Dedikasi Jeffry Lukito untuk Cokelat Indonesia Lewat Korté
Satu dekade Korté hadir, Jeffry Lukito tanpa henti menelurkan ragam lini produk untuk membangun rasa percaya diri masyarakat akan cokelat lokal dan potensinya untuk bersaing di kancah global.
Dalam beberapa tahun terakhir, cokelat merek lokal banyak diperkenalkan dan menjadi opsi bagi para penggemar cokelat. Korté merupakan salah satunya.
Tim Feastin’ berkesempatan untuk berbincang dengan pendiri Korté, Jeffry Lukito. Mulai dari bagaimana ia mengembangkan beragam produk berbahan baku cokelat melalui bendera Korté, rasa penasaran yang menariknya memproduksi berbagai lini produk, tantangan yang dihadapi di pandemi, dan bagaimana keinginannya untuk membangun rasa percaya diri masyarakat akan produk cokelat lokal.
Feastin’ (F): Mari mulai dari sesuatu yang ringan, top 3 varian cokelat Korté yang menjadi favorit?
Jeffry Lukito (JL): It depends on my mood. Kalau ngomongin yang bisa di binge eating, pertama, varian ‘Breakfast Crunch’ - cokelat ini spesial karena inspirasinya datang dari keinginan saya untuk membuat cokelat yang disukai istri saya. Dia suka sekali salah satu cokelat asal Jerman yang menggunakan cornflakes. I want to make something better than that to make her happier. Kedua, varian ‘Cashew Sea Salt’ terinspirasi dari cokelat merek Silver Queen yang menemani saya tumbuh. Namun, saya cukup frustrasi karena di setiap gigitan, belum tentu ada kacang. Varian ini juga salah satu produk awal yang saya buat. Wa take it really seriously, bahkan kacang medenya kami roast di coffee roaster, kami bereksperimen agar dapat mengeluarkan rasa manis dari kacangnya. Terakhir, varian ‘Berau 70%’. Varian ini telah menjadi bagian dari saya sejak lama dan mengalami berbagai iterasi.
F: Adakah fakta unik tentang Korté yang belum pernah diceritakan sebelumnya?
JL: Betapa tingginya risiko saat memutuskan untuk mulai membuat chocolate bar. It’s a huge leap for us, mengingat kami mencoba saat masa pandemi dimana keadaan masih penuh ketidakpastian. Saat mendirikan Korté di tahun 2014, saya sebenarnya memang memiliki keinginan untuk membuat chocolate bar namun mengurungkan niat karena tingginya investasi yang diperlukan. Akhirnya, tim kami mengambil risiko dan melengkapi peralatan (untuk memproduksi cokelat). Saya pun terjun langsung untuk roasting setiap hari selama hampir 3 bulan. Dalam kurun waktu tersebut, karena pada saat itu sedang COVID varian delta dan saya tinggal bersama mertua yang berisiko tinggi apabila terpapar COVID, saya pun set up bagaimana caranya agar dapat roasting secara remote. Saya melihat screen dan koordinasi dengan tim yang berada di pabrik, tim mengirimkan hasil roasting ke rumah saya untuk saya cicipi beans dan chocolate bar. Bisa dibilang, 99% dari cokelat yang dihasilkan tidak layak konsumsi.
F: Apa perbedaan terhadap industri cokelat yang dirasakan sejak mendirikan Korté, hingga saat ini? Apa saja perubahan yang dirasakan?
JL: Banyak sekali perubahan yang saya rasakan, terutama bagaimana industri cokelat sekarang sangat maju, dibandingkan dengan dahulu saat saya baru memulai. Selain itu, apresiasi masyarakat terhadap produk lokal jauh meningkat ketimbang dahulu. Cokelat pun dahulu lebih dianggap sebagai makanan anak-anak, makanan murah, makanan yang tidak memiliki kelas. Saya dulu seringkali menemukan orang di rentang usia 30-40 tahun yang dengan bangganya berkoar “Saya tidak makan cokelat”. Banyak pula yang beranggapan kalau pergi ke cafe dan memesan hot chocolate, artinya gak keren. Hal ini merupakan tantangan buat kami di masa lampau, bagaimana stigma masyarakat terhadap cokelat sendiri. Saat ini, banyak yang bangga akan cokelat Indonesia yang beraneka ragam. Selain kopi, matcha misalnya industrinya pun berkembang. Tak selalu tentang kopi.
