Menilik Posisi Kuliner Indonesia Setelah Delapan Dekade

Dari diplomasi kuliner hingga reputasi global, bagaimana posisi kuliner Tanah Air di negeri sendiri dan di mata dunia menuju delapan puluh tahun merdeka?

Salah satu hidangan tim Indonesia saat bertanding di Bocuse d’Or 2021. | Foto oleh Bocuse d’Or Indonesia

Kita selalu dibuai dengan narasi Indonesia punya budaya kuliner kaya. Benar adanya, bukan fantasi belaka. Namun pertanyaan besarnya adalah apa kuliner Indonesia sudah dimanfaatkan secara strategis oleh negara sebagai soft power yang pada era modern ini tak bisa dipandang sebelah mata? Saya justru penasaran apakah para decision maker negeri ini paham kekuatan yang dimiliki makanan tak hanya sebagai ketahanan pangan negara, tapi juga kekuatan diplomatis dan nation branding yang dimiliki. Adalah Talleyrand, diplomat unggul Perancis pada abad ke-19 yang mulai melihat kekuatan makanan sebagai alat diplomasi. Dalam berbagai negosiasi politik yang ia lakukan di masa Napoleon dan pasca Napoleon, Talleyrand mengandalkan tangan dingin chef Marie Antonine Careme untuk menghidangkan ragam santapan. Ia tahu lewat makanan, ia dapat memenangkan hati para politisi. Pada masa Talleyrand, masakan Perancis mulai dilirik sebagai santapan kelas atas oleh kaum aristokrasi dan para diplomat Eropa lainnya. Inilah cikal bakal food diplomacy atau diplomasi kuliner.

Diplomasi kuliner Indonesia di negara asing

Diplomasi kuliner pun mengalami pergeseran makna seiring perkembangan zaman. Bila dulu diplomasi kuliner secara literal adalah penyajian makanan dalam kegiatan diplomatis politik, maka diplomasi kuliner hari ini jauh lebih luas lagi. Mulai dari keterlibatan chef dalam perlombaan masak internasional, hingga keberadaan restoran sebuah negara di negara lain dapat dikategorikan sebagai kegiatan diplomasi kuliner.

Paska Orde baru, kegiatan diplomasi kuliner Indonesia mulai gencar dilakukan pada tahun 1970-an hingga 1980-an. Salah satu peletak batu pertama pendirian restoran Indonesia di negara lain sebagai upaya peningkatan citra Indonesia adalah ketika Ibnu Sutowo mendirikan restoran Ramayana di kota New York, Amerika Serikat di 1970. Dikepalai oleh chef Bambang Sunarno, Ramayana mendapat banyak perhatian dari kalangan diplomat dan petinggi perusahaan-perusahaan asing. Pendirian Ramayana pun diikuti oleh Yono’s yang didirikan oleh chef Yono Purnomo pada 1986 di Albany, Washington DC. Di Paris, pada awal 1980-an, restoran dengan tema Indonesia juga turut membuka pintu. Pada tahun 1982, Restaurant Indonesia di Rue vau Guirard menjadi restoran Indonesia pertama di Perancis, yang kemudian disusul oleh Djakarta-Bali di 1984.

Restoran-restoran ini – bersama dengan banyak restoran Indonesia lainnya di Belanda yang telah buka lebih lama – menjadi agen-agen diplomasi Indonesia, tak hanya dari sisi kuliner namun juga dari sisi budaya. Kegiatan seni tari, seni musik dan pertunjukkan bertema Indonesia lainnya sering diadakan sebagai bagian dari promosi yang menarik tamu negara-negara tersebut. Hal yang sudah baik ini pada tahun-tahun setelahnya kurang mendapat perhatian strategis dari pemerintah. Pada tahun 2002, pemerintah Thailand mendorong program Global Thai dengan tujuan sederhana: meningkatkan jumlah restoran Thailand sebanyak 8.000 di 2003 dari angka sebelumnya hanya 5.500. Hasilnya, pada tahun 2010, ada sekitar 10.000 restoran Thailand di dunia. Pemerintah Peru pun juga serupa. Mereka meluncurkan progam Peru Mucho Gusto di 2006 dengan tiga pilar: meluncurkan banyak buku kuliner Peru, keterlibatan di berbagai festival kuliner dunia, serta menambah jumlah restoran Peru secara global.

