Pasta dan Karantina

Cerita Priska Astasari menemukan oase di tengah pandemi: Kegiatan baru mengolah pasta dari nol.

Gnocchi pasta buatan Priska. | Foto koleksi penulis.

Gnocchi pasta buatan Priska. | Foto koleksi penulis.

Mungkin sudah tak mengherankan ketika mendengar orang tiba-tiba memiliki hobi baru semenjak pandemi dengan lockdown dan karantina yang berjilid-jilid. Memasak, baking, bercocok tanam, bersepeda. Itu baru segelintir yang malang melintang di Instagram saya. Saya pun bukan pengecualian, turut mencari hobi baru. Hobi yang bisa mengisi mayoritas waktu yang sekarang harus dihabiskan di rumah. Atau bahkan, bisa dijadikan semacam proyek guna memberi semangat melewati lockdown.

Mata saya melirik pada satu set perlengkapan membuat pasta yang baru dihadiahkan kantor. Isinya cukup beragam: Cetakan-cetakan untuk ravioli dan gnocchi, tepung, minyak zaitun dan juga bumbu pesto. Di sini, lockdown jilid dua akan segera dimulai. Dari sejak awal rumor lockdown yang akan kembali muncul, saya terpikir untuk mencoba membuat pasta sendiri. Kebetulan sekali saya mendapat kado ini. Seakan-akan alam semesta tengah memberi pertanda agar saya benar melakukan itu. Walau rasanya, sungguh ambisius sekali! Saya bahkan tak pernah membuat saus pasta dari nol. Tak ada darah Italia mengalir di tubuh saya. Tak ada nonna — sang nenek yang piawai membuat pasta – yang dapat mewariskan cara membuat pasta pada saya.

Saya tidak tumbuh dengan pasta sebagai makanan sehari-hari. Patokan cita rasa pasta favorit saya adalah fettucini carbonara, menu dari fast food pizza ternama di Indonesia. Ham sapi garing, saus dengan jamur kancing dan krim yang tak terlalu berat. Rasanya mengingatkan pada masa kecil saya, ketika sekali-sekali Ibu menawarkan pesan antar pizza. Saya ingat sewaktu hendak berangkat meninggalkan Indonesia, Ibu sempat mengajarkan saya cara membuat fettucini ini. Kedengarannya mudah: Masukkan susu, keju, ham, fettucini kotakan yang sudah direbus. Tetapi, seperti hampir semua resep yang Ibu berikan sebelum saya pergi, ujung-ujungnya buatan saya tak pernah selezat itu.

Lalu, bagaimana bisa saya hendak membuat pasta sendiri? Dari awal pula?

Mulai penasaran, saya pun mencari tahu tentang proses membuat pasta. Membaca tentang pembuatan pasta terasa seperti membuka kotak pandora. Italia terdiri dari berbagai daerah yang bahkan beberapa belum pernah saya dengar sebelumnya. Setiap daerah ternyata memiliki bentuk pasta khasnya sendiri-sendiri. Beda-beda bentuk pasta juga ada kaitannya dengan saus yang biasanya dipadukan.

Sekilas, bahan membuat pasta tidak terdengar serumit dan sebanyak nama-nama bentuk pasta.

Bahannya sesederhana tepung, telur, air, serta minyak zaitun. Akan tetapi, dalam kategori tepung terigu sendiri, ada berbagai jenis yang saya baru ketahui. Sungguh, seumur-umur saya kira tepung terigu hanya ada satu jenis: Si tepung dengan lambang segitiga birunya yang terkenal itu (setidaknya, itu yang dulu selalu ada di kabinet dapur rumah saya). Ternyata, ada pula tepung yang dinamakan tepung 00, yang biasa digunakan untuk adonan pasta yang dicampur dengan telur. Tepung 00 ini digiling sangat halus dan memiliki kandungan gluten yang lebih rendah. Lalu, ada tepung semolina, yang digunakan untuk adonan pasta tanpa telur. Semolina terbuat dari gandum durum yang digiling, dan memiliki warna agak kekuningan.