F: Tadi sempat sedikit disinggung kalau inspirasi dari cokelat Korté banyak diangkat dari orang-orang terdekat dan memori yang melekat, dalam memproduksi cokelat Korté, apa proses yang menjadi favorit Jeffry?
JL: I’d say, the brainstorming process then what’s equally fun is the finishing process. Misalnya saat ini Korté sedang berkolaborasi dengan salah satu produk miso. Awal mula kesempatan tersebut datang karena salah satu teman saya menelpon dan menginfokan kalau salah satu temannya memiliki produk miso yang diproduksi di Indonesia. Setelah itu, saya pun mencicipi miso tersebut dan memutar otak kira-kira produk seperti apa yang akan diterima masyarakat? Kami sempat develop produk berupa chocolate peanut butter miso cookies, namun setelah membahas go to market plan, kami memutuskan untuk kembali ke rencana awal untuk membuat chocolate bar dengan miso. Prosesnya sendiri menarik, misal, salah satu tantangan dalam proses produksi yaitu bagaimana miso yang basah dapat dipadukan dengan cokelat serta menciptakan padu padan yang menarik dan pastinya pas. Produk akhirnya, kami memadukan tempe dan ada juga yang menggunakan cabai. (Produk kolaborasi Korte dengan With Time telah launching setelah tulisan ini terbit). Jadi proses paling menyenangkan adalah brainstorming, pas awal membuat konsep, lalu di akhir proses refining the product to make it something special, bagaimana end product menjadi sebuah identitas dan emosi yang dihasilkan.
F: Diferensiasi produk yang dimiliki Korté sangat beragam, mulai dari bubuk cokelat, chocolate bar, selai cokelat, dan masih banyak lagi. Bisa elaborasi lebih lanjut terkait produk Korté yang sangat ekstensif?
JL: Variasi produk kami banyak dipantik oleh rasa penasaran. Produk awal kami, drinking chocolate merupakan satu-satunya produk yang kami miliki sejak berdiri di 2014 hingga 2020. Setelah memutuskan untuk memproduksi selain bubuk cokelat, kami pun mulai bereksperimen. Cacao tea, contohnya, berangkat dari produk yang saya beli di perjalanan saya ke Vietnam. Saya suka idenya, namun saat saya cicipi, saya kurang cocok dengan produk tersebut. Hal ini pun memotivasi saya untuk membuat produk serupa yang secara taste saya cocok dan membuat saya happy. Jadi memang banyak produk Korté yang dimulai dari, rasa penasaran, kayaknya seru deh bikin produk ini.
F: Bagaimana Korté memposisikan brand Korté di tengah meningkatnya jumlah brand cokelat lokal yang ada di Indonesia?
JL: Saya belajar banyak dari industri kopi. Banyak sekali coffee roaster di pasar, terlebih jumlah coffee shops. Dari pengalaman saya berkunjung ke ribuan coffee shop, salah satu yang saya pelajari adalah pentingnya untuk memiliki personality. Pastinya akan ada masa dimana produk yang kita miliki mirip dengan orang lain, di situ, customer akan memilih berdasarkan personality. Korté juga memiliki keinginan bagaimana ketika orang mencicipi Korté, dapat mengatakan kalau produk Korté itu world class dan dapat bersaing dengan produk dari luar Indonesia. Karena kami mengedepankan penggunaan rice milk dan cashew milk, kami ingin Korté menjadi yang terbaik di skala global untuk produk cokelat dengan kedua bahan baku tersebut.
F: Korté telah memiliki presence di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Uni Emirat Arab. Bagaimana awal mula ekspansi tersebut?
