Membuat Cokelat Lokal Benar-Benar Inklusif: Masa Kecil, Eksklusifitas, dan Gaungan Bean to Bar

Salah satu scene di film “Petualangan Sherina”

Apa memori pertama Anda dengan cokelat? Saya pribadi akan mudah mengatakan bahwa hal pertama yang saya ingat dari cokelat adalah Smarties, produk cokelat warna-warni yang berbentuk lingkaran pipih dan muncul sebagai makanan sentral dalam film “Petualangan Sherina” di tahun 2000 (meski hingga kini masih banyak perdebatan mengenai apakah itu Smarties, M&M, atau Chacha). Pilihan lainnya dalam memori di otak saya adalah segelas susu Milo bubuk hangat, Beng-Beng yang kini semakin kecil, Toblerone dan kacangnya, atau Choki Choki yang sampai hari ini terkadang masih saya beli. 

Beranjak dewasa, pengenalan akan cokelat semakin beragam. Mulai dari praline di Dapur Cokelat, kue chocolate devil di Harvest, hingga membuat fondue sendiri di rumah dengan chocolate bar Lindt menjadi bagian dari memori saya. Tak ketinggalan ice chocolate milik Dunkin Donuts, hot chocolate Starbucks yang saya beli agar terlihat keren pada masanya (di samping rasanya yang cocok di lidah), maupun milik Indomaret serta Jumpstart yang murah dan pas di kantong saat masa kuliah maupun kerja. 

Ragam Pilihan Praline Dapur Cokelat | Foto: Dapur Cokelat

Memori akan cokelat mungkin akan berbeda pada setiap orang, namun buat saya yang rasanya sudah pasti adalah hal itu akan lebih mudah diingat dibandingkan ketika ditanya memori pertama dengan kopi dan teh. Berbeda dengan teh dan kopi yang menjadi konsumsi sehari-hari orang Indonesia, cokelat seakan menjadi makanan atau minuman yang hanya dapat dikonsumsi di waktu tertentu atau menjadi pelengkap dalam sebuah hidangan manis.

Meski banyak di sekitar kita, serta tumbuh subur di beberapa daerah penghasilnya, cokelat berkualitas sarat dengan kesan mahal dan eksklusif sehingga membuatnya tidak mudah dinikmati. Olahan cokelat berkualitas seringkali hanya dapat dinikmati kalangan atas, bahkan petaninya sekalipun tidak dapat menikmati.

Semakin banyaknya orang yang terbuka dengan potensi cokelat lokal menumbuhkan berbagai macam inisiatif untuk menjadikannya komoditas unggulan yang tidak hanya dapat dinikmati oleh pasar luar negeri namun juga pasar dalam negeri. Sekitar 10 tahun terakhir saja sudah sangat banyak brand cokelat lokal yang bermunculan terutama dengan digaungkannya konsep bean to bar, isu keberlanjutan (sustainability), serta keadilan bagi para petani cokelat. Potensi yang perlu lebih banyak digarap untuk menjadikannya bintang utama di samping bersanding dengan kopi. 

Namun begitu, buat saya pribadi masih ada hal yang terasa mengganjal, terlebih saat saya bertandang ke Malaysia beberapa bulan lalu. Merek cokelat seperti Berryl’s maupun Alfredo sudah lama menjadi raja di negerinya sendiri. Ada di mana-mana dan menjadi salah satu top of mind oleh-oleh dari negeri menara kembar tersebut bahkan sejak saya pertama kali berkunjung ke Kuala Lumpur di tahun 2008 dan melakukan tur museum cokelat Berryl’s. 

Salah satu rak di toko Berryl’s Malaysia | Foto: Berryl’s

Formula Berryl’s terasa pas untuk menggambarkan sebuah brand yang mampu menyeleraskan eksklusifitas cokelat, kualitas prima, namun tetap membumi. Affordable menjadi kata kunci yang dianut Beryl’s meski banyak tokonya terkesan eksklusif. Terjangkau bukan hanya soal harga, namun juga jangkauan distribusinya yang luas hingga masuk ke dalam minimarket maupun supermarket di sana. ‘Lebih ritel’ rasanya jadi kata yang pas. Ini yang tidak ditemukan di pasar Indonesia.

Brand cokelat lokal Indonesia saat ini banyak yang hanya bermain di target pasar tertentu. Ada yang hanya fokus pada penjualan B2B maupun bermain di kalangan tertentu pasar B2C. Belum juga memanfaatkan pasar lokal seutuhnya, banyak juga yang sudah sibuk menarget pasar ekspor. Pengkotak-kotakan pasar inilah yang membuat kita masih perlu banyak bermimpi memiliki brand cokelat sekuat Beryl’s. Jika orang Indonesia saja belum mengenal brand cokelatnya sendiri karena belum inklusif, bagaimana kita dapat membuatnya menjadi brand yang kuat? Sulit rasanya bermimpi membuat brand cokelat lokal bergaung lebih kencang di tanah sendiri jika masih banyak produsennya yang seakan belum mau memperkenalkannya pada pasar yang lebih beragam.

Pohon kakao | Foto: Freepik

Diferensiasi produk yang menarget pasar lebih masal perlu dilirik. Tidak salah bermain di pasar yang lebih atas dengan narasi bean to bar, tree to bar, maupun single origin, Indonesia butuh tahu tentang itu. Namun memilih untuk tutup mata pada potensi pasar yang lebih masal dan membiarkannya diisi oleh brand luar maupun brand lokal berkualitas rendah adalah sebuah kerugian.

Miris melihat beberapa toko oleh-oleh maupun toko swalayan di kota/kabupaten yang berada di pulau Kalimantan maupun Sulawesi misalkan justru diisi oleh produk cokelat Malaysia bahkan Filipina saat saya berkunjung ke sana dalam dua tahun terakhir. Potensi yang sesungguhnya bisa diisi lebih banyak brand cokelat lokal berkualitas yang sayangnya masih terlalu sibuk bermain dalam ruang tertentu. Jika terus begitu, mungkin saja memori masa kecil saya akan terus menjadi memori yang sama bagi setiap anak Indonesia berpuluh tahun mendatang.

R. Calvin Budianto

R. Calvin Budianto merupakan Head of Community di Feastin’. Memesan menu yang terdengar paling kompleks dan paling simpel adalah hobinya.

Previous
Previous

Menilik Posisi Kuliner Indonesia Setelah Delapan Dekade

Next
Next

Kerak Telor dan Pekan Raya Jakarta: Tak Terpisahkan, Namun Menyedihkan