Secara garis besar, proses membuat pasta dimulai dengan mencampur tepung dengan air atau telur. Biasanya, satu telur untuk 100 gram tepung. Setelah tercampur, adonan mulai diuleni alias kneading. Kneading penting dalam pembuatan pasta. Paling tidak sepuluh menit diperlukan agar jaringan gluten terbentuk dan pasta kenyal. Setelahnya, adonan harus didiamkan minimal 30 menit. Dalam proses ini, jaringan gluten yang sudah terbentuk akan menjadi rileks sehingga adonan tidak hancur ketika mulai dibentuk.

Jika dihitung, proses membuat adonan pasta saja bisa memakan waktu sampai satu jam. Astaga. Dalam rumus saya, masak itu paling lama 30 menit. Saya terbiasa melihat Ibu yang harus membagi waktu antara bekerja dan mengurus anak-anak - termasuk memasak. Kata Ibu, masak itu yang mudah-mudah saja, paling lama 30 menit. Seperti hampir kebanyakan orang, saya terbiasa hidup dalam tempo cepat pula. Seakan dalam kepala ini sudah penuh dengan rentetan to-do list dan agenda yang penuh, sehingga tiap menit sungguh berarti. Memasak pasta dari scratch jelas tidak termasuk dalam ‘memasak cepat’ standar saya dan Ibu.

Pun demikian, jika dipikir-pikir, membuat pasta merupakan aktivitas yang selaras pula dengan topik yang belakangan dibicarakan oleh orang sekitar saya (tentu, selain pandemi yang tak kunjung kelar). Slow living. Bagaimana orang mencoba untuk hidup lebih ‘lambat’. Bagaimana mindfulness semakin terasa penting. Salah satunya bisa dengan lebih sadar pada barang apa yang kita miliki dan apa yang hendak kita beli. Sadar dengan makanan apa yang hendak kita makan dan tahu kurang lebih bahan-bahan di dalamnya. Saya baru mendengar adanya gerakan slow food, yang ternyata ada kaitannya dengan pasta. Gerakan tersebut tercetus di Italia, saat Carlo Petrini memprotes pembukaan McDonalds pertama di Spanish Steps di Roma. Cara ia protes yakni dengan membawa semangkuk penne sembari berseru, “Tidak pada fast food, ya pada slow food”.

Mungkin, praktik membuat pasta bisa menjadi latihan saya untuk lebih pelan-pelan dalam hidup. Lebih memiliki kesabaran. Mungkin juga, saya terlalu mengada-ada.

Setelah adonan usai diistirahatkan, lantas tiba bagian favorit saya yaitu membentuknya. Belakangan saya mengikuti akun yang mengulas pasta making seperti @pastagrannies dan @pastasocialclub. Dari situ saya belajar bentuk-bentuk pasta yang tak pernah saya dengar sebelumnya, dan yang bisa dibuat tanpa bantuan mesin canggih. Dari yang semudah tagliatelle — kembarannya fettuccini tetapi lebih lebar. Ada orrechiettte, yang artinya kuping-kuping kecil. Ada lorighittas, yang bentuknya seperti cincin. Ada pezzetteli, yang sekilas mengingatkan saya dengan kartu domino. Gemas-gemas sekali! Membentuknya tampak seperti tengah bermain Play-Doh yang akhirnya bisa dimakan.

Akan tetapi, ah, mari kita mulai membuat pastanya besok saja. Belajar teori dari pasta making saja sudah membuat satu hari karantina berlalu. Meski toh, sayangnya hari-hari dalam lockdown ini sepertinya masih terus berlanjut.  

Priska Astasari

Teknisi R&D di pabrik kopi yang gemar membicarakan makanan, terutama saat sedang rindu rumah. 

http://www.foodobviously.wordpress.com
Previous
Previous

Atraksi Sebuah Martabak Telur

Next
Next

Merindukan Santapan dan Pengalaman di Pulau Seribu Pura