Mengenal Bahan Eksotis Dapur Bali Klasik

Di kolom Common Table kali ini, penulis kuliner Harry Nazarudin bercerita tentang petualangannya menelusuri bahan baku eksotis di dapur Bali klasik.

Lawar Klungah. | Dok. Harry Nazarudin

Lawar Klungah. | Dok. Harry Nazarudin

Kuliner Bali konon diturunkan dari jaman Majapahit, sebuah benang merah yang menghubungkan Indonesia sekarang dengan Nusantara abad pertengahan. Adat yang kental dalam menyajikan menu-menu klasik Bali di setiap upacara, membuat Bali menjadi “laboratorium” yang menarik untuk meneliti bahan pangan dan kebiasaan makan masyarakat masa lampau yang terbebas dari pengaruh modern. Dengan demikian, kuliner Bali menjadi sebuah jendela untuk menelaah kuliner Jawa di jaman pra-islam, kira-kira 500 tahun yang lalu.

Dalam menjelajah kuliner Bali, saya sempat bertemu beberapa bahan yang tidak lazim ditemukan di Jawa. Yang pertama adalah batok kelapa. Di wilayah Negara Bali Barat, ada hidangan yang dibuat dari batok kelapa yang masih muda. Namanya lawar klungah. Klungah adalah batok kelapa yang masih muda. Pada kondisi ini, batok kelapa belum keras, meskipun sudah membentuk lapisan di bawah sabut. Batok muda ini diiris lalu diberi bumbu lawar sedikit pedas, dan disajikan untuk disantap dengan nasi. Rasanya cukup unik, bukan seperti daging kelapa karena bertekstur lebih keras dan berserat, tetapi memiliki rasa sedikit manis dengan aroma kelapa yang dominan. Disertai bumbu base genep, lawar klungah ini menjadi sajian khas Negara yang menunjukkan melimpahnya pohon kelapa sampai buahnya yang belum jadi kelapa saja bisa diolah jadi santapan.

Bukti berlimpahnya kelapa bukan cuma ini. Saya bertemu satu hidangan lagi yang namanya unik: Pepes clengis. Clengis adalah ampas dari proses pembuatan minyak kelapa. Minyak kelapa dibuat dengan memanaskan santan kelapa sampai keluar minyaknya di bagian atas, lalu minyak ini diambil sedikit demi sedikit untuk menghasilkan minyak kelapa murni. Minyak inilah yang aslinya digunakan untuk sambal matah, menghadirkan aroma gurih yang tidak bisa ditandingi oleh minyak lainnya. Ketika bagian atas dari santan ini diambil, selain minyak terdapat juga padatan yang berbentuk buih. Buih inilah yang kemudian dikumpulkan dan diberi bumbu pepes berbasis kunyit, lalu dipanggang di tungku. Jadilah pepes clengis, pepes ampas minyak kelapa.

Clengis ini unik rasa dan warganya. Karena buah kelapa banyak mengandung mineral mangan (Mn), warnanya menjadi keunguan, dan rasanya tentu saja gurih. Berbeda dengan klungah, disini aroma kelapanya hampir tidak terasa, namun kandungan lemak yang tinggi membuatnya gurih. Yang memperkaya rasa juga adalah proses pembuatannya. Aroma asap (smokey) dari daun pisang yang dibakar, membuatnya sedap dipadu dengan nasi panas. Gurihnya menyebabkan kita bisa menambah nasi lagi dan lagi tanpa merasa bosan, dengan mencolek sejumput clengis dan mencampurkannya di setiap suapan. Unik dan sedap rasanya.

Dalam kuliner klasik Bali, teknik menggunakan bahan herbal sebagai pewangi (wangen dalam Bahasa Bali) juga cukup populer, menunjukkan bagaimana warga Nusantara dulu membumbui masakan. Penggunaan bahan ini bisa sebagai bumbu atau bahkan sebagai bahan masakan, yang menambah warna dan rasa hidangan menjadi khas. Contohnya adalah pada lawar daun cabe puyang (Piper retrofractum) atau dalam Bahasa Bali disebut tabia bun. Sekarang, cabe puyang di Jawa sering ditemukan dalam bentuk kering dan digunakan sebagai obat atau jamu. Namun di masa lalu, tanaman ini juga digunakan untuk memasak.

Uniknya, lawar cabe puyang tidak dibuat dari buah cabenya, melainkan dari daunnya. Ini menggambarkan bahwa pada masa itu, pohon cabe puyang yang merupakan tanaman merambat dan banyak ditemui di pekarangan rumah. Lawar daun cabe puyang ini memiliki rasa yang menarik. Bumbu lawarnya adalah base genep biasa, namun ada aroma herbal khas yang dihasilkan oleh daun, sehingga rasanya menjadi meriah dan sedap disantap. Warnanya yang hijau cerah menambah kecantikan hidangan ini, dan karena teknik penyajiannya melalui merobek daun dengan tangan, aromanya yang khas tersebar secara sempurna. Sedap, dan juga sehat.

Terakhir, ada sebuah bahan yang cukup kontroversial penggunaannya dalam kuliner Bali klasik: Darah. Darah hewan, baik babi maupun ayam, merupakan bahan yang wajib dalam beberapa upacara adat di Bali. Salah satunya adalah dalam meracik lawar panca warna: Lawar berbasis lima warna yang berbeda, dengan lawar merah yang dibuat dari darah babi. Darah ini memiliki aturan adat yang ketat: Tidak boleh sembarangan disiapkan, harus disajikan oleh Bai Lawa (chef tradisional Bali) khusus, tidak boleh disimpan serta harus segera disantap setelah dibuat. Di jaman modern serba supermarket seperti sekarang, sulit membayangkan ada hidangan yang disiapkan dengan begitu banyak pantangan. Namun, inilah sebenarnya ajaran nenek moyang kita yang perlu kita bangkitkan kembali, bahkan untuk bahan modern seperti gula dan garam.

Lalu, apa yang dicari dari bahan yang sangat berbahaya ini? Ketika saya mencicipinya di Karangasem, Bali, ada sensasi unik yang ditimbulkannya. Darah segar tidak langsung digunakan, tetapi terlebih dulu diteteskan ke lengkuas atau parutan kelapa, baru diperas ke lawar yang disajikan. Ini menyebabkan warnanya tetap merah, tidak coklat seperti darah yang dimasak. Ada satu aroma yang unik: Aroma mineral logam. Darah mengandung mineral besi (Fe), yang terikat oleh hemoglobin dalam darah, memang tersedia dalam bentuk murni (belum teroksidasi) ketika berbentuk mentah. Efeknya seperti minum pil “penambah darah”, membawa vitalitas dari asupan mineral besi di dalam darah, selain rasanya yang gurih dan unik, tanpa bau amis sama sekali. Rupanya, berbagai bahan inilah yang dulu melengkapi kandungan mineral dari diet nenek moyang kita.  

Untuk melihat kegiatan seru Harry Nazarudin, sila kunjungi Instagram @kangharnaz

Harry Nazarudin

Moderator Komunitas Jalansutra, penulis buku Kimia Kuliner dan serial 100 Mak Nyus bersama Lidia Tanod dan almarhum Bondan Winarno.

Previous
Previous

Merindukan Santapan dan Pengalaman di Pulau Seribu Pura