Restoran dilihat oleh negara-negara dengan kuliner yang sudah dikenal dunia sebagai duta besar dari budaya mereka. Faktornya sederhana: restoran adalah tempat kumpulnya komunitas dan penduduk lokal. Dengan menambah jumlah restoran di negara-negara lain, memang awalnya restoran akan diisi oleh kaum diaspora, namun lambat laun akan menarik juga minat warga lain sehingga popularitas kuliner semakin tersebar luas. Pasca Reformasi, pertumbuhan restoran Indonesia di negara asing memang sempat melambat. Namun perlahan mulai banyak dibuka secara independen, di kota-kota besar layaknya Kopenhagen, New York, dan London. Padahal pada tahun 2021, pemerintah meluncurkan inisiatif berjudul Indonesia Spice Up the World dengan misi mengglobalkan bahan pangan Indonesia dengan mendorong pertumbuhan restoran Indonesia di luar negeri. Namun seperti biasa, wacana itu tak kunjung dirasakan dampaknya.

Saya melihat bahwa pengenalan kuliner Indonesia masih menggunakan pendekatan itu-itu saja, yaitu dengan menyajikan makanan untuk duta besar dan menggelar festival makanan di negara yang kurang punya taring di kancah gastronomi global. Pemerintah harus bisa memetakan negara-negara mana saja yang dianggap sebagai Mekah bagi makanan. Paris, New York, Tokyo, Seoul, London, Hong Kong, Melbourne, Kopenhagen adalah kota-kota dengan reputasi kuliner global dan dihormati. Bila pemerintah bisa gencar melakukan promosi kuliner Indonesia dengan fokus di kota-kota tersebut, bukan tidak mungkin publikasi kuliner yang luas dapat diraih. Kota-kota tadi juga gudangnya chef terbaik dunia dan media kuliner global. Incar mereka. Buat mereka terpapar dengan masakan Indonesia. Incar festival dengan reputasi global semacam BBC Good Food Festival, New York Times Food Festival, Dine LA dan lainnya untuk mempopulerkan masakan Nusantara.

Intelektual kuliner dan preservasi budaya

Selain ragam cara memperkenalkan budaya kuliner Indonesia di kancah global, penting untuk Indonesia memiliki kekuatan kuliner yang mantap dan kokoh di negeri sendiri. Hal yang kerap dilupakan padahal memiliki posisi krusial dan fundamental dalam budaya kuliner sebuah negara adalah peran para intelektual kuliner. Para intelektual kuliner adalah individu-individu dengan fokus subyek kepakaran di bidang gastronomi. Mereka dapat datang dari ragam latar disiplin seperti antropologi, filologi, ilmu pangan, arkeologi, jurnalistik, hingga seni masakan. Lihatlah negara-negara dengan kuliner adi daya seperti India, Perancis, dan Spanyol, mereka memiliki fondasi intelektual makanan yang sangat kuat. Dari sisi sejarah makanan contohnya, India mempunyai banyak sekali publikasi akademik maupun populer mengenai sejarah makanan dan resep mereka, hasil dari penelitian tahunan yang dilakukan kaum akademisi India. Mulai dari universitas hingga akademi di Mumbai dan Delhi juga menyediakan studi food culture bagi calon pelajar.

Spanyol lebih lagi. Negara ini dianggap sebagai salah satu yang paling terdepan di dunia dalam hal intelektual kuliner, mulai dari Basque Culinary Center hingga ElBulli Institute dimiliki oleh Spanyol sebagai pusat pembelajaran kuliner tak hanya kuliner Spanyol tapi juga kuliner Eropa. Mereka mendorong agar preservasi dan inovasi jalan beriringan, sehingga budaya makan tak hanya diam ditempat namun juga bergerak dinamis seiring perkembangan zaman. Dengan adanya preservasi budaya kuliner yang begitu kuat, justru hal ini dapat menjadi “senjata” bagi para inovator kuliner membawa budaya makan makin relevan di masa depan. Posisi intelektual kuliner adalah penjaga budaya makan, entah itu budaya tradisonal atau pun budaya kontemporer. Mereka adalah para pencatat, pencerita, pengajar, dan penasihat. Seperti Amerika Serikat contohnya, negara tersebut memiliki banyak pusat studi budaya makan hingga studi kritik kuliner di universitas-universitas top mereka, seperti di New York University hingga Boston University. Para intelektual kuliner di sana mempelajari makanan dari berbagai sudut pandang, mulai dari kontribusi kelompok Afro-Amerika dalam pembentukan budaya makan Amerika Serikat, hingga sejarah restoran-restoran yang punya andil dalam bertumbuhnya gerakan sosial di sana.

