Makan 20 Menit dari Perspektif Kesehatan

Mari kita lihat bagaimana waktu 20 menit dari kacamata kesehatan, apakah baik untuk tubuh atau malah sebaliknya?

Dengan waktu 20 menit untuk makan, fast food saja memerlukan setidaknya tiga sampai lima menit untuk memesan. Apalagi warung makan kaki lima yang memasak makanannya satu persatu seperti sate dan nasi goreng. | Foto oleh Unsplash.

Dengan waktu 20 menit untuk makan, fast food saja memerlukan setidaknya tiga sampai lima menit untuk memesan. Apalagi warung makan kaki lima yang memasak makanannya satu persatu seperti sate dan nasi goreng. | Foto oleh Unsplash.

Waktu adalah salah satu komponen penting yang jadi target pemerintah Indonesia untuk menekan laju penularan Covid-19. Komponen ini diaplikasikan pada situasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 di Jawa dan Bali bagi warung makan/warteg, pedagang kaki lima, lapak jajanan, dan sejenisnya dengan diperbolehkannya pelanggan untuk makan di tempat selama maksimal 20 menit. Aturan ini didasarkan kepada Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 dan Level 3 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali.

Pemberlakuan salah satu aturan tersebut dijelaskan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, "Kenapa waktunya pendek, untuk memberikan waktu yang lain supaya tidak terjadi pengumpulan di rumah makan itu.” Terang Tito Karnavian yang kami kutip dari Kontan

Keharusan hadirnya aturan tersebut dapat dipastikan untuk mengurangi kerumunan pada masa pandemi Covid-19, namun hal ini cenderung membuat seseorang tergesa-gesa dalam menyantap makanannya karena adanya batas waktu yang harus dipenuhi. Pelanggan warung makan yang berkeinginan untuk menyantap makanannya di tempat sepatutnya tenang dan dapat khidmat menikmati tiap suapan yang ada.

Aktivitas makan memiliki sebuah kinerja yang menghubungkan tubuh dan otak. Hal ini dikarenakan tubuh akan mengirim sebuah ‘sinyal’ kepada otak apabila proses aktivitas makan dilakukan dalam kurun waktu sekitar 15 hingga 20 menit. ‘Sinyal’ tersebut menyatakan bahwa tubuh telah mendapatkan asupan makan dan hal ini memungkinkan seseorang untuk merasakan kenyang. Perilaku ini perlu dilakukan secara konsekuen.

“‘Sinyal’ ini dapat membantu mengontrol asupan makanan, sehingga jika diterapkan dalam jangka panjang dapat menjaga berat badan ideal serta mengurangi risiko obesitas. Apabila seseorang makan dengan terburu-buru maka otak tidak sempat menerima ‘sinyal’ tersebut, sehingga memiliki risiko tubuh tetap merasa lapar akibat belum menerima sinyal dari otak bahwa tubuh sudah menerima makanan.”Ujar Aria Novitasari (Aria) kepada Feastin’, ahli gizi yang merupakan salah satu anggota Indonesian Nutrition Association.

Proses ‘sinyal’ yang bekerja di tubuh seseorang saat sedang makan juga diungkapkan oleh seorang Psikolog dari Cleveland Clinic’s Center for Behavioral Health Department of Psychiatry and Psychology, yaitu Leslie Heinberg, PhD, MA.

“Orang-orang harus makan makanannya selama lebih dari 20 menit, bahkan lebih ideal lagi jika dalam waktu 30 menit, sehingga otak seseorang dapat memiliki kesempatan untuk menyeimbangi organ pencernaannya. Saat kita makan, sinyal yang menunjukkan rasa lapar akan bergerak dari perut dan usus ke otak, oleh sebab itu otak membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk menghentikan keinginan untuk makan.” Ucap Psikolog tersebut dalam jurnal yang diterbitkan oleh Cleveland Clinic’s Center.

Akibat yang ditimbulkan terkait intensitas kecepatan makan seseorang juga harus mendapat perhatian sedemikian rupa. American Heart Association’s Scientific Sessions 2017 menjadi saksi pemaparan riset yang dilakukan oleh Takayuki Yamaji, M.D., peneliti dari Hiroshima University, Jepang. Penelitian bertajuk Gobbling your food may harm your waistline and heart, mengikuti sekitar 642 laki-laki dan 441 wanita selama lima tahun (2008 – 2013) dengan mengidentifikasi masing-masing dari mereka sebagai pemakan lambat, normal, atau cepat.

Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa pemakan yang tergolong cepat cenderung memiliki 11.6% dalam berkembangnya sindrom metabolisme dibanding pemakan normal yang hanya 6.5% dan lambat yakni 2.3%. Sindrom metabolisme merupakan ungkapan medis dari kombinasi penyakit diabetes, hipertensi, dan obesitas. Sindrom ini akan menempatkan seseorang dalam risiko tinggi mengidap penyakit jantung koroner, stroke, dan kondisi lain yang berdampak kepada aliran darah.

