Merindukan Santapan dan Pengalaman di Pulau Seribu Pura

Cerita M. Pancho tentang rasa rindu akan makanan dan menjadi manusia di Bali.

Sate Plecing Bali. | Foto oleh M.Pancho

Sate Plecing Bali. | Foto oleh M.Pancho

Manusia adalah makhluk perasa. Salah satu perasaan yang biasa menaungi kita sebagai manusia adalah rindu atau bahasa sehari-harinya “kangen”. Rasa satu ini, jika sudah merasuk di dada, membuat kita jadi sering berkhayal, susah tidur, susah konsentrasi, dan mungkin susah makan.

Kita manusia punya hak untuk rindu akan apa saja. Rindu manusia lainnya, rindu benda, rindu tempat, sampai rindu pengalaman, semua sah-sah saja hadir di dalam diri. Tidak pernah ada yang melarang rindu karena rindu itu gratis. Melepas rindunya baru mungkin perlu bayar.

Bicara soal rindu, saya tipe orang yang suka memanjakan rindu. Saya senang berlama-lama dalam kerinduan dan menikmati kerinduan itu. Lucunya, rindu yang saya nikmati bukanlah rindu pada orang lain, melainkan pada hal yang bisa  saya santap.

Bagi saya makanan adalah hal yang paling pantas untuk dirindukan. Sebab, tak seperti manusia yang bisa mengecewakan hati, makanan selalu memuaskan. Makanan selalu menyejukkan perasaan. Sekalipun menemukan makanan yang tidak enak, saya tetap bersyukur karena setidaknya sudah bisa menumpas lapar.

Bali atau yang dikenal dengan Pulau Seribu Pura, mungkin memang bukan tempat saya dilahirkan. Tapi, pulau satu itu menjadi tempat saya bertumbuh dari kecil sampai tamat SMA. Di pulau cantik itu, saya diterima dengan sangat baik. Saya belajar, bermain, bergaul, sampai berantem, semuanya terjadi di Bali dalam kurun waktu belasan tahun. Wajar dong jika kemudian saya merasa bahwa Bali adalah kampung halaman saya. 

Dari sekian banyak yang saya rindukan tentang Bali, makanan selalu menempati urutan pertama. Sudah banyak sekali makanan khas Bali yang saya santap selama belasan tahun hidup di sana. Saya belum menemukan satu pun yang mengecewakan hati.

Hari ini saya sudah lebih dari satu dekade hijrah dari Bali ke Jakarta. Di Jakarta, saya menemukan beragam makanan khas Nusantara yang bertebaran di mana-mana. Meski kebanyakan sudah saya coba, makanan khas Bali masih tetap menempati ruang terbesar di relung hati.

Sampai detik ini, setiap hari saya masih rindu Bali dengan makanan yang selalu bisa memanjakan lidah, perut, dan hati. Banyak sekali yang bisa saya ceritakan soal itu. Namun, kali ini saya hanya akan berbagi tentang tiga makanan yang paling saya rindukan dari Pulau Seribu Pura.

Lumpiang

Embus angin laut di Pantai Sanur, anak-anak yang berlarian di Lapangan Puputan, dan murid-murid yang beristirahat di kantin SMA Negeri 1 Denpasar. Tiga hal itu akan langsung muncul dalam kepala saya setiap kali menyebut lumpiang. Aneh ya? Menyebut makanan, tapi yang diingat adalah pengalaman.

Tapi begitulah adanya. Ketika bicara soal makanan, ternyata yang terekam dalam benak manusia tak sekadar enaknya rasa makanan tersebut. Ada juga ingatan akan pengalaman saat makan. Siapa yang diajak makan bersama, siapa yang ditemui, dan ada kejadian apa saat kita makan.

Secara sederhana, lumpiang adalah jajanan khas Bali yang mirip dengan lumpia Semarang, tapi dengan isian dan saus yang berbeda. Di Bali, lumpiang berisi sayuran tauge dan wortel yang diiris tipis, diolah dengan cara digoreng. Untuk menikmatinya, lumpiang ini akan digunting di atas kertas nasi yang sudah dibentuk seperti mangkok. Lumpiang kemudian akan ditaburi potongan cabai rawit hijau dan disirami saus yang terbuat dari tauco manis.

