crab sampai ke depan kami, bentuknya sangat sederhana, tepat berada di tengah-tengah kolam veloute. Veloute rupanya terbuat dari miso dan jagung yang telah melalu proses nikstamiliasi layaknya masa untuk tortilla di Meksiko. Walau bentuknya sederhana, tidak dengan rasanya. Veloute yang lembut itu semakin berkarakter dengan paduan miso gurih dan jagung yang entah mengapa jadi lebih punya rasa dan aroma yang kencang, jadinya seperti menyeruput susu yang amat lezat. Belum lagi ketan dan kepiting yang manis dan bertekstur sedikit kenyal, paduan keseluruhannya seperti merasakan pelukan seorang ibu – hangat dan menenangkan.

Tidak terasa kami telah melewati cukup banyak hidangan, dari gurita yang disajikan dengan saus mole kluwek, sampai nasi galuh yang disiram dengan rempah vadouvan yang semilir aroma kelapa. Booklet sketsa tumbuhan yang memenuhi meja, suasana ruang makan yang seperti hutan buatan, kami merasa seperti kumpulan ahli botani dari Royal Botanic Society di era Victoria abad ke-19. Namun alih-alih menemukan spesies tumbuhan baru yang punya manfaat untuk sains dan masyarakat luas, kami malah menemukan cita rasa baru dari bahan baku yang umum ditemukan di khazanah masakan Indonesia.

Ketika di awal kami rasa masing-masing punya karakter kuat yang lebih baik dari sebelumnya, namun ternyata kami salah. Justru masing-masing hidangan seperti punya fungsi saling melengkapi dalam rangkaian ini, layaknya sebuah film seri yang tidak mungkin lengkap tanpa satu episode saja. Setiap menu yang datang justru membuat kami penasaran dengan menu yang berikutnya.

Namun selain kami diberikan kejutan oleh pengolahan rasa baru, kami juga sekaligus ditantang. Seperti saat hati sapi yang dibuat jadi pastrami serta otak sapi yang di-breading oleh campuran koji dan digoreng, kedua komponen itu membuktikan ke kami kalau menyajikan sapi bukan hanya daging saja. Pastrami hati sapi tersebut punya tekstur yang menarik, seperti lidah sapi tipis, sedikit kenyal, namun dengan mudah hilang ditelan. Sementara kontras antara otak sapi yang lembut dan lumer bersama dengan renyahnya lapisan koji yang umami di bagian luarnya seperti tempe, sungguh rupawan.

Beef heart pastrami dan otak sapi disajikan dengan saus gribiche ala Locavore NOW | Foto: Natasha Lucas

Beef heart pastrami dan otak sapi disajikan dengan saus gribiche ala Locavore NOW | Foto: Natasha Lucas

Ada pula hidangan bebek dua versi, yang satu dada bebek yang disajikan dengan carrot ribbon yang dipanggang di lemak bebek dan reduksi dari wortel dan dashi, serta yang satu lagi sosis bebek dengan saus dari citrus dan sari bebek yang dikentalkan dan puree wortel. Menariknya, walaupun sosis dan dada bebek yang seksi itu dimasak tanpa cela, perhatian kami justru jatuh kepada sang pendamping yaitu bagaimana wortel tersebut diolah. Terkadang – seperti film – pendamping justru muncul lebih kuat. Rasa wortel yang manis, sedikit smokey, lalu untuk reduksi wortel dengan dashi malah memunculkan aroma dan rasa seperti apricot, layaknya Spock yang terkadang muncul lebih kuat dari Capt. Kirk di Star Trek.

Kami makan, tertawa, dikejutkan, tertawa, makan, dikejutkan – ritme malam itu di mana kami terus dibuai dan dibuai dan dibuai oleh penemuan baru tanpa henti melalui hidangan demi hidangan yang tampil. Adalah sebuah hal yang menyenangkan bila makanan bisa menantang cara pandang penulis atau kritikus makanan, dan malam ini di Locavore NOW sejak awal kami menginjakkan kaki hingga suapan terakhir di piring, kami tertantang. Kami ditantang untuk meredefinisi kembali apakah yang dimaksud dengan kata lezat. Apakah selama ini sesuatu yang lezat terjadi karena kami sudah familiar? Ataukah kami baru saja dihadapkan dengan rangkaian penemuan baru dari segi pengolahan bahan baku sehingga pemahanan kami akan sesuatu yang lezat dituntut untuk berkembang?

Bahkan menurut kami, selama mencoba Locavore beberapa kali di Ubud dan di Jakarta, ada beberapa hidangan malam ini jadi salah satu kreasi terbaik mereka. Namun di luar eksplorasi rasa yang sarat kejutan, kami kagum dengan semangat yang dimiliki oleh seluruh brigade Locavore. Kami perhatikan melalui media sosial, sejak pandemi terjadi, Locavore tidak mau tinggal diam. Dari front of the house hingga tim dapur, semangat dan determinasi tinggi mereka tunjukkan tanpa cela. Mata mereka berbinar, gerak tubuh mereka penuh energi, seakan tidak ada hal buruk yang terjadi di 2020 ini.

Sungguh menyenangkan hati mengingat bahwa Locavore NOW hadir justru di kala pandemi. Saat karbon dan mineral berada dalam tekanan tinggi, lahirlah berlian. Saat buah zaitun ditekan dan diperas, Ia memunculkan minyak murni. Berlian dan minyak melambangkan kreativitas Locavore di masa sekarang: A treasure born out of pressure.

Kami tidak ingin membongkar semuanya kepada kalian para pembaca. Kami mendorong kalian yang membaca ulasan ini untuk mengalami sendiri apa yang kami alami di Locavore NOW yang berlokasi di Hotel Raffles Jakarta. Sungguh sebuah perhelatan yang dibutuhkan Jakarta untuk mengakhiri tahun 2020.

LOCAVORE NOW

The Dining Room, Hotel Raffles Jakarta, Jalan Prof.Dr.Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan.

Opening Hour: Dinner only, by reservation only. 4 Desember 2020 hingga 17 Januari 2021. Sila mengontak tim Hotel Raffles Jakarta atau Locavore.

Details: Locavore NOW bukanlah tempat untuk membawa anak kecil atau manula. Kami juga tidak menyarankan apabila kamu ingin membuat konten secara masif di sini, karena dapat mengganggu experience dining tamu lain.

Instagram: @RestaurantLocavore

Setiap proses dalam kolom Eating Out mengikuti kode etik yang telah ditetapkan.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

A Lesson Learned from Tori-Yo: When Influencers Got it Right

Next
Next

Jayson’s Meats is a Smokin Treasure