Saat aktivitas makan berlangsung, proses mengunyah makanan juga menjadi unsur yang penting. Mungkin mengunyah kerap dianggap sepele bagi segelintir orang dan asalkan makanan telah dirasa cukup halus serta merta ditelan begitu saja. “Mengunyah makanan memiliki banyak manfaat seperti membantu air liur yang mengandung enzim (salah satunya enzim ptialin) yang akan membantu memecah karbohidrat sehingga makanan lebih mudah dicerna saat masuk ke sistem pencernaan selanjutnya.” Jelas Aria.

Menurut Aria, anjuran untuk mengunyah makanan yaitu sebanyak 32 kali.  Namun, hal ini dapat kurang atau lebih tergantung jenis makanan yang dikonsumsi. Apabila mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak air atau bertekstur lembut seperti kue atau nasi, dapat memiliki waktu kunyah yang lebih singkat dibandingkan dengan makanan yang lebih padat seperti makanan tinggi serat atau makanan bertekstur lebih padat seperti daging dan ayam. Riset bertajuk Does eating slowly influence appetite and energy intake when water intake is controlled?, menjadi sebuah wujud nyata betapa penting proses mengunyah makanan.

Penelitian ini dilakukan kepada wanita berusia 18 sampai 45 tahun di Kingston, Rhode Island, Amerika Serikat. Penelitian ini menunjukkan bahwa makan lebih lambat, menggigit lebih kecil, serta mengunyah makanan dengan baik dapat membantu untuk mengurangi nafsu makan, terutama ketika saat makan tersedia air. Risiko dari nafsu makan berlebih dapat berpangkal kepada kelebihan berat badan dan jika tidak ditanggulangi dapat memicu penyakit obesitas, diabetes, serta penyakit jantung.

 

Jika dibenturkan oleh kondisi yang tidak memungkinkan untuk makan selama lebih dari 20 menit, bukan tidak mungkin untuk dapat memaksimalkan waktu yang ada serta tetap dapat menjaga kondisi kesehatan tubuh. Makanan-makanan yang memiliki suhu terlalu ekstrim seperti terlalu panas atau rasa yang terlalu ekstrim seperti terlalu pedas perlu dihindari untuk menyiasati waktu yang ada, bahkan dianjurkan untuk makan makanan yang hangat atau memiliki suhu ruang agar tetap tenang dalam menyantap makanan.

“Makanan yang memiliki suhu dan rasa ekstrim ditambah terburu-buru berisiko terkena gangguan pencernaan karena kerja organ pencernaan akan semakin berat.” Pungkas Aria. Ia pun menyarankan untuk mengombinasikan makanan yang disantap dengan menambahkan makanan berkuah seperti sayur sup, bayam, atau lainnya agar dapat memudahkan proses mengunyah. Agar lebih praktis dapat juga untuk makan makanan one dish meal versi Indonesia yang mengandung beragam zat gizi dalam satu porsi makanan seperti gado-gado dengan lauk protein seperti telur, tahu, dan tempe atau soto yang di dalamnya sudah tersedia sayuran, karbohidrat, dan protein.

Konsep mindful eating juga memiliki pengaruh besar dalam aktivitas makan. Konsep ini harus mulai dilatih dan diterapkan perlahan-lahan agar semakin membudaya di dalam hidup seseorang. Mindful eating didasarkan kepada aktivitas makan yang berfokus kepada makanan itu sendiri dan tidak mencampur aduk kegiatan makan dengan aktivitas lain seperti menonton televisi, bermain handphone, membaca buku, dan kegiatan lain.

“Konsep ini bila diterapkan mampu membantu kita mengontrol makanan apa yang dikonsumsi, membantu mengenal rasa kenyang atau lapar pada tubuh (karena sinyal antara sistem pencernaan dengan otak bisa berjalan baik), serta membuat kita lebih menghargai makanan.” Ungkap Aria.

Upaya pemerintah dalam mengentaskan Covid-19 tentunya perlu mendapatkan dukungan dalam bentuk tindakan dari setiap masyarakat, salah satunya makan dengan waktu maksimal 20 menit. Jika dirasa rahang mengunyah terlalu cepat, maka ciptakan sebuah momen karena kesehatan diri sendiri tetaplah yang utama. Bersabarlah sekarang, agar ke depan kita bisa cepat kembali lagi menikmati makan bersama tanpa dikejar waktu. Karena sejujurnya, makan di luar bukan hanya soal asupan tubuh saja bukan?

Faldy Pamungkas

Pemerhati band Genesis baik era Peter Gabriel maupun Phil Collins. Tangguh seperti Rocky Balboa serta banyak akal layaknya MacGyver.

https://obserfaldy.medium.com/
Previous
Previous

Musik Tidak Sebatas Pengiring Pengalaman Bersantap

Next
Next

Lirikan Dunia Kepada Kuliner Indonesia