Di Balik Perannya Sebagai Chef, Nabila Yoestino Juga Seorang Ibu
Menjadi ibu bukan berarti melupakan peran lainnya, justru hal itu berevolusi dan membuat hidup semakin berwarna serta menantang. Tak terkecuali, bagi Chef Nabila Yoestino.
Banyak Ibu yang merasakan perubahan dalam diri, termasuk pandangan dan prioritas dalam menjalankan hidup. Satu hal yang dapat disimpulkan: Menjadi ibu bukan berarti melupakan peran lainnya, justru hal itu berevolusi dan membuat hidup semakin berwarna, dan pastinya, menantang.
Di tahun 2024, seluruh mata tertuju pada Nabila Yoestino yang belum lama dinobatkan sebagai Pastry Chef of the Year dalam penghargaan dessert pertama di Indonesia, Golden Swirl Award 2024 yang diberikan oleh Indonesia Dessert Week. Kiprah Nabila memang tidak main-main, mulai dari meniti karier di Bali sampai berlabuh di Biko Group dan sudah memasuki tahun ketujuh. Lantas, bagaimana sosok seorang ibu yang berkiprah di industri kuliner, khususnya di kitchen? Feastin’ berkesempatan untuk berbincang dengan Nabila Yoestino di salah satu outletnya di bilangan Senayan, Acta Brasserie.
Feastin’ (F): Fun question, what’s your favorite dessert?
Nabila Yoestino (NY): Dessert favoritku dari dulu Black Forest cake, alasannya simpel, it reminds me of my childhood. Dari kecil, aku suka kombinasi antara cokelat dan whipped cream apalagi kalau ditambahin dark cherry! Aku pertama kali makan dari bakery dekat rumah. Kalau ada yang ulang tahun, kuenya pasti Black Forest dengan chocolate shaving di sampingnya. Pas akhirnya udah jadi pastry chef, aku pun bikin Black Forest cake yang bahkan sekarang juga jadi menu di sini (Acta Brasserie).
F: Mulai kapan senang membuat kreasi dessert? Apa yang bikin kamu tertarik ke dunia pastry?
NY: Dari kecil, aku udah sering nemenin Mamaku buat bikin kue, terutama pas mau lebaran, pasti diajak buat ke Gramedia untuk cari buku resep. Mamaku juga yang bikin kue untuk dikasih ke saudara-saudara. Selain itu, dulu sering otodidak bikin sendiri, belajar pake resep di majalah.
Aku lahir di keluarga dengan latar perfilman, almarhum Papaku seorang aktor. Jadi bisa dibilang, aku ada darah seninya, cuma memang semuanya diarahin buat jadi pemain film atau di balik layar seperti jadi sutradara. Lulus SMA, aku gak langsung kuliah dan kerja dulu di Karno’s Film bareng kakakku dan sepupu juga. Sebenernya di sana aku enjoy karena emang aku bukan yang akademis banget, tapi aku gak cocok sama jam kerjanya. Akhirnya aku ngobrol sama Mama, dan beliau berpesan, “Kamu cari yang bisa kamu pake sampe nanti kamu udah jadi istri dan punya anak”. Dari situ langsung mikir kayaknya seru juga kalau aku bikin kue. Singkat cerita, aku akhirnya masuk program D1 pastry di Trisakti. Programnya 6 bulan belajar, 6 bulan langsung on job training (OJT).
F: Bisa diceritakan awal mula karier kamu?
NY: Awalnya sebenernya niat aku sekolah, cuma yang penting bisa bikin kue, tapi pas OJT aku terekspos sama industri. Dari situ, aku baru sadar “Ternyata kerja bikin kue tuh bisa loh, di industri” soalnya waktu itu (tahun 2010), aku ngerasa kerja di culinary belum terlalu banyak yang angkat.
Awalnya aku kerja di Ku De Ta, Bali sebagai daily worker. Waktu itu yang interview Will Goldfarb. 2 bulan kemudian pas high season di Desember, aku dipromosi jadi staff. 2 tahun di situ, Mejekawi buka di Ku De Ta dan Chef Will resign untuk buka Room 4 Dessert. Waktu itu, aku memutuskan bertahan sampai 1 tahun lagi di sana karena ingin belajar juga sama pastry chef yang baru dengan specialty yang berbeda, baru setelah itu pindah ke Ritz-Carlton Bali karena lebih mau belajar manajemen juga. Aku diterima di sana sebagai demi chef… waktu itu di sana enggak ada supervisornya karena baru resign. Awalnya pasti kaget, cuma kan tetap harus dikerjain ya. Di sana ada 7 outlet dan jam kerjanya intens bisa 12 jam sehari. 1 tahun kemudian, aku dipromosi jadi supervisor. Kalau ditanya apa motivasinya bisa bertahan, aku enjoy banget di kitchen. Kalau udah masuk kitchen, lepas aja gitu kayak lagi di playground. Di kitchen, rasanya lupa semua masalah hidup, bikin happy. Aku di Bali sampai 2017 akhir, soalnya Mamaku sendirian dan aku juga udah 5 tahun di Bali sehingga akhirnya mutusin buat balik ke Jakarta.
Nah, aku pun sebelum pulang ke Jakarta pastinya harus cari kerja dong di sana. Aku ngobrol sama temen kampusku dan dapet informasi kalau ada lowongan di restoran Mother Monster (salah satu portfolio Biko Group). Akhirnya sampai sekarang deh di Biko Group.
