Langkah Singapura Menjadi Jantung Food-Tech Asia Tenggara

The Lion City sekali lagi mengambil lompatan dalam dunia makanan dan minuman, yaitu mengakselerasi pertumbuhan teknologi pangan.

Memasuki 2010, Singapura menyadari satu hal yang dapat membawa negara itu semakin disegani di kancah global: Kuliner. Di saat yang sama ketika Singapura mengubah kampanye pariwisata mereka menjadi “Your Singapore”, di saat itu jugalah strategi dan tindakan mendorong wisata makan dan minum Singapura dilakukan. Berdirinya Marina Bay Sands dengan sepuluh celebrity chef dari Gordon Ramsay hingga Daniel Boulud tentu cukup menarik perhatian pencinta restoran global ke negeri terkecil di Asia Tenggara itu. Namun tidak berhenti di situ saja, pemerintah Singapura paham mereka harus melahirkan bakat-bakat baru dalam negeri, untuk itulah di tahun 2011, sekolah kuliner paling bergengsi di dunia, Culinary Institute of America, hadir di Singapura berkolaborasi dengan Singapore Institute of Technology.

Melihat kuliner sebagai senjata ampuh pariwisata, pemerintah Singapura pun meluncurkan SPICE (Singapore International Culinary Exchange) pada 2012, yaitu sebuah program induk pariwisata gastronomi Singapura. Di dalam SPICE, ada dua program besar dengan tujuan spesifik. Yang pertama, Singapore Take Out, merupakan program travelling pop-up ke restoran ternama dan hotel bintang lima berbagai negara di dunia, untuk menyajikan masakan Singapura. Tujuannya sederhana: Mengenalkan kuliner yang ada di Singapura. Lalu program yang kedua adalah Global Chef Exchange. Program yang strategis ini bertujuan sebagai knowledge exchange antara chef internasional dan chef lokal, dari yang berbintang Michelin sampai restoran kasual. Belum lagi didorongnya festival kuliner berskala internasional seperti Epicurean Market di 2013, dan World Street Food Congress di 2014 yang mengundang tamu kenamaan seperti Anthony Bourdain. Seluruh langkah strategis itu dimantapkan dengan tahun 2013 diluncurkan Miele Guide, buku panduan restoran setara Michelin khusus untuk Asia; lalu 2014 diadakannya Asia’s 50 Best Restaurants edisi pertama; hingga pada 2016, hadirnya buku panduan Michelin.

Strategi yang dijalankan dengan konsisten ini pun membuahkan hasil, dan Singapura sekarang dikenal sebagai salah satu negara gastronomi paling populer dunia. Namun di era teknologi, Singapura kembali melihat peluang lain walau masih dalam koridor kuliner: Yaitu food technology. Akselerasi teknologi yang terjadi secara signifikan di pertengahan periode 2010-an mengguncang banyak industri, termasuk di dalamnya penyedia bisnis makanan dan minuman. Namun di sisi yang sama, guncangan tersebut membuka peluang terhadap inovasi baru yang lahir dari perubahan pola konsumsi masyarakat global.

Hal ini mendorong pemerintah Singapura – di bawah Enterprise Singapore – meluncurkan Food Service Industry Transformation Map pada tahun 2016 sebagai rencana induk akselerasi digitaliasi ke usaha mikro, kecil dan menengah kuliner. Di dalamnya, langkah-langkah aksi digitialisasi disusun mengikuti skema di dalam sebuah bisnis makanan, yaitu servis, produksi, dan bisnis. Kurikulum dan skema kerja program tersebut juga disusun oleh Asian Culinary Institute dan SkillsFuture Singapore, sehingga yang dihasilkan adalah action plan konkret yang mudah diaplikasikan dan relevan dengan industri. Namun yang cukup menarik disimak, bukan bagaimana digitalisasi bisnis yang sebelumnya offline saja, dimana hal ini juga terjadi di banyak negara dengan munculnya konsep cloud kitchen, ghost restaurant, delivery dan lain sebagainya. Tapi bagaimana negara yang punya juluk “The Little Red Dot” itu melirik ke sisi produksi. Singapura – dengan berbagai gegap gempitanya – punya satu kekurangan: Minimnya lahan pertanian, perkebunan dan peternakan. Selama puluhan tahun, hampir mayoritas bahan pangan Singapura adalah produk impor dari negara tetangga. Dengan kekuatan teknologi, mereka ingin mengubahnya. Agroteknologi menjadi fokus pemerintah Singapura selama beberapa tahun terakhir. Sejak 2015 hingga 2019, Temasek Holdings sebagai perusahaan investasi negara, telah menggelontorkan dana sebesar US$ 5 miliar ke berbagai sektor teknologi pangan (agro-tech). Begitu pun SEEDS Capital, badan investasi di bawah Enterprise Singapore, yang melirik banyak start-up berbasis inovasi pangan di Singapura seperti Nutrion Technologies salah satunya, sebuah perusahaan terbesar di Asia Tenggara yang mendorong inovasi serangga sebagai basis protein.

Protein alternatif masa depan juga tak luput dari perhatian Singapura. Dengan meningkatnya konsumsi alternatif daging, veganisme, serta perhatian terhadap keberlangsungan biodiversitas, pemerintah The Lion City itu turut berinvestasi ke banyak perusahaan rintisan dengan lini usaha plant-based meat. Sejak 2018 hingga sekarang, banyak bermunculan bisnis berbasis plant-based meat di Singapura seperti NextGen (Tindle), ShiokMeats, TurtleTree, Float Foods dan Phuture Food. Potensi besar pangsa pasar dari teknologi pangan akhirnya mendorong Temasek Holdings bersama dengan A*Star (Badan Riset, Teknologi, dan Pengetahuan Singapura) untuk mendirikan Food Tech Innovation Lab pada 2021 lalu. Dilansir dari website Agrifoodinnovaton, direktur pengembangan bisnis Temasek mengatakan bahwa keberadaan Food Tech Innovation Lab dapat menjadi solusi bagi tingginya angka kebutuhan untuk laboratorium life science, hingga co-working ecosystem untuk pelaku teknologi pangan di Singapura.

Langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk mengembangkan impian Singapura menjadi hub teknologi pangan Asia mendorong Temasek mengadakan symposium agrobisnis terbesar di Asia Tenggara pada Oktober 2022 nanti. Singapore International Agri-Food Week akan menjadi payung inisiatif nasional di mana akan diadakan empat event besar dengan benang merah yang sama: teknologi pangan. Keempat acara tersebut adalah diskusi tertutup pembuatan roadmap yang diinisiasi oleh Singapore Food Agency; lalu konferensi oleh Asia-Pacific Agri-Food Summit; diskusi tertutup pelaku agrobisnis oleh Enterprise Singapore; dan puncak acara yaitu Agri-Food Tech Expo Asia. Dengan rencana komprehensif yang menyentuh sisi horizontal dan vertikal makanan dan minuman, bukan hal mustahil bila Singapura bisa menjadi pemain terdepan di teknologi pangan Asia Tenggara.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

PAON, Buku Resep dan Cerita Cinta Kuliner Bali

Next
Next

JUJUR: Mempopulerkan Kembali Minuman Soda