Bangkitnya Fine Casual di Tengah Senja Fine Dining

Konsep high-end dining sedang mengalami transformasi di era baru. Fine dining yang selama ini dianggap strata tertinggi dalam konsep restoran pun di ambang kepunahan.

Emilie, restoran legendaris di Senopati yang buka di era 2000-an adalah salah satu “korban” pertama dari menurunnya popularitas restoran fine dining.| Foto oleh Feastin’

Jagat industri restoran geger atas pengumuman resmi restoran fine dining kenamaan asal Kopenhagen, Noma, yang akan menutup regular service di akhir tahun 2024. Restoran asuhan Rene Redzepi itu akan beralih ke konsep pop-up dan online service. Melansir pemberitaan New York Times, gaya santapan mewah yang Noma ciptakan sangat inovatif, padat karya, dan sangat mahal. 

"It's unsustainable", tegas Rene Redzepi kepada New York Times atas krisis konsep yang diusung Noma. 

Lantas bagaimana kondisi fine dining di Indonesia? Apakah juga sudah bergeser ke sesuatu yang lebih kasual? 

Nyatanya, gelagat pergeseran fine dining ke sesuatu yang lebih kasual sudah mulai terlihat sejak tahun 2017 dan 2018. Saat itu, sejumlah sebutan seperti fine hipster dan fine casual muncul. Chef-owner restoran August di Jakarta, Hans Christian, mengacu pada perubahan tren restoran di Australia yang cenderung mengadopsi gaya bistro di rentang tahun 2017-2018. Pendekatan baru ini menjajal pelayanan yang lebih luwes dan tidak mengintimidasi. 

"Setelah beberapa tahun bekerja di restoran sekaligus makan di berbagai restoran sebagai konsumen, akhirnya kami lebih menyukai pendekatan yang lebih kasual" jelas Hans. 

Tapi terlepas dari pilihan membuka restoran fine casual, Hans menilai fine dining masih punya cukup ruang di pasar Indonesia. Meskipun kemungkinannya berbeda di tiap daerah.

"Jakarta sebenarnya masih memungkinkan untuk membuka fine dining karena belum jenuh pasarnya seperti di Singapura, Amerika Serikat, Eropa, atau wilayah lain yang dining scene-nya sudah jauh lebih dulu dikenal dari kita (di Indonesia)", jelas Hans. 

Hanya saja menurut Hans, model bisnis fine dining ini memang cukup tricky. Restoran fine sangat lekat dengan karakter sang chef dan bergantung pada dukungan kekuatan modalnya. Fine dining tidak pernah didesain untuk mendulang keuntungan. 

"Menurut saya pribadi, restoran fine casual akan lebih banyak berkembang selanjutnya", Hans memprediksi. 

Di sisi lain, jurnalis pemenang penghargaaan James-Beard, Alan Richman, menyebut fine dining memang sejak awal didesain untuk prestise dan menunjukkan status sosial. Situasi fine dining di Indonesia semakin sulit karena pola pikir masyarakat Indonesia yang masih menilai santapan fine sebagai treat. Bukan sebagai casual enjoyment. 

Presenter asal Indonesia, Caroline Soerachmat, pun mengatakan hal serupa. Menurut pengalamannya, Carol menyantap hidangan fine dining untuk momen-momen tertentu yang bersifat selebrasi. Sedangkan untuk hangout bersama teman atau kolega, ia lebih memilih fine casual. 

Destinasi wisata paling populer di Indonesia, Bali, juga mengalami perubahan tren bersantap. Chef-owner restoran Mozaic di Bali, Chris Salans, menyebut justru momentum pergeseran fine dining ke fine casual adalah pandemi Covid-19. Menurut, generasi muda saat ini enggan menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan dengan harga yang mahal. Biaya produksi yang semakin tinggi juga membuat restoran jadi harus turut mengangkat harga jual yang tentu saja bertentangan dengan trennya. Akhirnya, banyak restoran beralih ke opsi kasual untuk beradaptasi dengan kondisi ekonomi. 

"Kami di Mozaic memutuskan untuk mengubah banyak hal. Oleh karena itu, kami sempat tutup selama 11 bulan untuk kembali beroperasi dengan konsep teranyar", pungkas Chris, yang mendapat penghargaan Chevalier dans l'Ordre du Mérite Agricole (Knight in the Order of Agricultural Services) dari Pemerintah Prancis. Menurutnya, memang semakin sulit untuk operasional restoran fine dining. 

Sebetulnya senjakala bagi konsep restoran high-end itu niscaya akan terjadi dan bukan yang pertama kali. Pada awal abad ke-20 (sekitar 1900-an) genre restoran kelas atas bernama haute cuisine sedang berada pada puncaknya. Konsepnya memperlihatkan santapan berlimpah berporsi besar, serta tata hidang elaborate yang erat dengan kehidupan sosial aristokrasi dan monarki. Namun pasca Perang Dunia II, setelah banyaknya re-kolonialisasi dan runtuhnya sistem monarki, gaya makan haute cuisine tak lagi relevan. Belum lagi kondisi keuangan global setelah perang. Faktor-faktor eksternal tersebut memastikan satu hal: Runtuhnya haute cuisine.

Habis gelap terbitlah terang, runtuhnya sebuah rezim akan melahirkan yang baru. Haute cuisine perlahan digantikan oleh nouvelle cuisine, tata hidang gaya baru dari para chef muda asal Perancis di periode 1960-an. Tata hidang nouvelle cuisine sangat berbeda dari leluhurnya, di mana porsi makanan jauh lebih sedikit dan disajikan sesuai porsi perorangan, namun ditampilkan dengan sentuhan seni. Konsep fine dining modern pun mulai dikenal. Jenis hidangan nouvelle cuisine rupanya sejalan dengan stabilnya ekonomi pasca perang serta bergeloranya kehidupan dunia korporat di pertengahan abad ke-21. Fine dining gaya baru ini sangat erat dengan konsumen dunia bisnis dan korporat bagi banyak pelanggan setia mereka. Formalitas aristokrasi mulai digantikan dengan pelayanan formalitas korporasi.

Setelah puluhan tahun konsep fine dining menjadi raja, kali ini - pasca pandemi Covid-19, pergantian generasi muda dan cara berpikir mereka, hingga daya beli - sepertinya fine dining berada dalam senjakalanya, mengikuti pola yang sama dengan pendahulunya. Ia mungkin tidak akan - atau setidaknya belum - benar-benar terbenam, ia hanya bertransformasi dan beradaptasi menjadi konsep fine casual yang lebih santai dan fleksibel dari para pendahulunya. 

Alif Hudanto

Food journalist yang tidak kuat makan pedas. Baginya, mie adalah kenikmatan duniawi yang hakiki.

Previous
Previous

Kolaborasi Amanjiwo Rayakan Kuliner Indonesia

Next
Next

Kritik: Karen’s Diner, Refleksi Masyarakat Doyan Sensasi