Saya paling suka menikmati lumpiang di pinggir pantai. Salah satu pantai yang paling sering saya serbu untuk berburu lumpiang tentu saja Pantai Sanur. Setelah lumpiang hangat ada di tangan, saya akan duduk di atas pasir, dekat dengan garis pantai. Sembari menyuap lumpiang ke mulut, saya memandangi orang-orang yang asyik bermain air. Kadang kala angin laut menggoda saya untuk melanjutkan acara dengan ikut berenang. Sehabis berenang, saatnya untuk menyantap lumpiang hangat lagi!

Nasi Jinggo

2 Nasi Jinggo.jpg

Nasi Jinggo merupakan makanan sejuta umat. Kalau di Jawa ada nasi kucing, di Bali ada nasi jinggo. Sekepal nasi putih dibungkus dalam daun pisang atau kertas nasi. Di dalam situ, nasi ditemani oleh mie goreng, ayam sisit (ayam suwir pedas), orek tempe, telur dadar yang diiris tipis atau telur rebus, dan sambal yang alamak nikmatnya.

Nasi yang dijual dengan harga murah ini (mulai dari Rp1.500 per bungkus) bisa kita temukan di berbagai sisi jalan di Bali. Biasanya, orang Bali menjajakan nasi jinggo dengan sepeda atau dengan menggelar meja di pinggir jalan. Kerupuk usus ayam, kacang atom, dan kacang kedelai goreng sering hadir menjadi teman tambahan untuk makan nasi jinggo.

Selama tinggal di Bali, semua nasi jinggo yang saya makan tidak ada yang tidak enak. Adapun saat-saat paling tempat menikmati Nasi Jinggo adalah waktu berkumpul bersama keluarga atau teman-teman. Duduk beramai-ramai sambil mengobrol, lalu menyuap nasi jinggo dengan tangan, wuih terbayang betul sedapnya!

Sate Plecing

Saya adalah pencinta sate. Apa pun yang ditusuk ke lidi atau kayu dan dibakar, sudah pasti akan saya makan dengan lahap. Dari sekian banyak sate yang saya makan, sate plecing khas Bali menjadi sate yang paling saya sukai. Setiap ke Bali, tidak mungkin saya akan melewatkan kesempatan menikmati setidaknya sepiring sate plecing.

Apa yang membuat sate plecing begitu enak adalah bumbunya yang terbuat dari sambal terasi. Kenikmatan daging sapi atau babi yang dibakar, disiramkan sambal plecing yang diracik dengan bumbu rahasia, siapa pun yang memakannya saya jamin akan langsung ketagihan. Apalagi jika hidangan itu disempurnakan dengan siraman kuah soto sapi.

Tempat yang paling tepat untuk menyantap makanan ini dengan sempurna ada di dekat alun-alun kota. Saya sudah langganan di sana sejak SD sampai sekarang berkepala tiga. Meski sudah lewat dua dekade dan warung makan ini sudah berganti wajah, rasa sate plecing dan sotonya masih sama. Penjualnya pun masih sama galaknya. Dari pegawai sampai pelanggan, semua bisa kena semprot kalau kita banyak bertanya.

Merindukan Bali bagi saya sama dengan merindukan makanannya. Saya senang kuliner Bali sampai sekarang masih bertahan dan masih banyak yang otentik. Semoga saat pulang ke Bali berikutnya, saya masih bisa menyantap semua makanan yang saya rindukan dalam sekali jalan. Kekenyangan selalu urusan belakangan!

M.Pancho

Penikmat kopi pahit yang mengais rezeki di ibu kota sebagai pekerja teks komersial. Gemar menulis dan membaca apa saja untuk tetap waspada.

https://medium.com/pancho-ngaco
Previous
Previous

Pasta dan Karantina

Next
Next

Mengenal Bahan Eksotis Dapur Bali Klasik