Dari Gucci Sampai Bergdorf, Fenomena Luxury Brand Mendirikan Restoran

Bagaimana merek kelas atas menggunakan kekuatan restoran sebagai nilai tambah bagi pelanggan.

Ralph’s Coffee oleh Ralph Lauren di Hong Kong. | Foto oleh Ralph’s Coffee.

Baru-baru ini, Ralph Lauren meluncurkan cafe Ralph’s Coffee di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebelumnya, merek yang dikenal sebagai salah satu pelopor fesyen modern Amerika Serikat ini mempunyai food truck yang menjual cookies, kopi, kue, sejak tahun 2014, salah satunya di Rockerfeller Centre yang ikonis di jantung Manhattan. Di Indonesia sendiri, sebetulnya perkawinan antara luxury fashion brand dan restoran sudah mulai terdengar. Salah satu yang paling anyar adalah dibukanya Café Kitsune dan butik Maison Kitsune di Jakarta Selatan, serta yang paling baru kemarin di mana beach club Sundara di Four Seasons Jimbaran, Bali sempat disulap menjadi pop-up café milik Dior bulan Juli kemarin.

Sebetulnya ada apa dengan fenomena yang semakin terlihat ini? Mengapa merek kelas atas mulai dari pakaian, perhiasan, hingga majalah makin getol masuk ke bisnis restoran dan café? Sebetulnya landasan utamanya sederhana: membangun loyalitas. Dilansir dari Vogue Business, produk kelas atas punya konsumen loyal yang sangat tinggi. Mereka adalah orang-orang yang mengasosiasikan diri mereka dengan produk yang mereka beli. Oleh karena itu, mendirikan restoran atau kafe bagi brand tersebut bukanlah sesuatu yang aneh, justru cara untuk memperluas brand experience ke konsumen mereka. Gucci contohnya. Tahun 2018, Gucci berkolaborasi dengan chef ternama Massimo Bottura dengan mendirikan Gucci Osteria di kota Fiorentina, Italia. Dari pemilihan lokasi yang merupakan gedung bersejarah milik keluarga Medici, hingga dekor bercorak hijau, semuanya memiliki unsur selaras dengan produk Gucci sendiri. Bahkan, tagline dari Gucci Osteria yang berbunyi ‘an atelier of culture’, sama sekali tidak menyentuh nuansa makanan dan lebih universal. Seakan mendoktrin bahwa produk Gucci – entah itu butik atau restoran – adalah tempat lahirnya budaya Italia modern.

Gucci Osteria di kota Fiorentina, Italia. | Foto oleh Gucci Osteria.

Sama seperti Gucci, Chanel sebagai rumah mode legendaris pun memiliki strategi yang sama. Menggandeng chef Alain Ducasse, Chanel mendirikan restoran Beige di kawasan elite Ginza, Tokyo. Bagi Chanel, restoran tidak hanya menjadi tempat makan klien yang habis belanja di sana, tapi juga jadi salah satu cara memanjakan konsumen loyal yang habis berbelanja gila-gilaan. Mereka akan menutup sebagian restoran, dan menyajikan menu-menu khusus bagi tamu-tamu tersebut, agar pengalaman mereka terhadap Chanel tak berhenti setelah membeli produk fesyen. Namun, membangun loyalitas rupanya tidak selalu harus untuk klien dewasa atau yang sudah loyal bagi produk tersebut.

Bagi sebagian merek kelas atas, adanya restoran atau café justru jadi cara untuk menggaet konsumen baru – atau yang lebih muda – agar familiar dan terkoneksi dengan mereka. Saks Fifth Avenue contohnya. Department store kelas atas yang berbasis di kota New York ini mengandalkan L’Avenue, restoran mereka, sebagai magnet bagi konsumen baru. Hal ini sangat diperlukan mengingat bisnis department store mengalami penurunan beberapa tahun terakhir. Tapi, ada juga brand kelas atas yang memang secara lantang mengincar pendapatan dari restoran. Seperti Louis Vouitton dengan Sugalabo V dan harga menu fantastis, atau Tiffany & Co dengan the Blue Box Café. Untuk The Blue Box Café, Tiffany & Co mendapat cukup banyak pengunjung muda dan mancanegara, dikarenakan brand berlian ini berhasil memanfaatkan jargon Breakfast at Tiffany dengan baik. Bagi mereka, konsumen muda yang kali ini mungkin hanya bisa menikmati makanan di restoran, dalam lima tahun ke depan adalah potensi konsumen produk utama merek tersebut. Investasi jangka panjang terhadap loyalitas, itu yang dibangun.

Beige Restaurant di gedung Chanel, Ginza Tokyo menggandeng Alain Ducasse sebagai chef. | Foto oleh Beige.

Tapi pada dasarnya, semua yang dilakukan merek-merek kelas atas ini adalah mencari cara untuk memperluas pengaruh dan brand image mereka ke beragam konsumen. Mereka ingin menyentuh unsur-unsur lain yang lebih holistik, tak hanya melulu soal barang yang identik dengan merek mereka sedari awal. Experience dan multi-sensory adalah kata kunci yang mendorong merek-merek ini mengembangkan bisnis mereka. Kita melihat bagaimana perusahaan berlian Bvlgari masuk ke dunia wisata dengan mendirikan Bvlgari Hotels & Resorts, yang berarti merek ini berhasil menyentuh konsumen dari segi travelling experience, atau kebalikannya, ketika grup ultra luxury resort AMAN meluncurkan ragam wewangian dan koleksi parfum. Mereka paham bahwa merek mereka punya kekuatan membangun sebuah cult, dan cult inilah yang akan menjadi advocate produk mereka ke mana pun mereka pergi, hingga pada akhirnya berkontribusi jangka panjang ke bisnis perusahaan.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Ambar at Mandapa, Destinasi Cocktail dan Gastronomi Baru Ubud

Next
Next

Cantinero, Rubanah Perayaan Kuliner dan Minuman Meksiko