JL: Dalam kurun satu dekade terakhir, kita tidak pernah terlalu fokus pada marketing. Hingga tahun 2023, pasang iklan pun hampir tidak pernah. Ekspansi kami secara tidak sengaja berawal dari orang-orang yang datang dan mengutarakan keinginan untuk memasok Korté di negara asal mereka. Mereka mencoba, menyukai produk kami, percaya bahwa mereka dapat menjual produk kami, hingga mereka pun membawa produk kami ke negara mereka.
F: Korté banyak berkolaborasi dengan banyak brand F&B. Bisa diceritakan hal menarik pada kolaborasi-kolaborasi yang pernah dilakukan Korté?
JL: Kolaborasi untuk saya kesempatan untuk having fun. Seringkali ketemu produk yang saya suka brandnya, kemudian dari situ tercetus keinginan untuk berkolaborasi. Salah satu kolaborasi favorit saya adalah kolaborasi dengan Piala Citra di tahun lalu. Kami mengkreasikan produk kami, Tempe Praline untuk launching di sana. Proses awalnya cukup sulit karena permasalahan IP, karena kan tidak mungkin ya menginclude nama film tertentu misalnya. Alhasil, kami membuat amplop terinspirasi dari amplop saat penghargaan dibacakan, cokelatnya disematkan di dalam dan ada logo Piala Citra. Kolaborasi ini juga menarik buat saya, karena ini pertama kalinya saya hadir di awarding ceremony dan membuktikan ternyata bisa juga bekerja dengan brand non F&B.
F: Potensi biji kakao yang belum disentuh di Indonesia?
JL: Banyak sekali yang belum disentuh, potensinya sangat besar. Belum lama ini, saya berbincang dengan salah satu pastry chef yang saya sangat respek di Indonesia. Korté memiliki keunikan dan karakter yang tidak pernah dimiliki cokelat-cokelat brand lain sebelumnya. Cokelat yang kami buat bukan cokelat Italia, Belgia, Swiss… kalau dipikir-pikir, belum ada definisi cokelat Indonesia sendiri seperti apa. Di industri kopi misalnya, kalau melihat 10 tahun lalu, kopi Kenya dan Ethiopia tidak sepopuler sekarang. Apa yang merubah hal tersebut? Teknologi jawabannya. Teknik roasting yang semakin eksploratif membuat kopi asal kedua negara tersebut menjadi digandrungi dan harganya pun melejit. Dulu banyak yang berpendapat biji cokelat asal Indonesia tidak memiliki kualitas yang baik, usut punya usut, ternyata lebih ke karena mereka tidak mengetahui pemrosesan yang benar. It takes a unique way of handling, to unlock its potential.
F: Goal jangka pendek dan panjang dari Korté?
JL: Untuk jangka pendek, Korte selalu berusaha untuk membuat orang happy. Misal, dari petani kopi, saya berbincang dengan mereka, apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka inginkan? Tak hanya petani kopi, di proses produksi, sampai end consumer, kami ingin membuat semua happy. Goal jangka panjang kami adalah untuk menjadikan cokelat Indonesia mendunia. Saat datang ke coffee shop, apabila ditawarkan cokelat Indonesia, orang tidak akan menganggap cokelat Indonesia rendah dan tidak membanding-bandingkan dengan cokelat merek luar. Membantah stigma, mengapa cokelat lokal tidak boleh lebih mahal (karena kualitasnya)? Hal ini masih sangat sulit, karena mindset orang Indonesia masih kalau produk impor pasti lebih mahal dari produk lokal, dan tidak bisa menerima kalau produk lokal lebih mahal atau sama harganya. Faktanya, banyak wisawatan asing yang datang ke toko Korté di Bali, dan saat mencicipinya, mereka langsung memborong dan mengapresiasi, bahkan mengatakan seharusnya cokelat kami dijual lebih mahal. Saya melalui Korté mau membangun kepercayaan diri masyarakat lokal dengan cokelat Indonesia.