Di Jantung Paolo Sarpi, Ravioli Tampil dalam Akulturasi

Paolo Sarpi menjadi saksi bagaimana akuisisi sebuah butchery dan kolaborasi melahirkan akulturasi bagi ravioli di pecinan Milan.

Suasana malam di Paolo Sarpi, Milan. | Foto oleh: R. Calvin Budianto

Di tengah suhu kota Milan yang sedang di persimpangan menuju ke musim dingin, hembusan angin menuju malam pun menerpa tubuh dengan dinginnya. Terlebih berada di dalam tram yang melaju cepat ke titik tujuan, Paolo Sarpi. Kawasan ini dikenal sebagai china town di kota yang kerap dijuluki sebagai ibu kota fesyen dan desain dunia. 

Berjalan ke kawasan yang seakan tersembunyi di balik jalan-jalan kecil ini, disambut lampu malam dan kumpulan muda mudi di sisi kiri dan kanan jalan yang duduk di depan beberapa kios makanan membuat suasana menjadi berbeda dengan lingkungan sekitarnya yang mulai tak aktif pasca berakhirnya jam operasional perkantoran. Tepat di jantung kawasan ini, antrean sudah tampak dari kejauhan. Mulai dari pasangan hingga kelompok pertemanan mengantre di depan sebuah kios berwarna putih yang terisi para pegawai keturunan Tionghoa. Tong sampah di depannya perlahan sudah mulai penuh dengan tumpukan mangkuk plastik putih dan sumpit-sumpit kayu, siap meluber. Sebuah tanda yang mengisyaratkan sekaligus membuat rasa penasaran semakin terdorong untuk mencicipi apa yang ditawarkan. 

Membaca nama “Ravioleria Sarpi” akan sangat mudah membuat turis menyangka bahwa ini adalah kios yang menjajakan pasta berbentuk kantung persegi dengan gerigi di sisinya dan berisi daging atau ayam, ravioli. Sama halnya seperti yang biasa ditemukan di Indonesia. Namun, itu tak akan kamu temukan di tempat ini. 

Ravioli buatan Ravioleria Sarpi | Foto oleh: R. Calvin Budianto

Di balik nama yang mengundang rasa penasaran itu, tersembunyi sebuah kisah akulturasi kuliner yang unik, di mana pangsit Tiongkok, wonton, menjadi bintang utamanya. Meski ravioli dan wonton adalah dua hidangan yang mirip secara konsep yakni kulit tepung dengan isian, namun jelas keduanya tetap berbeda. Komposisi tepung pembalutnya pun berbeda, wonton umumnya cenderung lebih tipis sedangkan ravioli cenderung lebih tebal dan padat. Ravioleria Sarpi adalah sebuah fenomena. Dengan antrean panjang yang tak pernah surut, tempat ini telah menjadi ikon kuliner di kawasan Paolo Sarpi. Nama "Ravioleria" sendiri, yang secara harfiah berarti "tempat ravioli," adalah sebuah ironi yang menarik. Ini adalah bukti nyata bagaimana dua budaya kuliner yang berbeda dapat berpadu dan menciptakan sesuatu yang baru dan menarik, chinese ravioli

Dengan isian yang beragam, mulai dari pilihan daging sapi, babi, atau sayuran, pangsit-pangsit ini menawarkan cita rasa otentik Tiongkok. Kulitnya cenderung tebal layaknya ravioli, namun bentuknya jelas menunjukkan bahwa ini adalah wonton. Cara makannya pun juga layaknya wonton yang disiram dengan baluran kecap asin. Setiap gigitan pangsit ini mencerminkan keahlian tangan-tangan keturunan Tiongkok yang telah meraciknya selama bertahun-tahun. Toko yang buka tak lama setelah sang pemilik, Agie Zhou, menjadi ‘pewaris’ dan pemili yang mengakuisisi butchery tersohor milik keturunan Sartori, “Macelleria Sartori”, di sebelahnya ini menghadirkan kehangatan di tengah dinginnya Milan pada musim itu. Kerja sama Agie dengan sang tante berpadu dengan pilihan daging terbaik dari Walter Sartori, keturunan Sartori sang pendiri butchery yang telah ada sejak tahun 1931. Di jantung pecinan Milan, "ravioli" telah berubah menjadi wonton, melalui akuisisi serta kolaborasi, dan kisah akulturasi kuliner pun dimulai sejak 2015.

Macelleria Sartori, butchery satu-satunya yang bertahan pasca kawasan ini perlahan berubah menjadi kawasan pecinan juga tak mau kalah melengkapi pesona Ravioleria Sarpi. Bagian depan butchery ini menampilkan pilihan hidangan claypot dengan nasi, sayur, ayam, daging sapi atau kambing, bacon, dan sosis serta atraksi memasak sate domba yang harum dan lezat. Sate berukuran besar ini cocok untuk melengkapi ‘ravioli’ jika kamu belum merasa kenyang.  

Pemandangan akan akulturasi budaya tak berhenti di situ. Melihat ke sekeliling kedua kios ini kamu akan dengan mudah menemukan para pembeli yang menikmati pangsit hangat ataupun sate domba bersama wine di gelas wine. Sebuah tangkapan mata yang mungkin hanya bisa terbayang di restoran cina kelas atas namun tampil di pinggir jalan bersama street food ala Milan lengkap dengan mangkuk plastik dan garpu kayu seperti berada di sebuah pesta. Jelas ini bukan pemandangan yang biasa-biasa saja. Pemandangan yang sangat Italia, sangat Eropa, namun dengan kudapan yang sangat Asia. 

Muda-mudi menikmati ravioli dengan wine | Foto oleh: R. Calvin Budianto

Malam terus berjalan di Paolo Sarpi. Banyak pengunjung melanjutkan perjalanan mereka, entah dengan menyeruput espresso di kafe kecil di sudut jalan, berpindah ke kios-kios lainnya yang menawarkan mochi, bao, hingga chinese sandwich atau sekadar berjalan menyusuri trotoar berbatu khas Milan. Lampu-lampu toko yang mulai padam dan obrolan dalam berbagai bahasa—Italia, Mandarin, Inggris—menjadi harmoni tersendiri di tengah dinginnya malam.

R. Calvin Budianto

R. Calvin Budianto merupakan Head of Community di Feastin’. Memesan menu yang terdengar paling kompleks dan paling simpel adalah hobinya.

Previous
Previous

Feastin’s Delicious Destinations 2025

Next
Next

Sheraton Bawa Resort Dining ke Dalam Bandara Soekarno-Hatta