Kritik: Karen’s Diner, Refleksi Masyarakat Doyan Sensasi

Kemunculan Karen’s Diner menuai banyak respon di berbagai media dan oleh berbagai lapisan masyarakat. Kevindra Soemantri menyampaikan kritiknya terhadap konsep restoran yang menglorifikasi perundungan.

Pada tanggal 15 Desember 2022 kemarin, Karen’s Diner membuka pop-up pertamanya di Indonesia yaitu di Jakarta Selatan. Restoran ini awalnya berasal dari Australia, dengan mengedepankan gaya layanan yang angkuh, arogan, menyebalkan, personfikasi sosok Karen yang identik dengan wanita kulit putih yang berkeinginan seenaknya sehingga mengganggu ketertiban.

Ketika Karen’s Diner hadir di Jakarta, tentu menimbulkan sensasi di media sosial. Banyak yang antre pula untuk coba merasakan layanan ala Karen’s Diner yang memantik emosi. Namun, alih-alih marah, tamu yang datang malah tertawa seakan tindakan melempar alat makan ke meja, atau menuangkan saus seenak jidat kepada tamu, adalah hiburan yang lucu. Di sini permasalahannya.

Tempat seperti Karen’s Diner memang bukan ditujukan bagi konsumen yang melek kuliner, apalagi mereka yang menghargai betul konsep hospitality. Sebagaimana di Australia, restoran ini memang menargetkan konsumen lebih luas. Namun menurut saya, ada hal yang berbahaya di sini yang mungkin tidak terlihat oleh banyak orang karena masih terbawa euphoria tempat yang berlokasi di Panglima Polim, Jakarta Selatan itu. Hal tersebut adalah glorifikasi terhadap perundungan atau bullying.

Di tengah masyarakat perkotaan yang sedang gencar-gencarnya menyuarakan tentang kesehatan mental, kehadiran Karen’s Diner adalah antitesis dari semangat itu. Industri hospitality – termasuk restoran di dalamnya – adalah benteng penjaga kewarasan. Industri inilah yang menjadi bandul ketenangan warga kota dari hiruk pikuk permasalahan yang ada. Di restoran, hotel, pelanggan bisa rehat sejenak dari kegilaan dunia kerja dan permasalahan hidup – a short retreat. Namun, apa jadinya bila tempat yang seharusnya jadi lokasi berlindung malah berbalik menyerang? Sekolah dan universitas bertahun-tahun kerja keras meminimalisir bahkan menghilangkan bibit-bibit perundungan yang bisa membahayakan kesehatan hingga mental anak murid. Namun apa jadinya bila justru tempat yang menjadikan perundungan bagian dari pelayanan mereka dirayakan dan populer? Bukankah itu bisa menyokong pemikiran bahwa perundungan adalah hal yang seru?Tahukah Anda, kalau restoran berasal dari kata restaurer dalam Bahasa Perancis, yang artinya a place to be restored (tempat di mana orang dipulihkan). Apakah Karen’s Diner sebuah tempat pemulihan? Sila Anda pikirkan sendiri.

Kembali lagi, saya masih terganggu dengan tamu yang datang dan tertawa di sana. Anda membayar harga yang tak murah untuk sepiring burger atau segelas cocktail, bahkan harganya sendiri cukup sebanding dengan beberapa restoran populer di Jakarta yang tak hanya menyajikan masakan lezat, namun juga pelayanan mumpuni.  Tawa Anda yang datang, berarti Anda menikmati sekali pelayanan di Karen’s Diner, dan itu adalah hak masing-masing. Namun hal itu tak bisa menampik satu hal: bahwa konsumen mayoritas masih doyan sensasi.

Bila kita suka meledek bahwa hanya “orang kampung” saja yang suka sensasi karena tontonan mereka di televisi yang orang kota anggap “tak bermanfaat”, apakah Anda sadar yang sedang Anda lakukan dengan datang ke Karen’s Diner? Setidaknya, masyarakat yang Anda bilang “orang kampung” itu menikmati tontonan secara gratis. Namun untuk Anda yang datang ke Karen’s Diner, Anda membayar untuk mendapat pelayanan buruk. Anda secara sadar meminta – membayar bahkan – untuk sebuah pelayanan yang sama sekali kontradiksi dengan keramah-tamahan Indonesia. Bukankah itu lebih ironis?

Walau saya tahu bahwa Karen’s Diner adalah sebuah pop-up, saya sudah tidak bisa membayangkan dampaknya kepada industri restoran tak hanya di Jakarta, tapi juga di kota lainnya. Pemikiran bahwa membuat bisnis restoran yang untung bisa dengan glorifikasi keangkuhan dan tata etika yang sengaja dibuat buruk sudah tak terelakkan. Ketika banyak pebisnis muda membuka usaha restoran yang mengedepankan kualitas, atau pengusaha restoran yang selama dua tahun terakhir berjuang mati-matian mempertahankan bisnisnya karena pandemi, bermimpi kapan bisa meningkat kembali usaha mereka, lalu datang konsep seperti Karen’s Diner yang menyalip mereka. Apa yang ada di benak dan hati mereka melihat ini?

Saya hanya bisa berharap dampak dari pelayanan Karen’s Diner tidak dianggap serius apalagi formula sebuah bisnis yang sukses. Anggap saya kuno, ortodok, namun bagi saya bisnis apapun harus punya dampak baik dari secara yang bisa dihitung hingga yang tak dapat dihitung.  

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Bangkitnya Fine Casual di Tengah Senja Fine Dining

Next
Next

Ambar at Mandapa, Destinasi Cocktail dan Gastronomi Baru Ubud