Tamtam dan Upaya Gastrodiplomasi Melalui Video Memasak

Gastrodiplomasi melalui video memasak yang mengedepankan bahan baku lokal ala Tamtam (@tamtamvv)

Tamtam (@tamtamvv) di Instagram, content creator yang memfokuskan pada pengolahan bahan baku lokal dengan share resep di Reels | Foto oleh: Feastin’

Video yang dimulai dengan memusatkan bahan baku lokal menjadi ciri khasnya. Dengan penuh semangat, ia menceritakan kisah demi kisah dan fakta unik sembari mengolah bahan baku pilihannya dan menarik banyak pasang mata untuk terhenti, menikmati resep demi resep kreatifnya.

Sosok dibalik akun Instagram tersebut adalah Tamtam (@tamtamvv). Jutaan orang telah menonton unggahan resepnya bahkan audiensnya telah menyebar di berbagai belahan dunia. Dibalik resep-resep plant-based unggahannya, Tamtam menyimpan banyak cerita yang ia bagikan ke tim Feastin’: Mulai dari bagaimana ia tumbuh, bagaimana ia memutuskan untuk menjadi content creator, tempat makan favoritnya, dan harapannya untuk kuliner Indonesia ke depannya.

Feastin’ (F’): Bisa ceritakan background kamu? Apa yang bikin kamu tertarik ke dunia memasak?

Tamtam (T): Nama asliku Muhamad Pratama Putra Nugraha, cuma dari kecil dipanggil Tamtam sama keluarga. Aku lahir dan besar di Jakarta, keluargaku, uniknya enggak ada yang tertarik kuliner, bahkan Ibuku sama sekali enggak masak. Dari SD-SMP, aku banyak ngabisin waktu di dapur sambil melihat ART rumahku masak, walaupun Bapakku suka marahin aku karena terlalu sering main ke dapur. Di dapur, aku seneng dikelilingi berbagai macam bumbu dan rempah-rempah. Dari sini, ketertarikanku terhadap masak muncul. 

Nah, pas SMA mikir kuliah mau jurusan apa, sempat bingung, kemudian orang tuaku karena melihat aku seneng di dapur, mereka akhirnya mengarahkan aku buat menekuni memasak. Waktu itu, aku dihadapkan dengan pilihan untuk memilih NHI atau kuliah jurusan seni rupa, hingga akhirnya aku memilih NHI tepatnya di peminatan pastry. Aku milih pastry karena dari SMA, udah tahu kalau aku enggak mau bergelut dengan daging di dapur dan memang enggak suka dapur yang bau amis. 

Selama 3 tahun berkuliah di Bandung, aku banyak sekali belajar, enggak cuma hal yang technical namun juga mentalitas. Mulai dari bagaimana dealing sama atasan hingga permasalahan apa yang biasa muncul di dapur. Aku sempat training di Sofitel Nusa Dua, Bali selama 6 bulan. Awalnya mau ke Perancis, sebagaimana banyak anak pastry lain, cuma waktu itu enggak lolos. Dari Sofitel, aku balik ke NHI sampai lulus dan challenge-nya karena pandemi, hampir enggak ada lowongan sama sekali dan aku enggak ada interest untuk kerja di kitchen. 

Akhirnya, aku karena menjadi vegan di masa pandemi, ketemu Jakarta Vegan Guide (JVG) di media sosial termasuk salah satu founder-nya, Firman (Firmansyah Mastup). Aku follow dia di Instagram dan mengutarakan keinginanku untuk bekerja di JVG. Di situ, aku berkarier selama 2.5 tahun mulai dari content creator dan recipe developer, hingga dilibatkan di Mad Grass dan Mad for Coffee juga. Setelah JVG, aku sempat kerja 1 tahun kerja di luar dunia kuliner sampai aku memutuskan untuk menjadi content creator. 


F’: Tiga fakta unik tentang Tamtam yang banyak orang enggak tahu?

T: Pertama, nama asliku bukan Tamtam, banyak yang nyangka kalau Tamtam memang nama asliku, padahal itu nickname dari keluargaku. Lalu, mungkin ini yang paling unik, aku punya tato tulisan ‘Tempe’ yang letaknya ada di dalam bibir. Terakhir, aku juga mau meluruskan hal ini karena banyak banget yang salah sangka: Aku enggak pernah tinggal atau kuliah di luar negeri. Pokoknya aku 100% sekolah, tinggal, dan kerja di Indonesia. Ibuku punya andil besar yang bikin aku percaya diri dalam berbahasa Inggris, selain itu, aku memang berusaha menceburkan diri dengan orang-orang yang emang di International community.



F’: What draws you towards veganism? 

T: Pengalamanku tinggal dan bekerja di Bali secara enggak langsung membuatku semakin terekspos dengan vegetarianism & veganism dan memulai terlebih dahulu untuk menjadi vegetarian. Begitu pula tempat aku bekerja di Sofitel Nusa Dua, Bali karena hotel asal Perancis, catering-nya pun saat itu sudah mengakomodir mereka yang vegetarian. Di luar itu, karena aku ada darah Sunda, lama di Bandung juga pas kuliah jadinya aku terekspos juga beragam sayur mayur di lauk makananku sehari-hari. 