Bagaimana dengan Indonesia? Saya harus mengatakan bahwa kita cukup terlambat memberi ruang bagi intelektual kuliner untuk punya peran penting. Bahkan sebelum satu dekade lalu saja, dapat dibilang posisi intelektual kuliner masih tak dipandang. Kita bersyukur memiliki Fadly Rahman dan Prof. Murdijati Gardjito yang tanpa lelah menggali sejarah makan Indonesia. Kita juga memiliki Prof. Winarno yang selama tiga generasi mendalami permata kuliner Indonesia, tempe. Namun kita butuh selain individu-individu yang luar biasa dengan dedikasi mereka. Kita butuh lembaga atau institusi resmi yang dapat jadi acuan nasional dalam hal preservasi budaya makanan Indonesia. Di mana lembaga atau institusi ini dapat terlibat dalam keputusan-keputusan strategis nasional yang berkaitan dengan makanan dan budaya, serta menjadi think tank gastronomi layaknya MAD Feed Academy di Kopenhagen yang jadi partner strategis pemerintah Denmark untuk urusan kuliner dan pangan.

Reputasi kuliner Indonesia hari ini

Walau banyak hal yang harus diperbaiki dari sisi regulasi hingga industri, kita juga jangan berkecil hati. Sebetulnya ada beberapa hal baik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir yang menambah nilai gastronomi Indonesia di mata dunia. Pada tahun 2019 contohnya, pertama kali Indonesia muncul dalam seri dokumentasi kuliner di kanal Netflix dalam episode Street Food Asia dengan fokus Yogyakarta. Atau ketika chef Gordon Ramsay berkunjung ke Sumatera Barat di seri dokumenter Uncharted di National Geographic Channel. Dari segi industri restoran dan chef, tahun 2021 adalah tahun monumental bagi Indonesia ketika chef Mandif Warokka terpilih bertanding dalam olimpiade kuliner, Bocuse d’Or di Lyon Perancis setelah lebih dari 10 tahun tidak pernah lolos. Juga pada tahun 2022, restoran August dari Jakarta masuk dalam daftar restoran-restoran terbaik di Asia dan diikuti setelahnya dengan The Cocktail Club sebagai salah satu bar terbaik di Asia.

Dari sisi publikasi internasional pun juga. Tahun 2022 adalah tahun diterbitkannya buku masakan Indonesia untuk pasar internasional, yang ditulis oleh chef asli Indonesia – I Wayan Kresna – bersama Tjok Maya Kerthyasa. Buku berjudul PAON ini diterbikan oleh Hardie Grant Publishing Australia dan didistribusikan ke manca negara. Publikasi internasional tentang makanan Indonesia juga tidak berhenti sampai di PAON. Setahun setelahnya, Phaidon, penerbit asal Inggris yang telah melejitkan nama-nama besar kuliner menerbitkan The Indonesian Table yang ditulis oleh Petty Elliott, chef dan kritikus restoran asal Jakarta. Hal di atas membuktikan, bahwa sebetulnya Indonesia masih memiliki pesona dalam hal budaya kulinernya. Dunia masih membutuhkan inspirasi cita rasa baru, tak lagi hanya dari negara itu-itu saja. Masakan Asia tak lagi hanya dibatasi oleh Korea, Cina, Jepang, Thailand. Di era global yang makin melek gastronomi ini, seharusnya diambil kesempatan untuk memetakan Indonesia di kancah kuliner global. Jadikanlah diaspora Indonesia sebagai agen budaya, sokong mereka yang bergerak di bidang kuliner Indonesia di dalam dan luar negeri. Ingatlah sebuah pepatah klasik, “The easiest way to win hearts and minds is through the stomach.”


Common Table merupakan rubrik yang berisi opini pribadi penulis terhadap fenomena di dunia makanan dan minuman, observasi budaya makan tradisional maupun kontemporer.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Next
Next

Membuat Cokelat Lokal Benar-Benar Inklusif: Masa Kecil, Eksklusifitas, dan Gaungan Bean to Bar