Ketika Kata ‘Enak’ Mengecilkan Segalanya
Ketika Sharima Umaya sampai pada kesimpulan bagaimana kata ‘enak’ menyempitkan makna dari suatu makanan serta menjadi buah dari keangkuhan bagi seseorang.
Apabila saya bisa list down pertanyaan apa yang paling sering diajukan ke saya, salah satu pertanyaan yang kerap saya terima adalah:
“Enak nggak?”
Sebagai manusia yang memiliki banyak peran dalam hidup dan tergabung dalam ragam komunitas yang berbeda, mulai dari lingkungan keluarga, kerja, hingga bertemu orang-orang yang baru saya kenal, pembicaraan tentang makanan memang sulit untuk tidak dibahas.
Perlu waktu puluhan tahun untuk sampai pada kesimpulan ini. Bicara soal enak atau tidak enaknya sebuah makanan, merupakan sesuatu yang saya rasa mengecilkan makna dari sebuah makanan… Makanan yang telah disiapkan dengan penuh kehati-hatian untuk dapat diterima oleh lidah yang dapat mengapresiasi setiap suapan. Hal yang menurut saya menarik juga dan menjadi pembentuk indra perasa kita, adalah dimana kita lahir dan dibesarkan, makanan apa saja yang telah terpapar oleh kita. Seluruhnya secara tidak langsung, membentuk preferensi dari apa yang kita harapkan dari suatu makanan. Mereka yang lahir dan besar di keluarga asal Jawa Tengah semisal, manis legitnya ayam goreng dengan sambal yang sedikit manis di lidah merupakan comfort food bagi mereka. Sama halnya bagi mereka yang terbiasa untuk menyantap hidangan dengan tingkat keasinan tertentu atau medok, mungkin tidak akan terlalu mengapresiasi hidangan yang minim bumbu dan menjadikan bahan baku sebagai sebagai bintang di piring.
Pertanyaan enak atau tidaknya sebuah makanan juga, sayangnya, seringkali menjadi buah dari keangkuhan seseorang. Penilaian terhadap suatu tempat atau makanan, menjadi tolak ukur bagi masyarakat untuk langsung mengecap apakah suatu spot yang direkomendasikan oleh seseorang, bahasa kasarnya, enak atau tidak dan apakah rekomendasinya legit atau tidak. Manusia pada dasarnya haus akan validasi, dipercaya oleh ribuan, puluhan ribu, bahkan jutaan orang berpotensi menjadikan individu berada di atas angin dan terkadang, menjadi meremehkan orang lain dengan selera yang berbeda. Menjaga standar suatu hidangan yang keluar dari dapur, terkesan remeh, namun bayangkan tak hanya satu, tetapi bagaimana tim juru masak harus menyajikan hidangan yang sama persis sebanyak ratusan kali.
Dalam industri, tentunya merupakan hal yang mustahil untuk dapat memuaskan semua orang. Rasa percaya diri yang tinggi akan produk yang dijual sangat diperlukan. Seluruhnya merupakan manifestasi dari hal-hal kecil yang tidak terlihat: trial & error sebanyak puluhan bahkan ratusan kali, bahan baku yang dipakai, komponen seperti biaya untuk menyewa lokasi, gaji karyawan, dan masih banyak lagi. Belum lagi faktor lain seperti quality control dari sebuah restoran, sesuatu yang sangat, sangat sulit untuk dijaga dan efeknya, dapat memberikan pengalaman bersantap yang berbeda satu sama lain. Kesempatan untuk berbincang dengan banyak sosok di F&B pun mengungkapkan bahwa SDM adalah aspek yang sering membuat sakit kepala, dimana turn over di industri yang terhitung tinggi.
“Cocok”. Rasanya kata tersebut lebih pantas disematkan untuk ditanyakan. “Cocok nggak sama makanannya?” Tidak perlu menjadi perdebatan apabila kita tidak cocok dengan rekomendasi teman atau influencer, apalagi sampai mengajak agar orang tidak datang atau ekstrimnya, membuat keributan di media sosial untuk memancing banyak pasang mata. Saya rasa, satu hal yang jarang sekali dibahas juga yakni bagaimana kita sebagai sosok yang berada di meja makan agar lebih menumbuhkan empati. Apabila saya tidak cocok dengan suatu hidangan, saya memilih untuk minimal diam, atau apabila pada kapasitasnya saya dapat memberikan masukan, saya akan memberikan masukan secara langsung.
Akhir kata, kembali lagi, enak maupun tidak enak, cocok maupun tidak cocok, semua tergantung dengan selera yang telah terbentuk sepanjang hayat.