Cuma ada satu hal juga yang aku sangat impressed. Aku sempat sekitar 2 minggu tinggal di Garut untuk riset bahan baku lokal, ternyata, di sana banyak yang secara enggak sengaja udah jadi vegan! Jadi bisa dibilang, cultural aspect dari veganism yang bener-bener fascinates me! Aku enggak terlalu memperhatikan nutrition facts dan jujur baru terekspos isu terkait vegan seperti animal welfare baru sejak kerja di JVG. 

F’ Inget enggak sama kreasi vegan pertama yang kamu buat?

T: Pistachio cake! Pas aku tugas akhir, aku bener-bener serius dan udah tau kalau ingin bikin tugas akhir terkait sustainability, dalam bentuk whole cake yang 100% lokal dan vegan. Hal ini karena aku percaya kalau food industry akan bergerak ke arah sustainability. Enggak mudah karena di sekolahku enggak pernah diajarin vegan maupun gluten free cake, lebih ke klasik, sehingga waktu itu pun sempet mendapatkan tentangan juga, but I finally made it.

Tamtam di Mad for Coffee, salah satu tempat ia berkembang | Foto oleh: Feastin’

F’: Apa inspirasi dari menu yang kamu buat? Bisa share sosok yang menjadi inspirasi kamu?

T’: Aku banyak dapetin inspirasi dari audiens kalau mereka request di post aku dan sosok-sosok di dunia kuliner. Kalau yang dari luar negeri, ada content creator bernama Julius Fiedler yang juga merupakan ambassador dari Slow Food International. Bisa dibilang, ia merupakan pionir content creator vegan dan ia memang udah banyak nyobain makanan vegan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kalau yang berasal dari Indonesia, selain Firman & Revo, aku sangat terinspirasi oleh Archie dengan unggahan-unggahan videonya dan journey-nya dalam gastrodiplomacy, Kevindra Soemantri dengan pengetahuannya terhadap dunia kuliner, dan Ibu Helianti Hilman sejak pertama kali aku nonton beliau di TEDxJakarta enggak pernah berhenti mengeksplor bahan baku lokal melalui Javara Indonesia. Selain itu, Mba Bukhi, pencetus Bhumi Bhuvana juga sosok yang memiliki andil untuk membentuk konsep kontenku dengan memadukan biodiversity lokal dan gastrodiplomacy. 

F’: Favorite ingredient to work with?

T: Tempe! Aku pengen mempelajari tempe lebih lanjut bukan cuma sekadar tempe goreng, tempe ungkep, pengen eksplor selain dish tempe lain tapi juga jenis tempe lainnya. 

F’: Favorite places to dine? 

T: Selain pastinya suka ke Mad Grass sama Mad for Coffee ya… Pertama, Saigon Delight. Varian vegan-nya banyak banget hampir setengah dari menunya dan karena ada menu non-vegan jadinya bisa bawa juga non vegan kesitu. Kedua, aku lagi addicted banget sama Haidilao untuk makan hot pot. Ketiga, ORVIA, opsi dimana kalau ada teman-teman mancanegara kesini, aku  selalu bawa ke ORVIA. Di sini, banyak pilihan vegan food dari banyak provinsi di Indonesia. 

F’: Awal mula tertarik untuk menjadi content creator mengangkat bahan baku plant-based lokal?

T: Pas aku kerja di JVG, Firman & Revo melihat kalau aku ada potensi dari segi kemampuan jurnalistik. Dari dulu, aku juga memang udah terinspirasi oleh Julius Fiedler dan karena mengerjakan konten di JVG, sedikit demi sedikit aku belajar dan referensiku udah sangat berkembang dari awal aku bekerja di JVG. Alhasil, aku udah tahu konten seperti apa yang mau aku buat bahkan di saat aku belum memulai. Bagaimana aku mau fokusin bahan baku di awal video, mau ceritain tentang bahan baku, lalu baru ke cara masaknya, sebenernya konsepnya sendiri udah ada dari 2 tahun lalu. Aku bersyukur banget meskipun aku udah enggak di JVG, Firman & Revo sangat mendukung aku untuk jadi content creator, bahkan, sering nagihin aku pas aku belum mulai-mulai. 

F’: Apa harapan kamu untuk kuliner Indonesia ke depannya?

T: Harapanku ke depannya, apabila ada 1 message yang bisa di simplify pengen Indonesia as the epitome of food diversity & sustainability in the world. Aku ngerasa Indonesia saat ini susah banget untuk mengerucutkan apa yang mau difokuskan dari ragam keanekaragaman hayatinya. Why not embrace the diversity for our gastrodiplomacy?

Sharima Umaya

Sharima Umaya adalah Head of Business & Content Partnerships dari Feastin’. Senang menulis makanan dari kacamata berbeda, iced latte di pagi hari merupakan kewajiban & hidangan Jepang merupakan favoritnya.

Next
Next

Di Balik Perannya Sebagai Chef, Nabila Yoestino Juga Seorang Ibu