F: Sebagai perempuan yang bekerja di hospitality dan sudah mengalami banyak fase dalam kehidupan, mulai dari single, menikah, hamil, hingga menjadi Ibu, apa kesan pesan kamu?
NY: Struggling tapi dijalanin aja. Pastinya ada penyesuaian dulu. Perlu komunikasi ke orang-orang di sekitar, terutama support system yang paling penting. Suami nomor satu. Dari aku memutuskan untuk menikah, aku sudah komunikasi kalau aku bakal terus kerja di kitchen. Kedua, mbak di rumah juga bagian dari support system. Aku mulai punya mbak dari anakku umur 3 bulan sampai anakku usia 4.5 tahun, enggak ganti sampai sekarang. Aku semaksimal mungkin menganggap mbak sebagai keluarga. Ketiga, ke mertua komunikasi juga aku jaga. Misal, ada event tertentu yang harus aku handle dan mengharuskan aku pulang lebih malem dari biasanya. Dan yang enggak kalah penting, diri sendiri. Jangan pernah maksain, kalau emang enggak bisa, nanti dulu, enggak bisa dipaksakan. Kalau emang lagi kerja, aku fokus kerja. Kalau emang waktunya off, aku tegas kalau itu waktu buat keluarga. Harus disiplin sama waktu.
Pas hamil, aku juga komunikasi ke teman kerja baik ke Chef Rui maupun staff karena pastinya secara fisik, enggak bisa semaksimal pas lagi enggak hamil; dan pada mengerti kondisiku. Di Biko Group, aku merasa sangat di support karena kekeluargaan di perusahaannya sangat dijaga, kita juga dekat secara personal di luar pekerjaan. Hal itu juga salah satu faktor yang bikin aku bertahan. Apalagi pas udah punya anak, pasti kan ada aja, anak sakit harus izin misalnya. Support system sih memang sangat penting. Di luar itu, aku juga maksimalin training staff-staff biar bisa autopilot, mulai dari gimana decision making, delegasiin suatu pekerjaan.
F: Dari challenges yang kamu hadapi dengan peran kamu sebagai Ibu, ada enggak momen yang paling kamu inget?
NY: Pas mau buka Acta Brasserie di Gading Serpong, udah masuk fase training di kitchen sana, tiba-tiba anakku kena DBD dan aku harus stay di rumah sakit selama 5 hari. Akhirnya, aku kerja remote dari rumah sakit. Harus pinter-pinter bagi waktu dan cari solusi.
F: Gimana kamu membagi waktu antara pekerjaan kamu dan peran kamu sebagai Ibu?
NY: Bangun pagi, aku selalu quality time sama anakku sambil nonton TV dan sarapan bareng. Aku juga bikinin bekal dan mandiin anakku. Lalu gantian Bapaknya yang bangun dan anterin sekolah. Kerja sama antara aku dan suami penting banget. Me time ku jam 8 sampai jam 10, di 2 jam itu biasanya aku ngonten, edit, dan riset buat konten di TikTok. Baru deh jam 10 berangkat kerja, jam 8 biasanya pulang, setidaknya pas anakku mau tidur, aku ngobrol sama anakku. Anakku kan sekolah di sekolah Islam, jadi, aku juga sering ngecek hafalan surat dia. Pernah ada momen dimana aku ngerasain mom guilt, pas aku enggak ngecek hafalan anakku, tau-tau dia dapet bintang satu, padahal harusnya maksimal lima. Dari situ, aku disiplin buat ngecekin dan bantu anakku.
Pas Sabtu, anakku sama suamiku biasanya ikut jemput aku kerja di outlet. Sampe-sampe, anakku udah hafal jadwalku lagi di outlet yang mana. Abis jemput aku, biasanya kita pergi bareng-bareng.
F: Saat anak sudah mulai besar, bagaimana kamu mulai menjelaskan pekerjaan kamu? Apakah kamu mengekspos anak kamu dengan pekerjaan kamu?
NY: Pas anakku udah sekolah, aku sama suamiku mulai jelasin pekerjaan kami. Di situ aku jelasin kalau aku bikin kue, masak, dan juga edit video (karena ngonten). Pas aku lagi ngedit video buat konten TikTok, seringkali anakku ada di samping aku jadi dia mulai ngerti, tapi karena dia nontonnya YouTube, dia bilangnya “Oh, Mama punya channel”
Selain anakku juga sering jemput aku kerja, kalau ada event anak di salah satu outlet juga aku kadang suka ajak. Kayak waktu itu pas hias gingerbread misalnya. Orang di outlet juga udah kenal sama anakku, jadi kalau dilepas juga aman.
F: Pesan untuk aspiring women chef lain di luar sana?
NY: Pertama, harus yakin sama diri sendiri, walaupun pasti awalnya ada keraguan, terutama dengan tanggung jawab baru baik sebagai seorang istri, jadi seorang Ibu. Kalau memang percaya, pasti bisa. Kedua, pilih tempat kerja yang memang bisa support dan memahami kondisi. Pasti semua bisa dikomunikasikan di awal. Ketiga, pinter-pinter atur waktu dan harus sisihin waktu buat diri sendiri, kalau enggak bakal burn out.